Jika Kartini Berjilbab

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Peringatan hari tiap tanggal 21 April umumnya masih sebatas pada pakaian berkebaya, mengenakan konde, dan berpawai berkeliling kota. Masih jauh dari wanita Indonesia yang diperjuangkan Raden Ajeng Kartini, terutama pada hobi membaca dan menulis Kartini, serta kecintaannya pada dialog keislaman dengan tokoh ulama serta keinginannya menggali kandungan Al-Quran.

Kungkungan adat kejawen, era penjajahan kolonial Belanda, dan terbatasnya akses pendidikan bagi kaum perempuan kala itu. membuat Kartini muda tumbuh besar di lingkungan ningrat yang kental dengan adat feodalisme Hindu-Jawa. Sekalipun RA Kartini adalah puteri seorang Bupati Jepara, sulit bagi wanita di jamannya untuk meraih kesempatan bersekolah lebih tinggi.

Bisa dibayangkan bagaimana jika seorang perempuan hidup pada situasi dan jaman seperti itu. namun toh Kartini muda masih sempat mengadakan dialog dengan ulama terkemuka saat itu dan belajar Al-Quran.

Pandangan Kartini tentang Islam, pun akhirnya mulai tersingkap setelah ia berdialog dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat.

Ajie Najmuddin dalam ‘Catatan Harian Seorang Integralis’ (2015) diungkapkan, menurut Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat, dirinya mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga paman Kartini. Saat itu Kyai Sholeh sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

Kyai Sholeh Darat sendiri adalah ulama yang melahirkan juga sosok ulama terkenal Indonesia macam, K.H.A. Dahlan (pendiri Muhamadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama).

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini merasa terkesan sepanjang pengajian, telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang kyai. Sebelumnya  Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna kandungan ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh. Akhirnya Kartini pun bertemu dan dialog dengan Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog saat itu.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan ternyata induk Al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kartini melanjutkan, “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Pernyataan RA. Kartini itu ternyata menggugah Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa.

Namun upaya Kyai Sholeh pada waktu itu terhambat oleh penjajah Belanda yang secara resmi melarang ulama menerjemahkan Al-Qur’an. Beliau pun dengan cerdik melanggar larangan ini, dengan tetap menerjemahkan Al-Qur’an, ya ia tulis dalam huruf “Arab gundul” sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada Raden Adjeng Kartini.

Ibu kita Kartini sebagai seorang Muslimah, dengan lingkungan keraton, kejawen dan perkenalannya dengan orang-orang Barat, memberikan komentarnya, “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Namun sejak hari  ini ia menjadi -benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

Melalui terjemahan Kyai Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya di antaranya, “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 257).

Ayat ini ikut menjiwai surat-surat Kartini, yang kemudian diterjemahkan menjadi “ Terbitlah Terang” itu.

Selanjutnya, surat-surat dalam Al-Quran yang diterjemahkan Kyai Sholeh atas pemintaan Kartini adalah mulai dari Surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim (Surat ke -14 di dalam Al-Quran).

Kartini yang memang hobi membaca itu, membacanya secara serius, pada setiap waktu. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai sampai seluruh Al-Quran, karena Kyai Kiai Sholeh Darat keburu wafat.

Kyai Sholeh telah membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang kemajuan Barat pun berubah. Ini juga dikemukakan oleh Teguh Setiawan dalam artikel “RA Kartini dan Islam” (Republika, 1 April 2012).

Disebutkan bahwa pandangan Kartini itu tertuang dalam surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu, terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai”.

Terakhir, dalam suratnya ke Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.

Semangat perjuangan RA. Kartini bukan hanya dalam mengentaskan keterkungkungan kaum perempuan pada masa penjajahan tersebut. Namun lebih dari itu, adalah semangat spiritualnya dalam mengkaji dan menggali nilai-nilai mulia kandungan Al-Quran.

Tulisan-tulisan Kartini selanjutnya, banyak mengungkap tentang pentingya mengangkat derajat kaum perempuan. Seperti yang berisi, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

Itu tidak menutup kemungkinan dapat terinspirasi dari surat di dalam Al-Quran yang menyatakan tentang peran perempuan, yakni Surat An-Nisa (artinya perempuan), surat keempat di dalam Al-Quran.

Perjuangan R.A. Kartini untuk menemukan cahaya terang Islam dengan menggali kandungan Al-Quran itulah yang jauh lebih pokok untuk diteruskan oleh Kartini-Kartini abad kini.

Kartini

Kartini yang masih belajar Islam dari Kyai Sholeh Darat sudah sampai pada Surat Ibrahim atau Surat ke-14 dalam Al-Quran. Ia belum sempat pada penjelasan tentang kerudung dan jilbab yang tertuang pada Surat An-Nuur (surat ke-24) dan Sutat Al-Ahzab (surat ke-33).

Pakaian kebaya dengan sanggul berkonde dalam situasi dan kondisi waktu itu, apalagi berkenalan dengan sahabat-sahabat orang-orang Belanda, semacam J.H Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Belanda. Memang membuat Kartini menjadi sosok yang lebih disukai Belanda daripada tokoh-tokoh perempuan lain Indonesia, semisal Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, atau Cut Po Fatimah dari Aceh.

Namun, ternyata Kartini yang taat berbusana Jawa masih seorang yang gigih mempertahankan iman, Islam dan ikhsannya pada jamannya. Ini ia buktikan dengan permintaan dan kecintaannya belajar Al-Quran melalui Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab (Arab pegon), yang disusun Kyai Sholeh darat.

Kartini amat menyukai Kitab Tafsir tersebut, dan mengatakan, “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

Ada kemungkinan, seandainya Kitab Tafsir itu sampai pada Surat An-Nuur dan Al-Ahzab, RA Kartini pun memakai jilbab.

Seperti pada ayat ke-31 Surat An-Nuur yang menyebutkan,Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya….”.

Juga pada Surat Al-Ahzab ayat 59 yang menyebutkan,”Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya [4] ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.

Kaum perempuan Indonesia, selayaknya perlu meneruskan kajian Al-Quran RA Kartini yang belum tuntas, hingga pada kewajiban menutup aurat, mengenakan kerudung dan jilbab. Sehingga akan muncul generasi Kartini-Kartini berjilbab yang melandasi hidupnya dengan Al-Quran. Semoga saja. (P4/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.