Oleh: KH Bachtiar Nasir
(Pimpinan AQL Islamic Center)
RASULULLAH Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan dan mencontohkan kepada umatnya bahwa ketika memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan hendaknya mereka betul-betul menggunakan umur dan kesempatan yang diberikan Allah kepadanya untuk fokus dan memperbanyak segala macam amal ibadah. Agar mereka dapat mencapai tujuan dari kesempatan bulan Ramadhan yang diberikan kepadanya, yaitu menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa dan mendapatkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan:
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ ، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya. (Riwayat Muslim).
Salah satu amalan utama di sepuluh terakhir bulan Ramadhan ini sebagaimana yang selalu dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi w sallam adalah itikaf. Yaitu ibadah dalam bentuk berdiam diri di dalam masjid karena Allah yang diisi dengan segala bentuk ketaatan agar bisa fokus mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu beritikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagai orang beriman kita butuh suasana dan lingkungan seperti suasana dalam itikaf itu untuk membersihkan jiwa kita. Serta menguatkan kembali keimanan dan keyakinan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mungkin sangat sulit kita dapatkan di luar suasana itikaf itu.
Tentunya salah satu tujuan utama dari ibadah itikaf adalah agar kita mendapatkan kemuliaan bertemu dengan lailatul Qadar, malam yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan, malam yang beribadah di malam itu lebih baik dari ibadah selama seribu bulan.
عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ : تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beritikaf pada 10 terakhir Ramadahan dan bersabda: “Carilah lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Adapun mengenai waktu mulai masuk ke masjid untuk beritikaf di sepuluh terakhir Ramadhan adalah ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. Ini adalah pendapat jumhur ulama termasuk imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad.
Hal itu karena dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang sepuluh hari terakhir Ramadhan disebutkan (العشر الأواخر) dan itu menunjukkan malam karena kata (العشر) dalam ilmu nahwu adalah tamyiz untuk malam bukan siang, sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Fajr ayat 2 (وَلَيَالٍ عَشْرٍ). Dan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan itu dimulai dari malam ke-21.
Dan juga karena salah satu tujuan utama dari itikaf adalah mendapatkan lailatul qadar yang menurut hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan. Dan malam ke-21 Ramadhan adalah malam ganjil yang kemungkinan lailatul qadar terjadi pada malam itu sehingga sangat dianjurkan agar kita sudah beri’tikaf pada malam itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Namun, ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau memasuki tempat itikafnya setelah shalat subuh, yaitu hadist:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ingin beri’tikaf maka beliau sholat subuh kemudian memasuki tempat i’tikafnya. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama berpegang pada zhahir hadits ini bahwa orang yang ingin beri’tikaf hendaknya masuk masjid tempatnya itikaf setelah shalat subuh.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah beritikaf di dalam masjid sebelum matahari terbenam. Tetapi beliau tidak masuk ke tempat khusus yang disediakan untuk beliau beritikaf kecuali setelah shalat subuh.
Ketika menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini dijadikan sebagai hujjah oleh mereka yang berpendapat bahwa i’tikaf itu dimulai dari pagi hari, seperti al-Auza’i, al-Tsauri dan Imam al-Laits dalam satu pendapatnya. Sedangkan Abu hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa orang yang beritikaf itu masuk masjid sebelum matahari terbenam jika ingin beri’tikaf. Mereka menjelaskan bahwa maksud hadits Nabi di atas adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat khusus itikaf dan menyendiri setelah sholat subuh, bukan menunjukkan mulainya waktu i’tikaf beliau.
Sedangkan waktu keluarnya adalah ketika matahari sudah terbenam di hari terakhir Ramadhan karena itu berarti bulan Ramadhan sudah habis dan masuk bulan Syawal.
Tetapi jika yang beritikaf memilih untuk tetap bertahan di masjid tempat ia itikaf sampai shalat Id, maka itu tidak apa-apa. Dalam kitabnya al-Majmu’ syarhul muhadzdzab, Imam Nawawi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama mazhabnya mengatakan bahwa barangsiapa yang ingin mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan maka hendaklah ia masuk masjid sebelum matahari terbenam di malam ke-21 agar ia tidak ketinggalan apapun.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Dan keluar setelah matahari terbenam di malam hari raya, baik bulan itu lengkap (30 hari) atau kurang. Dan lebih baik di tetap tinggal di malam hari raya itu di masjid hingga ia shalat ‘id disitu atau keluar ke tempat shalat ‘id dari masjid itu jika shalat ‘id dilakukan di tanah lapang. Wallahu a’lam bish shawab. (A/R4/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati