oleh: Rudi Hendrik, wartawan MINA
Suatu ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sedang bersama dengan sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dan bertanya kepada mereka, “Siapakah orang yang paling pemberani?”
Para sahabat telah mengenal sosok Khalifah Ali yang memiliki dua tangan kuat dan berotot. Maka mereka menjawab, “Engkau, wahai Amirul Mukminin.”
Kemudian Khalifah berkata, “Tidak! Orang yang paling pemberani ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Baca Juga: Abu Haji Salim Mahmudi Lamno, Ulama Aceh ahli Tasauf
Ali bin Abi Thalib kemudian bercerita, “Demi Allah, saya pernah melihat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) sedang dikeroyok oleh kaum Quraisy. Saat itu adalah awal masuknya Islam. Kaum kafir Quraisy mengelilingi Rasulullah dan Rasulullah ditarik-tarik, didorong-dorong oleh mereka. Pada saat itu, sungguh kami tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa mengintip dari jauh.”
Khalifah Ali terus bercerita:
Kemudian datanglah Abu Bakar dan menyaksikan hal itu. Menyaksikan Nabi yang sendirian dan diperlakukan seperti itu oleh kafir Quraisy, tanpa mempedulikan tubuh yang kurus dan lemahnya, Abu Bakar menerjang masuk, menerobos orang orang kafir tadi dan menghalangi mereka menjamah Nabi.
“Apakah kalian hendak membunuh orang yang mengatakan Rabb-ku adalah Allah?!” teriak Abu Bakar kepada para kafir Quraisy.
Baca Juga: Abu Tumin, Ulama Kharismatik Aceh
Mendengar hal itu, kaum Quraisy kemudian melepaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun, justru mereka mendatangi Abu Bakar.
Mereka membopong Abu Bakar kemudian membantingnya dengan keras jatuh ke tanah.
Uqbah bin Abu Mu’ith, salah seorang pengecut Quraisy, melepaskan sendalnya dan memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Wajah Abu Bakar dipukul terus-terusan hingga membengkak dan tidak diketahui lagi bentuk hidungnya.
Darah pun mengalir di wajah Abu Bakar. Mata hitam Abu Bakar mulai terlihat sayu. Kemudian ia pun jatuh pingsan.
Baca Juga: James Balfour, Arsitek Kejahatan Politik yang Membawa Sengsara Tanah Palestina
Tidak lama kemudian, datanglah serombongan kabilah Abu Bakar, yakni kabilah Bani Tamim, salah satu kabilah yang besar di kalangan kaum Quraisy.
Menyaksikan kondisi Abu Bakar, mereka sangat marah. Mereka menyangka Abu Bakar takkan tertolong lagi dan segera membawanya terlebih dahulu ke rumahnya.
Di rumah Abu Bakar, para kabilah mengatakan pada ibunya Abu Bakar, “Jika dia hidup, maka berilah dia makan dan minum.”
Rombongan kabilah tersebut kemudian pergi. Orang-orang dari Bani Tamim tadi langsung mencari dan mendatangi Uqbah si pengecut Quraisy dan memberi ancaman.
Baca Juga: Wilhelmi Massay, Relawan Tanzania, Masuk Islam Setelah Menyaksikan Genosida di Gaza
“Jika Abu Bakar sampai meninggal, kami akan menuntut balas atas kematiannya!” ancam mereka.
Di rumahnya, Abu Bakar baru saja siuman. Kalimat pertama yang terucap di mulutnya adalah, “Apa yang terjadi pada Rasulullah?”
Mendengar ucapan anaknya yang masih lemas itu, sang ibu berkata, “Apakah kamu masih mengingatnya?”
Dengan pelan Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, saya tidak akan makan atau minum apa pun hingga jiwaku tenang dengan keadaan Rasulullah.”
Baca Juga: Abu Tanjong Bungong Ulama Ahli Falak Aceh
Abu Bakar memohon pada ibunya yang saat itu belum masuk Islam agar menemui Fatimah binti Al-Khaththab untuk menanyakan kabar Rasulullah.
“Ibu, pergilah ke tempat Ummu Jamil Fatimah binti Al-Khaththab dan buatlah diriku tenang dengan menanyakan kabar Rasulullah padanya.”
Sang ibu pun memenuhi permohonan anaknya. Ia pergi ke tempat Fatimah binti Al-Khaththab.
Waktu itu, Fatimah binti Al-Khaththab masih menyembunyikan keislamannya dan ia berkata pada ibu Abu Bakar.
Baca Juga: Sejarah Kelam David Ben-Gurion: Zionisme, Penjajahan, dan Penderitaan Palestina
“Demi Allah, saya tidak tahu tentang putramu dan Muhammad. Akan tetapi, apabila engkau menginginkan anakmu tenang, maka saya akan datang bersamamu,” kata Fatimah.
Maka mereka berdua pun kembali mendatangi Abu Bakar yang masih terbaring.
“Apa yang terjadi dengan Rasulullah?” tanya Abu Bakar dengan lemah kepada Fatimah.
Dengan ragu Fatimah menjawab, “Saya tidak mengetahui keadaan Rasulullah.”
Baca Juga: Mengenang 29 Tahun Kesyahidan Yahya Ayyash, Insinyur Pejuang Pemberani
Abu Bakar lalu menambahkan, “Jangan khawatir, ia adalah Ibuku.”
Fatimah kemudian menjawab dengan jujur, “Dia baik-baik saja.”
Namun, ternyata Abu Bakar belum merasa tenang dengan jawaban Fatimah.
“Demi Allah, saya tidak akan makan dan minum hingga saya melihat Rasulullah sendiri,” ucapnya sambil mencoba berdiri.
Baca Juga: Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Kunci Sanad Ulama Nusantara
“Tunggulah sebentar,” kata Fatimah berusaha mencegah.
Namun, Abu Bakar berusaha melangkah, tetapi ia terlalu lemah sehingga tak bisa berjalan.
Karena kemauannya yang keras, akhirnya Abu Bakar dipapah oleh ibunya dan Fatimah hingga sampai di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam
Abu Bakar sendiri yang mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, terlihatlah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang ia sangat khawatirkan.
Baca Juga: Teungku Chik di Awe Geutah, Jejak Sumur Penawar dan Zamzam dari Tanah Arab
Melihat kondisi sahabat terdekatnya itu, Nabi merasa iba. Kemudian Rasulullah menuntunnya dan memeluknya.
Melihat Rasulullah yang khawatir dan kasihan padanya, Abu Bakar berkata lirih, “Demi Allah, wahai Rasulullah, saya ini tidaklah apa-apa, hanya wajahku saja yang terluka.”
Rasulullah melihat luka di wajah Abu Bakar. Nabi kemudian berdoa untuknya.
Abu Bakar kemudian berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada ibuku.”
Baca Juga: Sri Aminah, Ikan Asin, dan Kisah ‘Kebersamaan yang Meredup’
Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Bakar.”
Melihat kejadian itu, ibu Abu Bakar kemudian berdiri dan berucap, “Asyhadu an la Ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.” (A/RI-1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)