Jakarta, 19 Rabi’ul Awwal/30 Desember 2015 (MINA) – Sejarah mencatat, sejak 1962 sampai 2011, neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami surplus. Namun, menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), sejak tahun 2012 defisit neraca perdangan menjadi mimpi buruk yang nyata.
“Kinerja ekspor tahun ini tidak lebih baik dari tahun lalu. Ekspor kita rentan,” kata Eko Listiyanto, peneliti INDEF, dalam diskusi catatan akhir tahun bertema “Retorika Nawacita” di Kantor INDEF, Jakarta.
Meskipun Januari sampai November 2015 surplus 7,81 miliar dolar Amerika, namun bukan dikarenakan peningkatan ekspor atau substitusi impor tetapi karena penurunan impor yang besar dan ekspor yang tetap tumbuh negatif.
Memburuknya kinerja ekspor disebabkan kerentanan ekpor terhadap gejolak harga komoditas. Menurut Bank Dunia, tren penurunan harga komoditas dunia masih akan berlangsung hingga 2025. Jika hal ini terus terjadi dan tidak ada perubahan dalam struktur ekspor Indonesia, maka bukan tidak mungkin penurunan ekspor masih akan terus berlangsung pada tahun-tahun mendatang.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Daya Saing
Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2015, dalam melakukan kemudahan bisnis, Indonesia berada di peringkat ke 114 dunia. Tertinggal jauh dari Malaysia (18), Thailand (26), Vietnam (78), Filipina (95), dan Singapura yang berada di peringkat pertama.
Produktivitas tenaga kerja yang rendah juga masih menjadi kendala utama. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan. Sekitar 75 persen tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SMA ke bawah, di mana hampir 60 persennya hanya berpendidikan SMP dan SD.
Tidak mengherankan jika ekspor manufaktur yang berbasis teknologi tinggi masih kalah jauh dibandingkan negara-negara lain seperti Vietnam, India, Malaysia, Thailand, dan Meksiko.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Yang Harus Dilakukan Pemerintah
Menurut Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Ekonomi INDEF, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki masalah ekonomi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membangun infrastruktur industri.
“Karena segala sesuatu yang dapat meningkatkan daya saing dan menurunkan biaya produksi adalah infrastruktur,” kata Heri. Memang saat ini terjadi surplus tetapi ekspor masih turun, jadi harus ada hilirisai industri.
Produk primer harus langsung diolah. Untuk mengolahnya harus ada teknologi yang mendukung. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mendukung hilirisasi industri yang berbasis teknologi, jelas Heri. (L/M02/P2)
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
Miraj Islamic News Agency (MINA)