Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan paradoks. Kecanggihan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi, ternyata tidak mengurangi miskomunikasi yang terjadi di antara manusia. Kemajuan dunia informasi dan media, khususnya media sosial, ternyata juga semakin menambah misinformasi di antara manusia.
Barangkali yang paling lucu, bagaikan lelucon yang mengantar tawa, adalah di tengah kemajuan dunia pendidikan, dengan universitas-universitas dan metode pendidikan yang semakin canggih, manusia semakin tenggelam dalam perilaku kebodohannya (jahiliyah).
Bahkan pengakuan berperadaban (civilized) juga semakin membawa manusia dari alam peradaban ke alam yang tidak beradab. Perilaku manusia yang mengaku lebih beradab kerap sangat jauh dari nilai-nilai peradaban. Bahkan lebih tidak beradab ketimbang mereka yang hidup di zaman batu.
Salah satu kebodohan dan perilaku yang tidak beradab adalah ketika manusia memandang manusia lain lebih rendah hanya karena perbedaan-perbedaan yang dimilikinya. Termasuk perbedaan ras, etnis, kebangsaan, warna kulit, budaya bahkan keyakinan.
Orang beradab akan memandang perbedaan dan keragaman sebagai fenomena hidup yang bersifat alami. Karena sejatinya itulah sunnatullah (Hukum Allah) dalam ciptaanNya. Tak ada dua makhluk, bahkan yang “dikloning” sekalipun tanpa memiliki perbedaan. Itu tabiat dasar kehidupan.
Islam sendiri memandang perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia sebagai “God decreed” (bagian dari keputusan Allah). Dalam bahasa agama dikenal sebagai bagian dari takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah menggariskan itu dalam Kalam-Nya: “Kalau sekiranya Allah berkehendak maka Dia jadikan kamu satu umat”.
Artinya Allah tidak berkehendak demikian. Kehendaknya justeru manusia dijadikan dalam keragaman.
Kata “Umat” ini tentunya bermakna kelompok manusia dalam arti luas. Bisa umat dalam arti ras atau etnis. Boleh juga dalam arti kelompok ideologi, termasuk budaya dan keyakinan atau agama.
Sayang sekali kebodohan (ignorance) sebagian manusia menjadikan mereka memandang perbedaan ini sebagai musuh dan ancaman. Maka terlahirlah manusia yang anti perbedaan dan keragaman (diversity). Sikap anti dan bermusuhan kepada perbedaan dan keragaman ini lebih dikenal dengan kata intoleransi.
Intoleransi agama dan ras
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, sejak beberapa tahun terakhir terjadi intoleransi agama dan ras di berbagai belahan dunia. Intoleransi itu bahkan telah berwujud kekerasan-kekerasan di berbagai belahan dunia. Mungkin satu diantara yang paling diingat adalah pembantaian Komunitas Muslim di kota Christchurch, Selandia Baru, beberapa waktu lalu.
Bagi Komunitas Muslim Amerika sejak terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika bukan masa yang mudah. Islamophobia yang di masa lalu malu-malu menampakkan diri secara terbuka, kini semakin berani terang-terangan. Mereka merasa mendapatkan justifikasi sistem dan kekuasaan.
Sering saya sampaikan di mana-mana bahwa jika di masa lalu Islamophobia itu terjadi di pinggir-pinggir jalan. Sekarang justru keluar dari Gedung Putih dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Baik itu bersifat formal maupun bersifat informal berupa sikap dan kata dari pemerintah.
Intoleransi sistem di bawah pemerintahan Donald Trump salah satunya terwujud dalam bentuk kebijakan pelarangan orang-orang Islam dari negara-negara mayoritas Muslim untuk masuk Amerika. Kebijakan atau aturan ini dikenal dengan “Muslims ban”.
Kecenderungan intoleransi itu tumbuh bagaikan jamur di mana-mana, di berbagai belahan dunia. Baik pada skala besar dan bersifat sistemik. Atau pada skala kecil dan bersifat sporadis.
Masih nampak di hadapan mata kita pembantaian saudara-saudara kita warga Rohingya di Myanmar. Wanita-Wanita mereka diperkosa. Para pria bahkan anak-anak dibantai atau dipaksa meninggalkan rumah-rumah dan kampung mereka.
Di abad 21 ini masih ada kelompok manusia yang tidak jelas kewarganegaraannya. Mereka tidak diakui sebagai warga negara di negara di mana mereka telah turun temurun. Mereka menjadi manusia aliens (asing) di negara sendiri.
Kita juga diingatkan oleh kekejaman yang dialami oleh saudara-saudara Muslim di Kashmir. Dari hari ke hari mereka semakin terisolasi dan terzholimi oleh militer India.
Bahkan kini pemerintahan Modi di India yang radikal memberlakukan undang-undang kependudukan yang rasis. Di mana di perundang-undangan tersebut semua bisa menjadi warga negara India terkecuali mereka yang beragama Islam.
Sementara itu saudara-saudara kita di Pelestina semakin tenggelam dalam kesuraman yang tiada akhir. Pemerintahan Trump dengan semaunya mengakui Yerusalem Timur sebagai Ibukota Israel. Bahkan memindahkan kedutaan Amerika ke kota Suci itu walaupun bertentangan dengan resolusi PBB.
Bahkan terakhir Pemerintahan Trump membuat “deal” (persetujuan) dengan pemerintahan Netanyahu tanpa melibatkan pihak Palestina yang diakui sebagai penyelesaian konflik Palestina-Israel. Persetujuan yang mereka sebut dengan “the deal of the century” atau persetujuan abad ini ditolak mentah-mentah oleh pihak Palestina.
Anehnya justru ada beberapa negara Islam, yang justeru terkadang diakui sebagai wakil suara negara-negara Muslim, seolah mengakui bahkan memuji persetujuan buatan Trump dan Netanyahu itu. Negara-negara itu adalah Saudi Arabia, Emirates dan Qatar. Menyedihkan memang. Tapi itulah realita pahit.
Mungkin yang paling menyedihkan akhir-akhir ini adalah intoleransi ras dan agama yang terjadi di propensi Xinjiang atau Turkistan Timur di China. Saya katakan paling menyedihkan karena apa yang kita ketahui pasti jauh lebih kecil ketimbang yang sesungguhnya. Hal itu karena memang Komunis itu sangat ketat dalam menjaga rahasianya.
Kamp-kamp konsentrasi hanya pernah terjadi berabad lalu di Eropa. Di saat Hitler dan tentara Nazi membasmi kaum Yahudi. Kini perlakuan itu juga terjadi kepada Komunitas Muslim di Xinjiang. Walaupun pemerintah Komunis China pintar menutupinya dengan istilah-istilah positif seperti “education camp” atau pelatihan pekerjaan, dan lain-lain.
Tapi adakah yang lupa dengan kelicikan dan kekejaman penguasa komunis? Tentu bagi bangsa Indonesia kekejaman Komunis bukan sesuatu yang mengejutkan. Bangsa ini pernah menjadi korban kebengisan manusia yang menganut ideolgi komunis.
Pada skala sporadis intoleransi agama dan ras kita juga lihat terjadi di beberapa negara mayoritas Muslim. Ada gesekan-gesekan sosial yang terjadi sebagai akibat langsung dari intoleransi agama dan ras.
Di Indonesia misalnya kita lihat beberapa waktu lalu terjadi kekerasan kepada warga Bugis Makassar di Papua. Peristiwa itu menimbulkan keresahan ras dan etnis di beberapa daerah Indonesia.
Mungkin yang terbaru adalah peristiwa pengrusakan Rumah ibadah di Minahasa, yang kemudian terungkap bahwa pemerintah atau kepala desa setempat ikut serta dalam aksi itu. Menjadikan peristiwa intoleransi itu menjadi semakin rumit.
Kalau itu memang masalah hukum kenapa rakyat dibiarkan bermain hakim? Bukankah dalam sebuah negara yang berdaulat rakyat seharusnya tidak main hakim sendiri?
Saya juga perlu tegaskan bahwa sebagaimana saya menentang bahkan mengutuk intoleransi terhadap Umat Islam, saya juga menentang dan mengutuk dengan penentangan dan kutukan yang sejajar intoleransi Umat islam kepada non Muslims.
Saya akan menentang intoleransi itu dari pihak mana saja dan siapapun pelakunya. Sebab bagi saya intoleransi kepada “sebuah kelompok” adalah intoleransi kepada “semua kelompok”.
Di Amerika selalu saya sampaikan bahwa Islamophobia dan anti Semitisme (anti Yahudi) adalah bagaikan dua sisi mata uang. “An attack on any is an attack on all” (serangan kepada seseorang adalah serangan kepada semua orang).
Pada akhirnya dalam dunia global saat ini, kita semua hidup dalam sebuah rumah kecil bersama. Semua manusia tanpa kecuali sesungguhnya hidup di bahwa atap yang satu.
Karenanya di hadapan kita hanya ada satu pilihan untuk terwujudnya dunia yang tentram, aman dan damai. Yaitu berani menembus sekat-sekat perbedaan yang ada dan membangun kerjasama atas dasar persaudaraan dan cinta kasih (rahmah).
Dan saya sangat yakin, Islam yang seungguhnya mendorong pemeluknya untuk mengedepankan hubungan positif, kasih sayang dan kerjasama itu. Karena di manapun hadir Islam akan selalu menampilkan diri sebagai “rahmatan lil-alamin”. Semoga!
*Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.
Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari presentasi yang disampaikan Shamsi Ali di acara Annual Interfaith Harmony di PBB New York, 6 Februari 2020.
(AK/R6/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)