Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Libya yang tanpa hukum telah menjadi magnet tersendiri bagi para pejuang untuk menerima pelatihan senjata di kamp-kamp jihad di negara itu, sebelum meluncurkan serangan mematikan ke negara lain, seperti serangan pekan lalu di pantai kota Sousse,Tunisia, yang membantai 38 wisatawan asing.
Negara Afrika Utara kaya minyak yang berbatasan dengan Tunisia itu memiliki dua pemerintah dan parlemen saingan. Kedua penguasa yang juga memiliki militer masing-masing, memerangi kelompok-kelompok bersenjata yang berlomba-lomba untuk berkuasa pasca pemberontakan 2011 yang menggulingkan Moamer Gadhafi.
“Kekacauan di Libya memiliki implikasi keamanan yang serius untuk kawasan”, kata Michael Nayebi-Oskoui, pengamat senior Timur Tengah kepada Stratfor, sebuah perusahaan penasehat dan intelijen dunia yang berbasis di kota Texas, Amerika Serikat.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Menurutnya, Libya telah mengalami konflik yang lebih kecil dari Suriah tapi memiliki pejuang yang stabil.
Pemerintah Tunisia mengatakan, ada 3.000 warganya yang berjuang bersama kelompok pejuang di Suriah, Irak dan Libya. Sebanyak 500 veteran pejuang telah kembali ke tanah air, di mana mereka dianggap menimbulkan ancaman keamanan dalam negeri.
Pada tanggal 26 Juni, seorang mahasiswa yang dipersenjatai dengan senapan serbu membantai sedikitnya 38 turis di resort pantai populer Pelabuhan el Kantaoui, kota Sousse, Tunisia timur. Itu menjadi serangan mematikan kedua terhadap turis dalam tiga bulan di Tunisia.
Pihak berwenang mengidentifikasi pria bersenjata itu sebagai mahasiswa Tunisia 23 tahun bernama Seifeddine Rezgui. Meski sebelumnya pemerintah menyatakan Rezgui tidak pernah ke luar negeri, namun kemudian ia diduga kuat menerima pelatihan senjata dari pejuang di Libya.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Saat peristiwa penembakan di Museum Nasional Bardo di Tunis pada Maret yang menewaskan 21 turis dam seorang polisi, Rezgui diduga berada di Libya.
“Hal ini menegaskan, ia pergi ke Libya secara ilegal. Dia dilatih di Sabratha (barat Tripoli),” kata Sekretaris Negara Bidang Keamanan, Rafik Chelli.
Para penyerang Museum Bardo keluar dari Tunisia pada waktu yang sama dan mereka telah dilatih oleh Ansar al-Sharia, kelompok Al-Qaeda yang digolongkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan PBB.
Kamp Sabratha
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Sabratha yang menjadi tempat pelatihan adalah kota pesisir yang terletak 60 kilometer (35 mil) barat dari Tripoli atau hanya 100 kilometer dari Ras Jdir, perbatasan utama persimpangan antara Libya dan Tunisia.
Sabratha adalah daerah yang melintasi perbatasan Libya-Tunisia yang dikenal sebagai Jefara. Daerah ini didiami oleh jaringan suku nomaden yang sebelumnya hidup dari pekerjaan perdagangan dan penyelundupan.
Menurut Philip Stack, seorang pengamat Timur Tengah dan Afrika Utara, Sabratha berada di bawah yurisdiksi aliansi milisi Libya Dawn, koalisi pejuang yang tahun lalu merebut Tripoli, mendirikan pemerintah dan parlemen serta menentang pemerintahan yang diakui secara internasional. Pemerintah sebelumnya akhirnya memindahkan basisnya ke kota timur Tobruk.
Para pejabat keamanan di Tripoli mengatakan, ratusan pejuang asing, termasuk dari Tunisia, telah kembali dari Suriah dan Irak. Mereka memasuki Libya dalam beberapa bulan terakhir, mengambil keuntungan dari kacaunya keamanan di negeri peninggalan Gadhafi itu.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Fallujah baru
Kelompok Islamic State atau ISIS/ISIL/Daesh sudah mendapatkan pijakan di Libya dengan mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan terhadap wisatawan asing di Museum Bardo dan pantai Sousse, Tunisia.
Kelompok ini sekarang mengontrol kota pesisir Sirte, kota kelahiran Kadhafi, sekitar 500 kilometer dari Sabratha.
“Kelompok ini menemukan lahan subur di kota setelah menyerang aliansi dan kelompok-kelompok bersenjata pro-Gadhafi,” kata seorang pejabat Sirte yang menolak disebutkan namanya, kepada Agence France Presse (AFP).
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Ini akan menjadi Fallujah baru dan tempat berkembang biaknya pelatihan ekstrimis dari berbagai negara,” katanya, mengacu pada kota di Irak yang identik dikuasai oleh kelompok pejuang yang tak tertandingi.
Pada Jumat 3 Juli, New York Times melaporkan, mujahid tinggi Tunisia Seifallah Ben Hassine, rekan almarhum Osama bin Laden, tewas dalam serangan udara di Libya pada pertengahan Juni.
Ben Hassine yang juga dikenal sebagai Abu Iyadh, diyakini telah mengkoordinasikan serangkaian pembunuhan, termasuk pembunuhan pejuang terkenal Afghanistan anti-Taliban, Ahmad Shah Masood, pada tahun 2011.
Dia juga dikaitkan dengan serangan terhadap kedutaan besar AS di Tunis pada 2012 dan pembunuhan dua politisi terkemuka Tunisia tahun berikutnya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Pengamat Tunisia, Slaheddin Jourchi mengatakan, kekacauan di Libya menimbulkan “bahaya nyata” terhadap keamanan strategis negaranya.
“Meskipun ada langkah-langkah keamanan dari Tunisia, namun ada jaringan yang mampu melintasi perbatasan untuk membawa para pemuda ke kamp-kamp di Libya, melatih mereka dengan jenis senjata yang akan mereka digunakan dalam serangan dan kemudian membawanya kembali ke Tunisia pada waktu yang tepat,” katanya. (T/P001/P2)
Dari berbagai sumber.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel