Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenapa Negara Arab Membuka Hubungan Dengan Israel ? (Bagian II)

Rifa Arifin - Rabu, 16 September 2020 - 03:08 WIB

Rabu, 16 September 2020 - 03:08 WIB

33 Views ㅤ

(foto;Nytimes)

Oleh; Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Bahasa Arab MINA

Yang belum membaca bagian pertama silahkan klik link ini (https://minanews.net/kenapa-negara-arab-membuka-hubungan-dengan-israel-bagian-1/)

Meskipun negara-negara Arab mendukung Palestina, akan tetapi Yasir Arafat menilai apabila Palestina bergantung kepada negara-negara yang lebih besar itu akan menimbulkan masalah tersendiri. Bahkan Arafat pernah merasakan akibatnya.

Pada tahun 1990, Irak di bawah kepimpinan Saddam Hussein menyerang Kuwait. Negara-negara Arab terutamanya Negara-Negara Teluk atau GCC (Gulf Cooperation Council) yang mencakup Arab Saudi, UAE, Oman, Qatar, Bahrain dan juga Kuwait menentang Saddam dan meminta bantuan AS untuk mengusir Saddam.

Baca Juga: Oposisi Israel Kritik Pemerintahan Netanyahu, Sebut Perpanjang Perang di Gaza Tanpa Alasan

Tapi rupanya Arafat dan PLO tidak setuju memilih membela Saddam. Oleh sebab Saddam pernah berjanji akan menekuk Israel dan mengembalikan hak-hak Palestina.

Tindakan Arafat sangat amat menyinggung Arab Saudi dan Kuwait, terlebih Kuwait. Setelah perang Kuwait-Irak berakhir, Kuwait mengusir pengungsi Palestina yang berada di Kuwait dan memutus bantuan keuangan untuk PLO. Arab Saudi mengamini Kuwait karena berpikir PLO telah mengkhianatinya.

Meskipun Perjanjian Oslo terlihat merugikan Palestina, tapi di sisi lain, hal itu penting bagi Palestina yang berada dalam kesulitan. Betapapun buruknya kesepakatan itu, tetap saja ia akan menciptakan entitas bernama Palestina di dunia. Apa yang dicanangkn Arafat kemudian hari dibenarkan oleh Mahmoud Abbas, Abbas pernah menyalahkan negara-negara Arab karena menolak Resolusi dan menyebabkan Palestina tidak dapat mendirikan negara.

Arab Saudi menyambut baik Perjanjian Oslo meskipun perjanjian tersebut dinegosiasikan tanpa sepengetahuannya, karena menurut Saudi sudah waktunya untuk melepaskan beban Palestina.

Baca Juga: Hamas Ungkap Borok Israel, Gemar Serang Rumah Sakit di Gaza

Belum lama setelahnya, Arab Saudi dihadapkan dengan masalah baru yang sama kritisnya, yaknii kebangkitan Iran dibawah Khomenei berideologi Syiah setelah revolusi 1979.

Iran Merupakan Ancaman Besar Bagi Arab Saudi dibandingkan Israel

Israel memiliki tujuan yang jelas hanya ingin memiliki wilayah tanah Palestina. Dan sebetulnya jika Israel berhasil mendirikan Israel Raya yang akan rugi adalah Palestina utamanya, Yordania, Suriah dan Irak, bukan Arab Saudi dan negara-negara teluk lainnya.

Rupanya Iran berbeda. Iran mengancam kelangsungan hidup monarki Arab Saudi dan negara Teluk karena Iran menganut ideologi anti-monarki.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Ayatollah Khomeini menggulingkan Shah Muhammad Reza Pahlevi karena berpendapat bahwa monarki itu tidak Islami dan harus digantikan oleh aturan ulama, atau “wilayah al-faqih“.

Iran paska revolusi menentang Arab Saudi juga sebaliknya, terlebih karena Arab Saudi tampil sebagai pemimpin dunia Islam. Maka Iran turut serta ambil porsi untuk membela Palestina dengan mendukung semua faksi-faksi di Palestina termasuk PLO, Hamas dan Jihad Islam. Akan tetapi karena hubungan Arafat dan Saddam kian terus meningkat, dan Irak menyerang Iran tahun 1988 akhirnya Iran mengambil tindakan memutus hubungan dengan PLO.

Pepatah mengatakan “musuh dari musuhmu adalah temanku”. Maka setelah Perjanjian Oslo, secara diam negara-negara Teluk mulai membuka hubungan dengan Israel, meskipun apa yang ditampilkan adalah tidak ada pengakuan terhadap kedaulatan Israel sebagai negara selama Palestina belum merdeka. Hanya Yordania yang secara terang mengakui Israel.

Sementara itu kebijakan luar negeri Turki dan Iran yang semakin agresif dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuat Arab Saudi dan negara-negara Teluk merasa sudah saatnya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Baca Juga: Semua Rumah Sakit di Gaza Terpaksa Hentikan Layanan dalam 48 Jam

Apalagi Erdogan menggunakan isu Palestina sebagai tujuan untuk memperluas pengaruhnya di Dunia Islam, meski faktanya Turki sendiri telah lama memiliki hubungan resmi dengan Israel.

AKP partainya Erdogan memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin (IM) berpusat di Mesir yang juga menentang monarki Arab Saudi dan negara Teluk. Wajar saja jika Saudi melihat pengaruh Turki sebagai ancaman geopolitik.

Di masa Obama, Arab Saudi dan negara Teluk berjalan di tempat karena Obama berusaha meningkatkan hubungan dengan Iran dan bersikap dingin terhadap Israel. Sampai akhirnya Saudi punya opsi untuk berlabuh ke Rusia.

Tetapi dengan naiknya Trump menjadi orang nomor satu di AS, hubungan negara-negara Teluk dengan AS-Israel sekarang berada di kubu yang sama untuk menahan pengaruh Iran-Turki di kawasan.

Baca Juga: Hamas Kecam Penyerbuan Ben-Gvir ke Masjid Ibrahimi

Hanya saja Arab Saudi masih menjaga kehormatan sebagai penjaga dua kota suci (Khadimul haramain syarifain). Sampai saat ini belum membuka hubungan terbuka dengan Israel seperti halnya UEA dan Bahrain. Hal itu dikuatkan karena bagaimanapun Arab Saudi adalah Kakak terbesar yang dituakan di negara-negara Teluk dan Saudi adalah Prakarsa OKI. Apabila Saudi membuka hubungan dengan Israel maka pengaruh Turki dan Iran akan semakin kuat di Timur Tengah.

Bukan semata-mata menyalahkan negara Teluk tetapi perlu sedikit relize bahwa para pemimpin faksi-faksi Palestina harus bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat Palestina.

Hamas dan Jihad Islam tidak mendukung Perjanjian Oslo karena mereka menafikan keberadaan Israel. Bagi keduanya Israel perlu dihapuskan dari seluruh wilayah Palestina.

Di pihak Israel, kelompok Zionis ekstrimis sayap kanan menolak Perjanjian Oslo karena mereka mengira itu mencakup pengambilan seluruh wilayah Palestina yang mereka klaim adalah tanah mereka, Perdana Menteri Israel Rabin dibunuh pada tahun 1995. Partai Likud dipimpin Netanyahu yang menolak Oslo memenangkan Pemilu tahun 1996 dan membentuk pemerintahan.Ia menjadi Perdana Menteri.

Baca Juga: Hezbollah dan Houthi Kompak Serang Wilayah Pendudukan Israel

Di bawah tekanan AS, Netanyahu masih harus bernegosiasi dengan Palestina. Pernah suatu saat Netanyahu digantikan Ehud Barak karena tidak adanya progress dengan Palestina.

Barak melanjutkan negosiasi. Konferensi Camp David digelar tahun 2000 namun gagal mencapai hasil apapun, padahal perundingan ini diadakan, sudah tujuh tahun melebihi batas waktu lima tahun yang ditetapkan dalam Perjanjian Oslo.

Arafat geram dan mengajak Hamas untuk melancarkan gerakan Intifadhah Kedua pada September tahun 2000 yang bertujuan  menaikan daya tawar dengan Israel.

Israel sangat kepayahan menghadapi Intifada Kedua. Akibatnya Partai Likud terpecah menjadi dua haluan yakni haluan Ariel Sharon dan Ehud Olmert meminta supaya permukiman Yahudi di Jalur Gaza dikosongkan sehingga negosiasi dengan Palestina dapat berlanjut. Haluan Netanyahu menolak dan protes. akhirnya Sharon dan Olmert keluar dari Partai Likud dan mendirikan Partai Baru bernama Kadima.

Baca Juga: Banyak Tentara Israel Kena Mental Akibat Agresi Berkepanjangan di Gaza

Yasir Arafat dan Sheikh Ahmad Yassin meninggal pada tahun 2004. Tanpa dua tokoh karismatik ini, faksi Fatah-Hamas mulai retak dan makin terpecah setelah kemenangan Hamas atas pemilu langsung Palestina pada Januari 2006. Wahasil, Fatah memegang Tepi Barat dan Hamas menguasai Gaza.

Kembalinya Partai Likud di bawah Netanyahu ke pemerintahan Israel sampai saat ini membuat proses perdamaian Israel-Palestina makin gelap, ditambah diplomasi Mahmud Abbas tidak selihai Arafat.  Beberapa kali Abbas bahkan sering harus menelan ludah karena ulah Netanyahu.

Israel makin kuat dan semena-mena, Perjanjian Oslo yang mengharamkan pencaplokan Area C di Tepi Barat tak ia hiraukan dan dibuang jauh ke belakang, Proyek Aneksasi tepi Barat yang menghebohkan dunia adalah bukti Israel makin berani mencaplok wilayah Palestina.

Barulah karena sudah heboh dengan tertatih-tatih akhirnya Fatah dan Hamas mau bersatu untuk mengehentikan proyek aneksasi tersebut.

Baca Juga: Dipimpin Ekstremis Ben-Gvir, Ribuan Pemukim Yahudi Serbu Masjid Ibrahimi

Setelah panjang lebar tulisan ini, jadi apa kesimpulannya ?

Gambaran sejarah Palestina yang begitu rumit memberikan isyarat bahwa penyelesaian konflik ini membutuhkan waktu lebih banyak, karena aktor-aktor yang berperan di dalamnya membawa kepentingannya masing-masing. faktor eksternal berupa keseimbangan, kekuatan dan pengaruh yang saling diperebutkan menandakan tidak ada pahlawan dan musuh sejati yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Makin banyak negara Arab mengadakan normalisasi hubungan dengan Israel tapi perjuangan Palestina akan berjalan terus. Salah satu perkembangan significan terakhir adalah dapat terlaksananya konperensi para sekretaris jendral dari faksi-faksi perjuangan Palestina. Salah satu keputusan penting adalah seluruh faksi sepakat untuk bersatu dalam berjuang. Terpecah-belah adalah salah satu masalah utama yang dihadapi dalam perjuangan Palestina selama ini.

(A/RA-1/P1)

Baca Juga: Puluhan Ekstremis Yahudi Serang Komandan IDF di Tepi Barat

Miraj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Kolom
Timur Tengah
Kolom