Kesaksian Wartawan Bangladesh Pertama yang Masuk Desa Rohingya

Wartawan Bangladesh pertama yang masuk ke desa Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. (Foto: Amanur Rahman Roney/Bangla Tribune)

 

Tambru, sebuah daerah di Negara Bagian Rakhine, di barat Myanmar, yang berbatasan dengan Bangladesh, yang pernah ramai dengan kehidupan, tapi kini sepi terbengkalai menjadi daerah mati. Orang Rohingya diusir dari daerahnya sendiri  oleh tentara Myanmar dan umat Buddha Rakhine.

Lebih 400.000 pengungsi Rohingya mendirikan kamp darurat di negeri orang lain, Bangladesh negara tetangga, di sisi lain dari Sungai Naf.

Wartawan Bangla Tribune Amanur Rahman Roney mengunjungi Tambru pada Kamis, 21 September 2017, untuk melihat langsung kehancuran yang dibuat oleh tentara, polisi dan warga ekstremis Buddha di desa-desa Rohingya yang menurut para pengungsi telah dibumihanguskan.

Ia berkisah:

Anggota Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB) meminta saya untuk tidak melangkah lebih jauh. Kami tiba-tiba terganggu oleh hujan sekitar pukul 14.30. Orang-orang BGB pergi mencari tempat berlindung dari hujan.

Saya mengambil keuntungan dari situasi ini dan mendekati hutan bambu bersama teman saya, Biplob, seorang jurnalis foto yang mengerti bahasa Rohingya. Di sana, kami memberi isyarat pada seorang gadis kecil Rohingya di seberang sungai (10 tahun) untuk mendapatkan payung bagi kami. Gadis itu, yang mengatakan namanya Rebeca, berenang melintasi sungai dangkal untuk sampai kepada kami.

Hujan turun sekitar setengah jam lamanya. Saya khawatir apakah pasukan BGB mengawasi kami, tapi untungnya tidak. Kami beralih kepada warga Rohingya di seberang sungai dan bertanya tentang bagian dangkal sungai, menggunakan bahasa isyarat.

Seorang pria Rohingya mengirim anak laki-lakinya yang berumur delapan tahun untuk menjemput kami. Kami cepat mengikutinya ke kamp Rohingya. Di sana, kami berbicara dengan para lelaki. Beberapa orang tua melarang kami menjelajah ke Myanmar. Namun, beberapa anak laki-laki mengatakan bahwa mereka bisa membawa kami ke dalam Rakhine, tapi menasehati kami untuk benar-benar menghindari permukiman Mogh (Buddha lokal).

Beberapa pemuda maju untuk membantu kami. Saya mengirim dua dari mereka – Hamjal dan Khalek – untuk pergi ke depan dan melihat apakah aman untuk pergi ke sana sekarang. Mereka mendekati permukiman Mogh sekitar satu kilometer di dalam perbatasan dan mengatakan bahwa tidak masalah.

Saya bingung pada saat itu, apa yang harus saya lakukan. Saya bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika kami bertemu dengan tentara Myanmar atau Mogh. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk pergi, melihat langsung sebab mengapa ratusan ribu Rohingya yang tidak berdosa melarikan diri ke Bangladesh meninggalkan tanah air mereka dan segalanya.

Desa Rohingya di Tambru, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang dibakar pada 21 September 2017. (Foto: Bangla Tribune)

Di perbatasan, kawat berduri menjadi tantangan pertama. Tidak mungkin bisa menyeberang dengan cepat. Orang Rohingya yang melarikan diri memotong kawat berduri di dua titik di perbatasan Tambru pada 26 Agustus, tapi itu pun masih berbahaya. Hamjal dan Khalek memanggil kami, ingin menunjukkan bagaimana rumah mereka hancur.

Kami membawa dua orang Rohingya lainnya – Nurul Amin (48) dan Nur Alam (35) – bersama kami. Amin, yang lebih berani dari keduanya, meyakinkan kami bahwa di situ aman. Akhirnya, kami berada di tanah Myanmar.

Di dekat jalan yang digunakan patroli perbatasan Myanmar, Amin menunjukkan tempat tentara telah menanam empat ranjau darat. Dari sana, kami berjalan sekitar 20 menit dan melintasi dua bukit. Kami menatap tanah yang dibudidayakan di bawah. Teman saya Biplob sibuk berfoto.

Setelah beberapa saat, akhirnya kami sampai di sebuah pemukiman Rohingya kecil yang ditinggalkan. Ada sekitar 50 rumah kecil yang telah dibakar oleh tentara Myanmar dan gerombolan lokal.

Saya meminta teman Rohingya saya untuk menunggu di luar dan saya memasuki salah satu rumah lumpur. Atapnya telah hancur oleh api. Pakaian anak-anak, peralatan dan keranjang nasi tersebar di seluruh penjuru. Rumah-rumah kecil itu saling berdekatan satu sama lain di puncak bukit. Semuanya hancur.

Kami sudah berada dua kilometer di dalam wilayah Myanmar. Kami berbisik, takut Mogh menemukan kita. Perhentian kami berikutnya berada di dekat desa Mogh. Kami melihat Mogh bekerja di ladang dan anak-anak bermain di dekat sekolah beratap seng. Di sebelah tempat itu ada desa Rohingya yang terbakar habis.

Sahabat Rohingya saya, Amin dan Khalek, menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh militer dan Mogh. Mereka menyuruh saya untuk tidak melangkah lebih jauh atau Mogh akan mengetahui kami. Jadi, kami berjalan menuju utara tempat kami melihat rumah Rohingya yang kosong karena telah dijarah oleh Mogh.

Khalek memanggil kami dari belakang dan mengatakan tempat itu tidak aman, sepertinya daerah patroli Mogh. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin membahayakan hidup kami. Sekitar pukul 16.30, kami bertemu dengan dua orang Rohingya di desa tersebut. Mereka diam-diam mengunjungi rumah mereka yang juga terpaksa mereka tinggalkan.

Dari puncak bukit, mereka menunjukkan kepada kami daerah Tambru yang luas, tapi jarang penduduknya. Desa-desa itu terbentang. Ada jalan di sepanjang perbatasan. Mereka bilang, mereka menggunakan jalan itu untuk berwisata ke kota Maungdaw dan Tambru.

Hossain, salah satu dari Rohingya yang kami temui di desa tersebut, tinggal di Tambru Timur. Dia menunjukkan rumahnya kepada kami.

“Mogh itu menjarah segalanya. Mereka datang bersama tentara dan melepaskan tembakan. Mogh menghancurkan rumah kami dan membuat rumah terbakar,” kata pria itu.

Dia mengatakan bahwa dia telah tinggal di tanah (alam terbuka) bersama tujuh anggota keluarganya selama 26 hari terakhir.

“Saya datang untuk melihat rumah saya. Tidak mungkin tinggal di sini karena Mogh. Jadi, saya pergi bersama keluarga saya,” tambah Hossain.

Di utara Tambru, kami bertemu dengan orang Rohingya lainnya, namanya Nur Islam. Dia juga datang untuk melihat rumahnya. Tidak ada apa-apa di sana. Semuanya hancur.

Kami pindah dengan cepat. Tentara Myanmar membakar desa lain di sebelah utara. Sekitar pukul 16.45, kami kembali ke desa Rohingya yang kosong.

Kami sering melihat ke belakang untuk melihat apakah kami diikuti. Akhirnya saya mendesah lega setelah melintasi pagar kawat berduri.

Setelah keluar melewati perbatasan, saya menuju ke utara sepanjang perbatasan. Setelah naik kendaraan roda tiga selama 20 menit, saya melihat sebuah rumah terbakar di sisi seberang pagar. Saat saya bergegas menuju perbatasan, penjaga perbatasan Myanmar menyeru saya pergi.

Saya berjalan ke semak dan berdiri di dekat pagar. Di sana saya melihat pemilik rumah Nasima Khatun meraung. Dia kaget dan pingsan dari waktu ke waktu. Saya menyuruh anak-anaknya menuangkan air ke kepalanya.

Saya merekam rumah yang terbakar di ponsel saya sebelum pulang. (A/RI-1/P1)

Sumber: Dhaka Tribune

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.