Oleh: Rendy Setiawan, Mahasiswa STAI Al-Fatah
Heni Sri Sundani namanya, ia lahir di Ciamis, Jawa Barat, 2 Mei 1987. Sebagian masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Barat mungkin pernah mendengar nama itu.
Heni adalah penggagas Smart Farmer Kids In Action (Gerakan Anak Petani Cerdas) dan Komunitas AgroEdu Jampang yang berpusat di Lemah Duhur, Caringin, Bogor. Gerakan itu sudah memiliki anak asuh ribuan orang dari Aceh sampai Merauke.
Siapa sangka, wanita yang sudah cukup sukses dan masuk sebagai salah satu orang berpengaruh di bawah usia 30 tahun di Asia versi Forbes ini pada masa kecilnya dilalui dengan penuh perjuangan untuk menemukan keberhasilan. Untuk pergi ke sekolah misalnya, ia mesti menempuh perjalanan panjang dan melelahkan.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Saat masih SD, Heni berjalan kaki pergi pulang (PP) ke sekolah dalam dua jam. Kala SMP lebih jauh lagi. Ia harus jalan kaki empat jam PP. Ketika menginjak sekolah SMK di kota, ia tak diberi bekal apa-apa melainkan hanya sekantong beras saja.
Kendati begitu, Heni tak patah arang. Buktinya, ia tetap menjadi juara kelas hingga lulus SMK. Prestasi yang ditorehkannya pun tidak serta-merta muncul. Sebab, sejak kecil Heni sudah lekat dengan beragam buku bacaan.
”Saya sering menghabiskan waktu ke gudang sekedar baca buku. Sehari bisa selesai (membaca) satu buku,” katanya kepada penulis ketika ditemui di kediamannya di Bogor, Jumat (12/1/2018).
Ketika ingin melanjutkan kuliah, saat itu tak terbesit di benaknya untuk meminta ibunya meluluskan keinginannya itu. Ia selalu bertekad bahwa cita-citanya adalah kewajibannya sendiri.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-20] Tentang Istiqamah
“Ini prinsip hidup saya. Jadi kalau nanti saya gagal berarti saya kurang berusaha dengan sungguh-sungguh. Kalau misalnya berhasil, memang hasil tak pernah membohongi usaha,” katanya.
Selepas lulus SMK, Heni memutuskan untuk mencari pekerjaan. Tak tanggung-tanggung, ia langsung terbang ke Hongkong sebagai TKW. Berawal dari tetangganya yang banyak mengadu nasib di luar negeri, Heni mencari informasi sebanyak mungkin. Akhirnya ia memilih Hongkong dengan sejuta alasan.
Tanpa sepengetahuan sang majikan, Heni menghabiskan jatah hari libur dengan mengambil kursus Diploma 3. Ia juga belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas umum di Hongkong dan bisa diakses siapa pun secara gratis. Selama di sana, tak kurang dari 17 buku mampu ia tulis.
“Saya sering mengirimkan berbagai tulisan ke koran, majalah, atau tabloid berbahasa Indonesia di Hongkong dengan nama pena Jalarada. Saya juga mengikuti berbagai lomba. Salah satunya, saya menjadi juara lomba menulis surat untuk presiden dan mendapatkan laptop. Laptop itu saya jadikan modal untuk menggapai cita-cita saya,” katanya.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Sembari melanjutkan S1 di Saint Mary’s University jurusan entrepreneur management, Heni memutuskan untuk bergabung dengan salah satu lembaga filantropi, Dompet Dhuafa (DD). Berawal dari membaca sebuah koran di Hongkong, ia mengenal Dompet Dhuafa yang hendak menyalurkan bantuan.
Heni mengakui, tahun 2009-2010, tidak banyak lembaga yang perhatian terhadap nasib para TKI maupun TKW di Hongkong, tidak banyak yang mau memberikan pendampingan TKI yang bermasalah di Hongkong. Menurut Heni, peran Dompet Dhuafa sangat strategis di sana (Hongkong).
Setelah sukses menyandang gelar sarjana dengan predikat cum laude, Heni memutuskan pulang ke kampung. Ia ingin mengubah kampung halamannya menjadi lebih baik. Waktu itu ia tidak langsung pulang ke Ciamis, tetapi harus ke Bali terlebih dahulu.
Sebabnya adalah karena Heni yang merupakan sarjana pertama di kampungnya ini terpilih menjadi salah satu penulis yang mewakili Indonesia untuk mengikuti Uber Writters and Riders Festival. Dari Indonesia yang dipilih 15 penulis, Heni menjadi salah satunya.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Pada tahun 2011, Heni mulai mengabdikan diri untuk masyarakat. Tercatat, ada dua program yang diembannya yakni pendidikan dan sosial. Program pendidikan dilakukan dengan mendirikan Taman Baca Gudang Ilmu di Ciamis.
“Awalnya saya mengajar anak-anak dengan modal 100 ribu. Saat itu saya punya 15 anak didik,” katanya.
Sementara untuk program sosial, Heni pernah membantu salah seorang guru mengaji di lingkungannya untuk menjalani operasi penyakit fibrum (Sebuah penyakit yang membuat sekujur tubuh si penderitanya dipenuhi daging kecil).
Selain itu, Heni juga membantu menangani balita yang lahir tanpa anus serta membantu para dhuafa di sekitar kampung halamannya. Program tersebut tetap berlanjut ketika ia menikah dengan Adit dan kemudian memutuskan untuk tinggal di Bogor sejak 2012 hingga sekarang.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Keduanya menghabiskan akhir pekan dengan membuka les gratis untuk anak-anak petani yang kemuian diberi nama Gerakan Anak Petani Cerdas. Sepasang suami istri ini juga mengajak keluarga petani untuk membuat program wisata pendidikan pertanian yang menjadi wadah untuk bekerja sama dan membangun kemandirian desa.
Setahun berjalan, kegiatan dan program yang dilakukan Heni dan suaminya semakin banyak dan menggurita. Mendapati respons positif dari seluruh penerima manfaat, akhirnya Heni dan suami memutuskan untuk membentuk komunitas AgroEdu Jampang.
Komunitas tersebut berfokus membantu keluarga petani, keluarga TKI, keluarga penambang pasir, dan keluarga duafa pada umumnya. AgroEdu Jampang memiliki empat lingkup kegiatan. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan social emergency.
Dalam menjalankan program-program itu sejak 2013 hingga kini, komunitas tersebut dibantu para donatur untuk urusan operasional. Heni memerinci, 20 persen donatur berasal dari dalam negeri dan 80 persen berasal dari luar negeri.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Komunitas tersebut juga bermitra dengan ratusan organisasi, kelompok, maupun perusahaan. Saat ini Komunitas AgroEdu Jampang telah memberikan manfaat kepada ribuan keluarga yang tersebar di 40 kabupaten di Jawa dan Lombok.
”Saya memberi bukan karena saya punya banyak uang, tapi saya bisa merasakan bagaimana rasanya nggak punya apa-apa. Yang penting, jangan pernah berhenti berbuat baik, sekalipun kepada orang-orang yang pernah berbuat tidak baik kepada kita,” katanya menutup obrolan. (A/R06/B05)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti