Jakarta, MINA – Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Riset dengan tema “Manfaat Kenaikan Pajak dan Harga Tembakau, Telaah Sistematis” secara daring, Selasa (14/3).
Regulasi pelarangan penjualan rokok batangan juga menjadi salah satu sorotan penting yang dianalisis dari sudut manfaat kenaikan cukai hasil tembakau dan harga transaksi pasar (HTP) rokok pada diseminasi hasil riset ini.
“Semoga hasil riset ini menjadi masukan yang komprehensif bagi pemerintah dalam membuatkan kebijakan penetapan tarif Cukai dan HTP rokok serta mekanisme monitoring harga transaksi pasar,” kata Roosita Meilani Dewi, M.Si selaku Ketua CHED ITB-AD dalam sambutannya, Selasa (14/3).
Menurut Roosita, selama kurun waktu 30 tahun prevalensi perokok di Indonesia dikatakan stagnan, padahal banyak negara yang telah turun prevalensi perokoknya.
Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online
Diseminasi hasil riset CHED ITB-AD tersebut menyoroti pajak tembakau atau biasa disebut CHT (Cukai Hasil Tembakau) sebagai variabel fiskal yang diharapkan akan mengendalikan harga transaksi pasar dan menurunkan konsumsi rokok masyarakat, seolah tidak berdaya.
Manfaat kenaikan cukai hasil tembakau dan HTP rokok sendiri di antaranya yaitu menaikkan harga rokok yang selanjutnya menghasilkan penurunan prevalensi merokok dan peningkatan kemungkinan berhenti merokok.
Selain itu, kenaikan pajak yang menaikkan harga rokok juga menghasilkan manfaat sosial yang signifikan dengan mengurangi pengeluaran tembakau dan biaya pengobatan untuk penyakit terkait tembakau dan meningkatkan masa hidup dan Net Benefit Economic di masa depan.
Keuntungan paling signifikan dari kenaikan harga rokok yang substansial akan dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan rendah.
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
Kemudian, dari sisi yang lain, pajak tembakau juga merupakan peluang bagi pemerintah untuk memajukan pemerataan dan menuju pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada penyakit tidak menular, Universal Health Coverage, dan kontaminasi dan polusi air, udara dan tanah.
Kendati demikian, dalam riset yang dilakukan Tim Peneliti CHED ITB-AD, Diyah Hesti Kusumawardani, SE., M.Si. dan Inta Hartaningtyas Rani, SE., MBA. menunjukkan fakta-fakta yaitu Pemerintah Indonesia dari tahun 2012 hingga 2024 sebetulnya sudah menaikkan pajak cukai tembakau dan harga jual eceran (HJE) tembakau kecuali pada tahun pemilu yaitu tahun 2014 dan 2019, akan tetapi jumlah perokok di Indonesia meningkat dari 1990 – 2019 menjadi 25 – 50%.
“Selain itu, kenaikan pajak yang diharapkan dapat mengurangi perdagangan gelap, tidak berarti menghilangkan perdagangan gelap itu sendiri,” kata Inta Hartaningtyas Rani, SE., MBA.
Sebab salah satu kerugian dari kenaikan pajak dan harga tembakau, lanjut dia, adalah munculnya rokok illegal yang berakibat pada peralihan ke produk rokok illegal dan subtitusi yang lebih murah (HTP yang lebih rendah).
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
Meskipun Indonesia masih inelastis terhadap kenaikan harga rokok, pemerintah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10 persen berlaku tahun 2023 dan 2024.
Dalam diseminasi ini dipaparkan, jumlah perokok di Indonesia yang cenderung stagnan menunjukkan timpangnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia.
Sementara Diyah Hesti memaparkan, kekosongan regulasi anyar pelarangan penjualan rokok batangan diperlukan guna optimalisasi ketercapaian SDM unggul serta adanya Net Benefit Income bagi setiap rumah tangga terutama golongan keluarga miskin (berpendapatan rendah).
Larangan penjualan rokok secara batangan juga sejalan dengan cita-cita yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi.
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas
“Kenaikan cukai dan HTP rokok akan kurang efektif jika masyarakat masih dapat membeli rokok secara batangan, maka pelarangan penjualan rokok batangan akan mengakselerasi efektifitas kebijakan tersebut dalam menurunkan prevalensi rokok di Indonesia,” ujar Diyah Hesti dalam pemaparannya.
Hadir sebagai penanggap dalam kegiatan diseminasi hasil riset ini diantaranya Kepala Sub Bidang Cukai, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijkan Fiskal, Kemenkeu-RI Sarno, SE., M.Si., dan Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas RI, Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D., serta Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, P2PTM, Kemenkes-RI, dr. Benget Saragih, M. Epid.(L/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama