Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Heboh Logo Halal dan Integrasi Bangsa Oleh: Dr. Adian Husaini

kurnia - Rabu, 16 Maret 2022 - 16:25 WIB

Rabu, 16 Maret 2022 - 16:25 WIB

1 Views ㅤ

Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum DDII)

Masyarakat Indonesia hari-hari ini sedang sibuk mendiskusikan logo “halal” yang diluncurkan oleh Kementerian Agama RI. Logo itu berbentuk “gunungan wayang”, bertuliskan “Halal” dengan bacaan yang tidak terlalu mudah dibaca. Maka, kehebohan pun muncul.

Berbagai respon bermunculan. Bahkan, logo-logo usulan bermunculan. Ada yang mengusulkan logo halal versi Minang, Sunda, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Pengusulnya menilai, bahwa logo bikinan Kemenag itu terlalu “Jawa Sentris”. Dari Aceh, muncul suara, bahwa Aceh tidak harus mengikuti desain logo halal bikinan Kemenag itu.

Walhasil, heboh soal logo “Halal” itu pun menyita energi besar rakyat Indonesia. Padahal, menurut pimpinan MUI, logo Halal MUI, masih berlaku sampai tahun 2026. Heboh soal logo halal ini pun sejenak melupakan berita tentang kelangkaan minyak goreng yang masih dialami oleh banyak rakyat Indonesia. Begitu pula wacana penundaan Pemilu 2024, sempat terhenti sejenak.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Kasus logo halal ini dapat kita jadikan sebagai bahan renungan penting untuk mendiskusikan kembali tentang “identitas Indonesia”. Kasus logo halal itu menunjukkan, bahwa sebenarnya Indonesia adalah negeri yang sangat beragam identitas budaya daerahnya.

Keragaman itu patut dihormati, sehingga kita memilih semboyan: Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia bukan hanya Jawa. Meskipun mayoritas penduduknya adalah orang Jawa dan tinggal di Pulau Jawa. Pandangan yang Jawa sentris perlu dipertimbangkan dalam konteks keindonesiaan saat ini.

Dulu, di masa Orde Lama dan Orde Baru, mungkin masih lebih mudah untuk menjaga integrasi sosial dan integrasi wilayah Indonesia. Tapi, kini kita sudah memasuki era disrupsi. Media sosial begitu berperan dalam membentuk opini masyarakat. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, media sosial dapat menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa. Itulah yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah.

Sebenarnya kunci terjaganya integrasi sosial dan integrasi bangsa kita adalah dengan merujuk kepada sila keempat Pancasila. Yakni, pemimpin dan rakyat Indonesia mengutamakan hikmah/kebijaksaan dan musyawarah dalam pengambilan kebijakan. Bagi kaum muslim, dilengkapi dengan shalat istikharah.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Kasus logo halal itu tidak akan heboh, jika MUI dan berbagai kalangan ulama atau pimpinan umat Islam dilibatkan dalam proses pembuatannya. Apalagi, jika semua memiliki niat ikhlas untuk menghasilkan yang terbaik untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsa. Dengan hikmah dan musyawarah, insyaAllah semua akan bisa menerima, dan yang lebih penting juga meraih berkah dari Allah SWT.

Kita bisa belajar dari Bung Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, Mohammad Natsir, Panglima Besar Sudirman, dan sebagainya, yang berjuang keras untuk mengkonsolidasikan perbedaan-perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Lihatlah Bung Karno yang berjuang keras mengkompromikan aspirasi golongan Islam dan golongan kebangsaan, tanpa menindas atau melecehkan aspirasi pemikiran masing-masing pihak. Demi persatuan dan keutuhan negara Republik Indonesia, Bung Hatta harus melobi sejumlah tokoh Islam agar bersedia mengubah kesepakatan yang telah dicapai dalam Sidang-sidang BPUPK. Ini bukan hal ringan.

Demi kembalinya NKRI, Mohammad Natsir bersedia melobi semua kekuatan politik yang ada di parlemen RIS, mulai yang paling “kanan” sampai yang paling “kiri”. Bahkan, demi keutuhan NKRI pula, Natsir bersedia menerima permintaan Bung Hatta, untuk Sjafruddin Prawiranegara, agar bersedia mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.

Di era media sosial saat ini, sebaiknya para pemimpin dan elite bangsa perlu menahan diri untuk tidak mudah menyampaikan pendapat yang dapat melukai perasaan warga bangsa lainnya. Bagi umat Islam Indonesia, persoalan halal-haram merupakan hal yang sangat vital dalam kehidupan keseharian. Ini bukan masalah kecil. Karena itulah, dalam pengaturannya, perlu dipandu oleh hikmah dan melalui jalan musyawarah.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Patut disyukuri bahwa di Indonesia, masalah halal-haram itu juga diatur oleh negara. Kementerian Agama diberikan amanah untuk mengatur masalah ini dengan sebijak-bijaknya. MUI telah membentuk Dewan Syariah Nasional yang saat ini dipimpin langsung oleh Wakil Presiden RI. Beberapa menteri juga terlibat dalam upaya memajukan ekonomi syariah di Indonesia.

Pada tahun 1967, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 56/1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang Departemen Agama, yang antara lain menyatakan: “Tugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD.” (Pasal 1, ayat 1-d). (Lihat, Endang S. Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997).

Agar suatu hukum atau peraturan bisa berjalan dengan baik, maka diperlukan kerjasama yang baik, antara aparat pemerintah dengan masyarakat sebagai objek hukum. Jadi, dalam urusan pelaksanaan syariah — seperti penentuan soal halal-haram – perlu kerjasama yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat, khususnya para ulamanya.

Ingatlah, soal pengaturan halal-haram oleh pemerintah ini merupakan hasil perjuangan yang sangat panjang. Bukan hal mudah untuk memasukkan persoalan halal-haram menjadi paraturan resmi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, hingga kini, masih ada suara-suara yang menolak campur tangan pemerintah dalam urusan halal-haram, seperti kebijakan wisata halal, dan sebagainya.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Sesuai dengan amanah para pendiri bangsa ini, maka seyogyanya kita semua berusaha agar integrasi bangsa kita semakin kokoh. Kita saling menghormati perbedaan yang ada, tetapi tetap dalam rangka mengokohkan NKRI. Semoga Allah SWT melindungi dan memberkati bangsa dan negeri kita. Aamiin. (AK/R4/P1).

 

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Halal