Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar, Istri Rasulullah

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Seperti diketahui, setiap istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu memiliki suatu kelebihan. Begitu juga halnya dengan istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Juwairiyah bin Abu Dhirar yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya, Bani Musthaliq.

Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Bani Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah, “Aku tidak mengetahui jika ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah.”

Juwairiyah adalah putri seorang pemimpin Bani Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhirar yang sangat memusuhi Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerangi mereka sehingga banyak kalangan mereka yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di antara tawanan tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan keislamannya itu merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.

Kelahiran dan masa pertumbuhannya

Juwairiyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah. Semula namanya adalah Burrah, yang kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah.

Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilmunya dan paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.

Berada dalam tawanan Rasulullah

Di bawah komando al-Harits bin Abi Dhirar, orang-orang munaflk berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kaum muslimin.

Namun, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka. Dalam  penyerangan tersebut, Aisyah r.a. turut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan.

Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Banil-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putrinya, Juwainiyah, tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari. Juwairiyah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengadukan kehinaan dan kemalangan yang menimpanya, terutama tentang suaminya yang terbunuh dalam peperangan.

Tentang Juwairiyah, Aisyah mengemukan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqatnya, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menawan wanita-wanita Bani  Musthaliq, kemudian beliau menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain mendapat satu bagian. Juwainiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum muslimin.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tengah berkumpul denganku, Juwairiyah datang menanyakan tentang penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia menemui beliau. Kemudian dia benkata, “Ya Rasulullah, aku Juwairiyah binti al-Harits, pemimpin kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan Tsabit bin Qais. Dia membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku sangat menginginkan kebebasanku.”

Beliau bertanya, “Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu?” Dia balik bertanya, “Apakah gerangan itu?” Beliau menjawab, “Aku penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku akan menikahimu.”

Dia menjawab, “Baiklah, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, “Aku akan melaksanakannya.” Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah berkata, “Ipar-ipar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak layak menjadi budak-budak.” Mereka membebaskan tawanan Bani Musthaliq yang jumlahnya hingga seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah daripada Juwairiyah.”

Selain itu, Aisyah sangat memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya yang menyebabkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu dengan keadaan seperti itu. Padahal Rasulullah berbuat baik kepada Juwairiyah bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena rasa belas kasih beliau kepadanya. Juwairiyah adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dan saat itu dia telah menjadi tawanan rampasan perang kaum muslimin.

Mendengar putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhirar mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, namun dia hanya membawa dua ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke al-Haqiq di bawah pengawasan para pengawalnya.

Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di masjid. Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan al-Harits dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya, dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyerahkan keputusan kepada Juwairiyah.

Juwairiyah berkata, “Aku telah memilih Rasulullah.” Ayahnya berkata, “Demi Allah, kau telah menghinakan kami.” Dalam riwayat kedua seperti yang disebutkan Ibnu Hisyam bahwa al-Harits menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Ya Muhammad, engkau telah menawan putriku. Ini adalah tebusan untuk kebebasannya.”

Rasulullah menjawab, “Di manakah kedua unta yang engkau sembunyikan di al-Haqiq? Di tempat anu dan anu?” Al-Harits menjawab, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusan-Nya. Tiada yang mengetahui hal itu selain Allah.” Al-Harits memeluk Islam dan diikuti sebagian kaumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminang Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham.

Berada di rumah Rasulullah

Ketika Juwairiyah menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau mengubah namanya, yang asalnya Burrah menjadi Juwairiyah, sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad, “Nama Juwainiyah binti al-Harits merupakan perubahan dari Burrah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir disebut bahwa beliau keluar dan rumah burrah.”

Juwairiyah telah memeluk Islam dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan ibadahnya, di antaranya, “Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak melakukan shalat fajar dan keluar dari tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahari meninggi, beliau pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya.

Juwairiah berkata, ‘Aku tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Aku akan mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kerjakan, niscaya akan lebih berat dalarn timbangan, ‘Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha Suci Allah Penghias Arasy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya.”

Setelah Rasulullah . meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.

Saat Wafatnya

Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan tahun 56 H. Saat itu, usianya genap enam puluh tahun. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri- Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.(A/RS3/RS2)

(Sumber : Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh).

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.