Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Ibu mendiang wartawan Amerika Serikat (AS) James Foley mengatakan, Jumat 6 Maret 2015, Jihad John adalah tragedi bagi orang tuanya ketika menyaksikan anaknya berubah menjadi pembunuh.
Jihad John adalah sebutan bagi algojo Islamic State atau ISIS yang mengeksekusi James Foley dalam rekaman video yang disebar secara online Agustus tahun lalu. Pekan-pekan terakhir ini dia diidentifikasi kuat bernama asli Mohammed Emwazi.
“Itu adalah salah satu bagian yang paling menakutkan,” kata ibu Foley, Diane Foley kepada televisi Inggris, Channel 4 News, tentang Emwazi yang merupakan pemuda cerdas dan banyak mendapat penghargaan akademik di London, tetapi menjadi seorang pembunuh.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Emwazi yang diduga kuat sosok di balik lelaki bertopeng ISIS, dikenal pandai dan lulus dari University of Westminster dengan gelar programmer komputer.
Emwazi dilaporkan berjuang bersama oposisi Muslim melawan pasukan Presiden Bashar Al-Assad sebelum bergabung dengan ISIS dan berubah menjadi algojo eksekusi sandera.
Dalam video yang muncul secara online, menunjukkan Jihad John membunuh anak Diane dengan pesan balas dendam atas perang AS di Irak dan Afghanistan, juga mengancam pembalasan terkait serangan udara koalisi pimpinan AS terhadap ISIS di Suriah dan Irak.
Keluarga Emwazi bersembunyi
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Sejak nama Mohammed Emwazi dilekatkan dengan sosok Jihad John, keluarganya di London harus pindah ke lokasi rahasia dan berada dalam pengamanan keamanan Inggris.
Keluarga Emwazi adalah anggota dari minoritas etnis Bedoon tanpa kewarganegaraan yang awalnya menyeberang dari Irak ke Kuwait setelah Perang Teluk pertama. Beberapa laporan mengklaim beberapa kerabatnya telah bekerja sama dengan Saddam Hussein.
Jassem, Ghania, Mohammed dan Asma Emwazi melarikan diri ke Inggris pada 1993 untuk mencari status pengungsi.
Keluarga Emwazi di London, terpaksa bersembunyi setelah Emwazi disebut sebagai Jihad John sejak 26 Februari 2015.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Ibunya dan empat dari lima saudara Emwazi dilaporkan berada di bawah perlindungan polisi di alamat rahasia di Inggris, dengan biaya hampir $ 10.000 per hari. Sementara ayah Emwazi, Jassem, dan adik tertuanya, Asma, berada di Kuwait.
Akhir pekan ini terungkap, Badan Polisi Metropolitan, Scotland Yard, telah meningkatkan patroli di dekat rumah keluarga Emwazi di Queen Park, barat laut London, di tengah kekhawatiran kemungkinan munculnya reaksi dan meningkatnya ketegangan masyarakat.
Meninggalkan orang tua untuk “jihad”
Kampanye ISIS di dunia maya yang begitu gencar dengan janji-janji hidup di bawah naungan syariat, ternyata menarik minat banyak pemuda dan pemudi Muslim di berbagai negara dunia untuk melakukan perjalanan “jihad” ke Suriah. Salah satunya adalah Mohammed Emwazi yang menghilang tanpa kabar, dan tiba-tiba muncul ke publik sebagai eksekutor sandera ISIS.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Kebanyakan dari mereka pergi dengan diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, meski tujuan utamanya adalah menghindari larangan dari pihak keamanan negaranya. Banyak orang tua yang kemudian hanya bisa terkejut ketika mendengar anaknya sedang bertempur di medan jihad atau telah gugur.
Pada 2012 Emwazi pernah dideportasi dari Dar Es Salaam, Tanzania, lalu ditahan di Inggris. Namun Emwazi berhasil melarikan diri dan berangkat ke Suriah lalu bergabung dengan ISIS. Diperkirakan ada 600 warga Inggris yang pergi ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan ISIS.
Pertengahan 2014, remaja laki-laki bernama Jake Bilardi (18 tahun) asal Craigieburn, utara Melbourne, Australia, pergi ke Istanbul kemudian melanjutkan ke Irak untuk mengikuti pelatihan misi martir dengan rompi bunuh diri.
Agustus 2014, Polisi Republik Indonesi (Polri) melansir sudah ada 56 WNI yang berada di Irak dan Suriah terkait ISIS.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Pada 17 Desember 2014, keamanan Malaysia menggagalkan keberangkatan 12 WNI yang berniat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Dalam rombongan ini terdapat bekas narapidana kasus terorisme M Sibgotulloh yang terlibat perampokan Bank CIMB Niaga di Medan pada 2010.
Pada 27 Desember 2014, enam orang asal Makassar, Sulawesi Selatan, ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka diduga akan berangkat ke Suriah dengan pesawat Qatar Airways tujuan Doha, lalu ke Istanbul untuk menuju Suriah.
Pada 17 Februari 2015, tiga remaja putri Inggris bertolak dari Bandara Gatwick menuju Istanbul, Turki. Mereka diduga menuju Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Pada 28 Februari 2015, 16 WNI dilaporkan memisihkan diri dari rombongan wisata di Turki. Mereka diduga menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Pada 12 Maret 2015, keamanan Turki menangkap 16 WNI di kota Gaziantep, dekat perbatasan Turki-Suriah. Menurut Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, ke-16 WNI yang ditangkap ini berbeda dengan 16 WNI yang menghilang sebelumnya.
Pesan maaf Emwazi untuk orang tua
Media Inggris The Sunday Times mendapati Mohammed Emwazi telah menyampaikan pesan penyesalannya dari Suriah kepada keluarganya melalui pihak ketiga.
Menurut seorang sumber informasi, Emwazi menyatakan maaf atas masalah dan kesulitan yang menimpa orang tua dan saudara-saudaranya, karena pengungkapan identitasnya.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Namun Emwazi tidak menyatakan penyesalan atas tindakan pemenggalannya terhadap beberapa sandera Barat yang dipublikasikan melalui video online, termasuk dua pekerja bantuan kemanusiaan asal Inggris.
Pernyataan maaf Emwazi kepada keluarganya dianggap untuk melegalkan perbuatannya dari sisi agama Islam, karena di dalam Islam diyakini, jika seorang anak tidak mematuhi atau tidak menghormati orang tuanya, maka kemungkinan besar akan masuk neraka.
Jihad harus tertib
Mengomentari fenomena maraknya pemuda Muslim dunia berangkat ke Suriah secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya, seorang ulama Indonesia mengatakan adalah keharusan seorang Muslim untuk berbuat “tertib” dalam pergi berjihad.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Narasumber kajian keislaman TV dan Radio Silaturahim Jakarta, Wahyudi KS, mengatakan seorang anak wajib memberitahu orang tuanya tentang keberangkatannya berjihad ke negeri konflik, merujuk sejarah kisah seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk pergi berperang.
“Jika seorang anak pergi berjihad secara diam-diam, tanpa diketahui orang tua sama sekali, ini bisa menimbulkan hal yang tidak diinginkan. Semestinya tetap tertib,” kata Wahyudi kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Jakarta, Selasa (10/3).
“Dalam Islam, Allah memberikan suatu tuntunan, tertib merupakan ciri khas dari umat Islam. Tidak bisa dianggap remeh. Terlebih jika anak tersebut belum lepas dari tanggungan orang tuanya, maka akan menimbulkan masalah bagi orang tua,” ujarnya.
Namun akan berbeda permasalahannya, Wahyudi menjelaskan, jika kondisinya memerlukan panggilan jihad sebagai prioritas.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
“Kondisi (seperti ini) tidak lagi berurusan kepada semua pihak. Jika melihat Quran Surat At-Taubah ayat 24, Allah, Rasul dan jihad fii sabilillah ini yang diutamakan,” ujar ulama juga Pemimpin Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor itu.
Wahyudi menegaskan, jika kondisinya normal, hendaknya seorang anak melakukan tertib dalam berangkat berjihad, yaitu atas izin orang tuanya. Tapi jika situasinya sudah darurat, maka prioritas adalah Allah, Rasul dan jihad.
Wahyudi meyakini, fenomena banyaknya pemuda yang berangkat ke Timur Tengah, terutama ke Suriah, mereka berangkat berjihad untuk meraih ridha Allah. Hanya pertanyaannya, apakah caranya dibenarkan.
Ustadz yang juga pakar pengobatan herbal tersebut mencontohkan apa yang terjadi di Gaza, Palestina. Warga Gaza mengaku tidak memerlukan bantuan Muslimin dunia dalam bentuk pasukan untuk melawan militer Israel ketika perang, tapi yang mereka perlukan adalah bantuan moril maupun materil.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
“Umat Islam saat ini, belum saatnya mengirim pasukan ke Gaza, karena Gaza sendiri pun masih merasa mampu menghadapi Israel. Hanya mereka kekurangan fasilitas dan senjata, maka kita bantu untuk fasilitasnya,” ujar Wahyudi, lulusan Daurah Al-Quds di Yaman.
Mengenai Suriah, dia mengatakan “masih dalam kondisi simpang siur”.
“Saya bertemu dengan seorang Muslim asal Malaysia yang sudah 15 kali bolak-balik ke Suriah. Dia mengatakan, jika ke Suriah dan tidak ada hubungan di sana, biasanya tidak terjamin keselamatannya,” ujarnya.
Menurutnya, Suriah adalah negeri konflik, di mana umat Islam berpihak pada penegak sunnah dan berhadapan dengan musuh Allah yang juga menggunakan “tangan kanan” kaum Muslimin.
“Ini memang program konspirasi internasional. Musuh-musuh Allah itu menggunakan tangan-tangan kaum Muslimin untuk menghantam kaum Muslimin itu sendiri,” tambahnya. (P001/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)