Kasus Siyono Belum Terungkap, Pusat Hak Asasi Muslim Pertanyakan Peran Densus

Jakarta, MINA – Pusat Hak Asasi Muslim (Pushami) yang telah mengadvokasi bertahun-tahun kasus terorisme oleh teringat yang menjadi korban salah tangkap dan berujung kematian. Ini adalah pelanggaran HAM berat.

Kasus kematian ini terjadi justru pada masa 7 hari penangkapan yang diartikan secara serampangan oleh aparat Densus 88. Pushami menyebut praktik tersebut jelas bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang telah diratifikasi melalui UU nomor 5 tahun 1998.

“Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia,” ujar Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Publik Pushami, Jaka Setiawan dalam keterangannya, Kamis (14/3).

Menurutnya, istilah ‘penyiksaan’ berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga.

“Atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik,” kata dia.

Padahal, tindakan penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention) melanggar pasal 18 ayat (1) UU nomor 8 tahun 1981 dan pasal 34 UU nomor 39 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang sewenang-wenang.

“Dengan demikian, tindakan arbitrary detention merupakan pelanggaran HAM,” tegasnya.

Pasal 33 ayat (1), setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya dan pasal 34 UU nomor 39 tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.

Hak untuk tidak disiksa ini, kata Jaka, merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 UU HAM 1999.

Dalam praktik yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini, dengan mengkategorikan terorisme sebagai extra ordinary crime, maka kategori ini dijadikan oleh negara melalui tangan Densus 88 melakukan praktek extra legal procedure yang berakibat terjadinya gross violation of human rights.

“Maka, polri harus melakukan audit kinerja, anggaran dan bubarkan Densus 88 jika kasus-kasus serupa Siyono tidak bisa diungkap dalang, latar belakang, dan pelakunya,” ujar Jaka. (R/R11/R06)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Rendi Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.