Bahron Ansori*
“Aku tinggalkan dua perkara yang apabila kalian berpegang teguh pada keduanya maka tidak akan sesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan terpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (syurga).” (HR. Al Hakim dan Baihaqi).
Ittiba’ adalah mengikuti satu pendapat dari seorang ulama dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan penjelasan yang menukil dari perkataan Abu Dawud : “Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan : Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum” [lihat I’lamul-Muwaqqi’in 2/139].
Bagi seorang Muslim, mengikuti sunnah Rasulullah adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, untuk mengamalkan ajaran Islam yang benar lagi sempurna harus sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam serta para sahabat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-20] Tentang Istiqamah
Dasar-dasar ibadah yang telah ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah kewajiban yang harus ditaati oleh setiap muslim, seperti dalam firmanNya, “Dan apa yang Rasul berikan untuk mu, maka terimalah ia, dan apa yang ia larang bagimu, maka juhilah.” (Qs. Al-Hasyr : 7).
Perilaku, perkataan dan takrir Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam disebut sunnah. Dalam Islam, sunnah Nabi adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Bahkan prilaku Rasulullah ini diakui oleh para sarjana Barat, merupakan gambaran kesempurnaan seorang manusia. Dan tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang diikuti perilakunya oleh berjuta-juta orang hingga detik ini kecuali Muhammad Rasulullah. Karena akhlak beliau merupakan akhlak yang paling sempurna. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam: 4).
Allah nyatakan di ayat lain, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzab : 21). “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Qs. Al Anbiya’: 107).
Semua itu telah tercatat dalam sejarah yang merupakan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Betapa banyak kaum salaf (generasi terdahulu) yang mengagumi akhlak Rasulullah dan berusaha menyelaraskan kehidupan mereka dengan sunnahnya. Sejak pagi hingga pagi lagi.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Umat Islam sepakat, untuk memahami Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia, harus merujuk kepada sunnah Rasulullah.
Karena, Al-Qur’an diturunkan disamping yang detail, memuat prinsip-prinsip hidup dan hukum Islam yang masih global, sedangkan sunnah Rasulullah mengajarkan petunjuk pelaksanaan dan rinciannya. Jadi, sunnah sangat diperlukan seorang muslim untuk mengamalkan Islam secara baik dan benar. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Siapa yang taat kepada Rasul, maka ia taat kepada Allah.” (Qs. Al-Nisaa : 80).
Karena itu, bagi orang beriman, mengikuti sunnah atau tidak bukanlah suatu “kebebasan memilih”. Sebab mengamalkan ajaran Islam sesuai garis yang telah ditentukan oleh Rasulullah adalah kewajiban yang harus ditaati.
Rasulullah Sebagai Uswah
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Hidup akan terasa indah dan bermakna jika mengikuti apa-apa yang diajarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setiap aktifitas yang diarahkan kepada Allah tidak akan menjauhkan dari hubungan hidup denganNya, bahkan membuat si hamba semakin disukai dan diridhaiNya. Tidak ada karunia dan kenikmatan yang lebih besar daripada ketentraman dan keserasian hidup. Sebab itu, awali segala aktifitas keseharian kita dengan arahan Allah, serta bimbingan Rasulullah.
Kasih sayang yang dimiliki Rasulullah harus diserap oleh setiap muslim dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kecintaan kepada sesama dan semua makhluk Allah dapat terpelihara. Pengabdian hidup Nabi untuk kejayaan Islam, kita amalkan. Pengorbanannya untuk kedamaian umat manusia, kita jaga. Kesederhanaannya dalam hidup sehari-hari, kita ikuti. Dan keikhlasannya dalam beramal, kita praktekkan. Maka, dengan mengikuti prilaku dan akhlak Nabi yang mulia kita akan menjadi orang mulia, baik dalam pandangan Allah maupun di mata manusia.
Tetapi tidak setiap manusia yang ada di bumi ini mau dan mampu mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ada di antara mereka yang berat mengikuti sunnahnya. Ada pula di antaranya yang enggan melaksanakan yang telah dicontohkannya. Golongan yang enggan melaksanakan sunnah adalah orang-orang yang berlindung di balik hawa nafsunya. Mereka lebih mengutamakan ajakan setan daripada bisikan iman.
Mengikuti sunnah Nabi berarti mentaati Allah dan RasulNya. Enggan mengikuti sunnahnya, berarti menolak untuk masuk syurga. Hal ini seperti dalam sabda Rasululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Siapa yang mentaatiku pasti dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Mari Berjamaah
Begitu banyak sunnah yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam kehidupan ini. Salah satu dari sunnah Rasulullah yang sangat penting dan wajib diikuti serta diamalkan oleh kaum muslimin adalah menetapi kembali kehidupan berjama’ah di bawah pimpinan seorang imaamul muslimin.
Sistem khilafah adalah contoh ideal dalam menata kehidupan muslimin dimana dan kapanpun. Ketiadaan sistem yang agung ini, akan menyebabkan umat Islam terombang-ambing dan tercabik-cabik oleh fitnah yang disebarluaskan musuh-musuh Islam.
Tak bisa dipungkiri, runtuhnya khilafah Islamiyah menjadi penyebab utama lemahnya kesatuan umat Islam hari ini. Hilangnya kesadaran kaum Muslimin untuk kembali pada khithah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bila dibiarkan akan menjadi bencana yang besar. Padahal hidup berjama’ah merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana di tegaskan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu mejadilah kamu dengan ni’mat Allah itu orang-orang yang bersaudara….” (Qs. Ali Imran : 103).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Takhtim
Muslimin akan kembali jaya bila bersungguh-sungguh dan istiqomah mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam setiap aspek kehidupan. Hanya dengan mengikuti sunnah Rasulullah, hidup seorang muslim menjadi mulia.
Sementara, siapapun dari umat Islam yang menghindar dari sunnah yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan jauh dari keberkahan.
Mengikuti sunnah merupakan jalan terbaik untuk keluar dari berbagai permasalahan dunia yang melanda umat Islam saat ini. Ketika terjadi perselisihan, maka wajib bagi seorang muslim untuk kembali kepada Allah dan RasulNya. Hal ini dinyatakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa : 59).
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan (manusia) untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya, Allah mengulangi kalimat ‘Wa’atiiur Rasuula’ sebagai pemberitahuan bahwa taat kepada Rasul hukumnya wajib, tanpa pamrih dan tanpa membandingkan lagi dengan Kitabullah. Bahkan perintah beliau wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al Qur’an maupun tidak, “Karena beliau telah diberi kitab dan yang seperti itu bersamanya.” (I’lamul Muwaqqi’iin (II/89).
Para ulama telah sepakat bahwa kembali kepada Allah berarti kembali kepada KitabNya (Al Qur’an) dan kembali kepada Rasul ketika beliau masih hidup, dan setelah beliau wafat kembali kepada Sunnahnya, yang demikian termasuk dari syarat-syarat keimanan.”
Pertanyaannya, sudahkah kita menjadikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai suri teladan yang sebenar-benarnya sehingga kita ittiba’ kepadanya? Wallahua’lam.(R2/R1).
*Redaktur Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina