Karunia Ramadhan dan Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa ternyata proklamasi  kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, itu bersamaan waktunya dengan Jumat, 9 1364 H. Ini telah menjadi kenyataan, bahwa kemerdekaan RI dinyatakan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Karena itu, Ramadhan dan Agustus dapat dimaknai sebagai bulan kemerdekaan, baik dalam pengertian ruhani atau jiwa maupun dalam pengertian fisik.

Ramadhan dimaknai sebagai bulan kemerdekaan ruhani, jiwa, mental dan spiritual, dari cengkeraman hawa nafsu dan dari godaan dan rayuan syaitan yang terbelenggu. Agustus juga dimaknai sebagai bulan kemerdekaan warga dan bangsa Indonesia dari genggaman, penindasan, serta eksploitasi kaum kolonialis dan imperialis penjajahan.

Seperti dikemukakan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid yang mengingatkan bahwa Proklamasi bangsa Indonesia yang diwakili Soekarno dan Hatta jatuh pada 9 Ramadhan.

Hal ini menurut dia, perlu diingat sebagai upaya untuk menghadirkan penguatan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara, ujarnya di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (14/06/2016) seperti dilansir Kantor Berita Antara.

Lebih lanjut menurutnya, peringatan ini juga merupakan upaya untuk menyegarkan ingatan bahwa proklamasi dilakukan di bulan yang sangat mulia, yakni bulan Ramadhan. “Ini bukan sebuah kebetulan, tapi merupakan berkah Allah,” katanya.

Sementara itu, anggota DPR RI Jazuli Juwaini mengajak seluruh umat Islam Indonesia mensyukuri dan melakukan refleksi atas peran dan kontribusi Umat Islam dalam menjaga dan mengisi .

Dia menyebut banyak pihak yang belum mengetahui tentang fakta bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia itu terjadi pada bulan Ramadhan.

“Umat Islam Indonesia harus berbesar hati karena rahmat kemerdekaan 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan, saat umat sedang berpuasa. Ini punya makna historis yang mendalam bagi umat Islam,” ujar Jazuli seperti dikutip Okezone, Selasa (14/6/2016).

Pilihan hari proklamasi kemerdekaan adalah sayyidul ayyam atau penghulunya hari, yakni Hari Jumat dan di bulan Ramadan. Pilihan ini disengaja oleh Soekarno sebagai proklamator.

Soal hari ini sendiri, Bung Karno meminta saran ke para ulama, di antaranya Kiai Abdoel Moekti dari Muhammadiyah dan Kiai Hasyim Asy’ari dari Nahdatul Ulama.

Teks Proklamasi sendiri, menurut Mr. Achmad Soebardjo, didiktekan oleh Bung Hatta dan ditulis Bung Karno pukul 03.00 pada waktu sahur Ramadan.

“Kontribusi umat Islam, tokoh pergerakan, para kyai dan santri dalam usaha-usaha kemerdekaan dicatat dengan tinta emas dan tidak terbantahkan. Inilah kebanggaan yang seharusnya diwarisi oleh umat Islam dalam mengisi kemerdekaan hingga hari ini,” sebutnya.

Menurut Jazuli, peningkatan peran dan kontribusi umat Islam semakin penting dalam menjaga ke-Indonesiaan karena bangsa ini sedang menghadapi tantangan bahkan ancaman yang merongrong identitas dan karakter kebangsaan dalam semua aspek, mulai ideologi, politik, ekonomi, hankam, dan sosial budaya.

“Masifnya serbuan ideologi liberal telah melemahkan jati diri dan karakter kita sebagai bangsa dan negara Pancasila dalam seluruh aspek. Belum lagi isu seputar munculnya lagi paham komunis, adalah ancaman serius bagi nasionalisme kita,” tegasnya.

Termasuk saat mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu. Seperti barlangsung di kota Surabaya, Sabtu 10 November 1945 yang bertepatan dengan tanggal 4 Dzulhijjah 1364 H, di hari hari penuh keutamaan di awal Bulan Hajji.

Bung Tomo yang bernama asli Sutomo, berpidato dengan lantang dimulai dengan “Basmallah” dan diakhiri “Takbir” Allahu Akbar, yang membahana dan berhasil menggetarkan hati setiap mukmin sejati Surabaya untuk berjihad fii sabilillah mempertahankan kemerdekaan dan melawan tentara sekutu yang hendak menduduki Indonesia.

Beberapa pernyataan pidato Bung Tomo antara lain, “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara…. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka…!!!”.

Jadi memang, bangsa ini, seluruh rakyat ini berhutang budi pada Islam dan pada umat Islam Indonesia. Karena itu layak jika pemerintah atau siapapun yang memimpin di negeri ini dan di wiayah-wilayah Indonesia, memberikan ruang dan tempat bagi umat Islam dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia.

Hakikat Kemerdekaan

Imamudin Yuliadi dalam artikel Ramadhan dan Kemerdekaan di Harian Republika menyebutkan, “Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu segala bentuk penjajahan dan penindasan harus dihapuskan dari muka bumi”. Pembukaan UUD 1945 itu menegaskan komitmen bangsa Indonesia tentang makna kemerdekaan bagi setiap insan.

Sesungguhnya Islam hadir membawa misi pembebasan bagi manusia dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Islam hadir untuk memperbaiki akhlak umat manusia dan selanjutnya hanya menghamba kepada Allah. Termasuk dalam hal ini mem bebaskan manusia dari kungkungan hawa nafsu yang mendorong manusia bersikap destruktif.

Misi Islam juga sesungguhnya un tuk memanusiakan manusia (humanisasi), yaitu menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam artian, menempatkan manusia sebagai hamba Allah yang mempunyai misi untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini, membawa sebagai ajaran yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Karena itu, tidaklah sempurna iman seorang, manakala kesalehan ritual yang ditunjukkan dengan shalat, puasa, dan lainnya, tidak membawa implikasi positif bagi proses kemanusiaan pada sekelompok masyarakat marginal (dhu’afa). Terutama dalam bentuk kepedulian dengan memberikan kontribusi bagi penguatan sendi-sendi ekonomi umat.

Ramadhan adalah bulan pencucian diri melalui ibadah puasa, yaitu mencapai hakikat hidup yang autentik sehingga mencapai predikat takwa. Puasa Ramadhan mengajarkan kita tentang makna keikhlasan, kesederhanaan, kemanusiaan, kesabaran, dan kedisiplinan sebagai prasyarat untuk mencapai derajat muttaqin.

Dan hakikat kemerdekaan yang tertinggi adalah manakala kita terbebaskan dari belenggu ‘hubbud dunya’ (cinta berlebihan terhadap dunia, hingga lupa akhirat). Bukan dunia tidak perlu, tapi jangan sampai mengikatnya dari perjuangan di Jalan Allah.

Sebab, manakala terikat dengan jerat dunia dan segala gemerlap nikmatnya, ia menjadi orang yang tidak merdeka berjuang di jalan Allah. Seperti mau ta’lim ada bisnis, mau dakwah ada urusan dagang, mau infaq enggan karena keuntungannya untuk modal berikutnya, mau bershadaqah sayang karena untuk jajan anak-anak, dan seterusnya. Artinya dia sebenarnya tidak menikmati kemerdekaan dalam menghambakan dirinya kepada Allah.

Karena itu, marilah kita menjadi orang-orang yang merdeka di jalan Allah, merdeka berjuang di jalan Allah, merdeka mengkhidmati perjuangan menegakkan kalimah Allah, yang tidak terjajah oleh hubbud dunya wa karohiyatul maut (cinta berlebihan terhadap dunia dan takut menghadapi kematian).

Merdeka berjuang dalam satu kesatuan ummat yang rahmatan lil alamin, tidak terjajah oleh kepentingan individu dan golongan. Kita syukui karunia Ramadhan yang sedang kita jalani, dan karunia kemerdekaan Indonesia yang sedang kita isi oula dengan pembangunan, untuk menggapai ridha ilahi. Aamin. (P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.