Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mencermati Pro-Kontra Full Day School

Widi Kusnadi - Sabtu, 17 Juni 2017 - 08:24 WIB

Sabtu, 17 Juni 2017 - 08:24 WIB

745 Views

sumber gambar : Jabar Merdeka

sumber gambar : Jabar Merdeka

oleh : Widi Kusnadi, jurnalis MINA

Mulai tahun ajaran 2017-2018 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Mudadjir Efendi menetapkan sistem full day school (sekolah seharian) dengan delapan jam di sekolah selama lima hari (Sabtu dan Ahad libur).  Dengan kebijakan ini, banyak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang menolah dengan alasan-alasan tertentu.

Muhadjir beralasan keputusan itu sejalan dengan dengan program nawacita yang digulirkan Presiden Joko Widodo karena mengangkat pendidikan berbasis karakter. Dengan full day school, jam bermain siswa (SMP, SMA/SMK) akan terkurangi sehingga siswa melakukan sesuatu yang tidak produktif dan efektif seperti tawuran, bermain ke mall, dan bermain play station.

Alasan lain adalah banyaknya wali murid yang memberi les pribadi (private) pelajaran sekolah. Hal itu berarti orang tua merasa jam pelajaran di sekolah masih kurang  sehingga mereka perlu menambahnya di luar jam sekolah.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Sementara pihak-pihak yang menolak kebijakan itu beralasan bahwa siswa yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah akan mengalami kesulitan transportasi kepulangan. Selain itu, mereka yang orang tuanya bekerja sebagai petani dan nelayan, para siswa harus membantu kerja orang tuanya. Jika diterapkan full day school maka akan menjadi masalah tersendiri bagi mereka.

Meskipun terjadi pro-kontra, Kemendikbud berkomitmen terus melanjutkan rencana tersebut. Bahkan, Kemendikbud telah memilih 500 sekolah di Jakarta sebagai bagian dari program percontohan full day school.

Kemendikbud beralasan, adanya penolakan program itu karena kurangnya sosialisasi dan informasi tentang full day school . Meski siswa seharian di sekolah, mereka tidak sepenuhnya belajar di dalam kelas, melainkan dengan kegiatan ekstrakurikuler (di luar kelas) yang bertujuan membentuk dan mengembangkan karakter, kepribadian, serta potensi siswa.

Meski begitu, pemerintah menyatakan tidak akan memaksakan penerapan kebijakan full day school kepada sekolah yang belum siap. Tetapi, guru PNS dan penerima sertifikasi wajib menjalankan PP Nomor 19 Tahun 2017 tentang Revisi Beban Kerja Guru yang mengamanatkan guru mengajar selama 40 jam dalam sepekan.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

 Dekadensi Moral, Masalah Utama Bangsa

Masalah moral masih menjadi persoalan utama bangsa kita. Banyaknya kasus korupsi, perselingkuhan, pergaulan bebas, narkoba, kriminalitas dan kriminalisasi terhadap tokoh dan lawan politik yang setiap hari menghiasi pemberitaan media nasional menandakan buruknya moral anak bangsa.

Masalah moral ini menuntut diselenggarakannya pendidikan karakter di sekolah. Sekolah dituntut untuk memainkan peran menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan mengajarkan nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, dan adil.

Namun, pendidikan karakter ini memang bukan semata-mata tanggung jawab guru di sekolah, namun juga orang tua dan masyarakat. Pengurus Serikat Guru Indonesia (SEGI), Jakarta, Asrul Raman mengatakan, Pendidikan karakter di sekolah selama ini diberikan tanggung jawab kepada guru Bimbingan Penyuluhan (BP) /Bimbingan Konseling (BK).  Akan tetapi, karena terbatasnya personel guru dan masalah lainnya, yang terjadi adalah dilakukannya proses penindakan saja jika sudah ada kasus tanpa dibarengi program pencegahan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Selain itu, Media merupakan menjadi sarana nomor satu dalam menyebarkan budaya-budaya merusak kepada masyarakat, termasuk budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Adegan-adegan mesum, perkelahian, tawuran, dan sederet aksi merusak lainnya menjadi contoh buruk bagi masyarakat.  Dalam hal ini, media juga tidak bisa lepas tanggung jawabnya dalam upaya pendidikan karakter siswa Indonesia.

Perkembangan teknologi, meski dirasakan banyak manfaat, juga memiliki peran besar membawa dampak buruk bagi manusia, terutama masalah dekadensi moral.Dulu, sebelum teknologi jauh berkembang seperti sekarang ini, anak-anak muda setelah magrib selalu mengaji. Tapi kini, setelah magrib berganti menonton TV. Dulu mereka sibuk dengan menghafal Qur’an dan membantu pekerjaan orang tua, sekarang sibuk dengan gadget dan berselancar di media sosial.

Agama Solusi Utama Krisis Moral

Krisis moral jika tidak segera diatasi akan menjadi ancaman dan gejala kebangkrutan moral bangsa. Kriris ini telah menjalar di hampir semua aspek kehidupan bangsa. Di sisi kehidupan sosial, politik, hukum dan ekonomi sangat kita rasakan dampaknya .

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam

Wakil Wali Kota Depok Jawa Barat Idris Abdul Shomad menyatakan dalam sebuah kesempatan, Allah SWT melalui syariat agama Islam memberikan konsep yang jelas bagaimana mengatasi krisis moral serta mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang disebut baldatun thoyyibatun wa robbun gofur (negeri yang damai dan masyarakat yang diridhai Allah).

Ia menjelaskan, ada tiga ciri utama untuk mewujudkan hal diatas. Pertama adalah masyarakat beragama (religious society), masyarakat intelektual (intelectual society), dan masyarakat berkeadilan (justice society).

Religious Society adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang menjadi perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai bagi umat Islam adalah ajaran Islam. Nilai-nilai religius tersebut juga ada di agama lainnya.

Masyarakat yang menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupannya secara otomatis akan jauh dari dekadensi moral yang selama ini menjadi permasalahan utama bangsa ini.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Masyarakat intelektual (intelectual society) tercermin dalam kisah kehidupan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW saat hidup bertetangga, saat hidup bermasyarakat dengan seluruh komponen dan elemen masyarakat di Kota Madinah.

Masyarakat berkeadilan (justice society), yang mampu mengendalikan emosi, mampu berpikir rasional dan logis, masyarakat yang setiap anggotanya mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Dalam konteks pendidikan di sekolah, tentunya yang harus diberlakukan dalam kegiatan belajar siswa adalah menanamkan nilai-nilai religiusitas sehingga mereka menghayati dan mengamalkan dalam kehidupan di keluarga dan masyarakat.

Dalam sistem full day school ataupun yang belum menerapkannya, hal terpenting yang harus diberikan untuk membentuk karakter seseorang adalah dengan pemahaman dan penghayatan agama yang benar.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Oleh karenanya, baik full day school mapun yang tidak, lembaga pendidikan harus fokus pada permasalahan utama bangsa ini, yaitu memberbaiki karakter dan moral anak bangsa sehingga ketika mereka menjadi pemimpin nantinya akan dapat mengelola negeri ini dengan benar sesuai nilai-nilai kepribadian bangsa.

Kesimpulan penulis, bagi sekolah yang mampu melaksanakannya (terutama yang berada di perkotaan), tentu lebih baik mengikuti program tersebut dengan tetap melakukan evaluasi secara berkala.

Bagi yang belum mampu melakukan full day school, silahkan menggunakan melanjutkan program yang sudah berjalan dengan tetap mengedepankan pendidikan karakter yang memang menjadi prioritas program pemerintah (nawacita) di bawah komando Bapak Presiden. (P2/B05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Pendidikan dan IPTEK
Indonesia
Pendidikan dan IPTEK
Pendidikan dan IPTEK