Kisah Penjual Buku yang Ingin Selamatkan Identitas Palestina

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Di jalan Salah Eddin yang sibuk. Kafe, toko, pusat pertukaran uang dan toko-toko perhiasan berkembang biak dengan pesat. Di jalan nomor 22 terpampang papan plakat yang mengumumkan dirinya sebagai Educational Bookshop.

Di seberang jalan, ada pula lain dan kafe, juga berjudul “Educational Bookshop”. Kedua toko buku itu milik keluarga Muna di (). Toko pertama yang menjual buku bahasa Arab dan alat tulis, sedangkan yang kedua menjual buku bahasa Inggris.

“Toko buku dimulai dengan satu penjual buku, yaitu ayahku. Sekarang kami enam bersaudara yang membaca, merekomendasikan dan menjual buku,” kata Mahmoud Muna, manajer toko buku bahasa Inggris.

Sementara itu, keluarga Edward Said -seorang akademisi- adalah keluarga pemilik toko buku di Yerusalem Timur dan Barat. Mereka bergerak di bidang toko buku pendidikan serta menjual buku alat tulis.

Toko itu telah berpindah tangan beberapa kali. Ketika ayah Muna, Ahmed, membeli dan mendirikan di tahun 1984, ia menghapus kata “Palestina” dari nama tokonya, karena itu ilegal. Oleh karena itu, nama toko ini diubah dengan nama “Educational Bookshop”.

Sejarah dari kedua toko-toko buku itu adalah refleksi dari preferensi pembacaan penduduk Al-Quds, penduduk setempat dan wisatawan, selama bertahun-tahun. Selama tahun 1980 dan awal 1990-an, toko buku Arab diisi sebagian besar buku dalam bahasa Arab tentang politik, sejarah, puisi, sastra dan fiksi, dan beberapa buku bahasa Inggris untuk pariwisata.

Menurut Muna, titik balik terjadi pada 1994-1995, ketika banyak orang Palestina berhenti membaca. Penulis nasionalis Palestina memberi semangat warga Palestina untuk membaca buku di ujung terowongan. Para penulis menulis tentang proses perdamaian yang “katanya” akan membawa kebebasan.

Tapi setelah Perjanjian Oslo 1993, hal-hal itu berubah.

“Ternyata menjadi kebohongan, dan orang-orang berhenti mempercayai buku. Akibatnya, toko buku juga menderita,” kata Muna.

Muna menggambarkan pasca Perjanjian Oslo sebagai masa ketika Al-Quds menerima masuknya wartawan, diplomat dan pekerja LSM internasional.

“Pendatang baru di Yerusalem berusaha untuk memahami Palestina dan Timur Tengah dengan lebih baik dan ingin buku bahasa Inggris. Kami membuat keputusan secara sadar untuk meningkatkan pilihan buku bahasa Inggris kami,” ujarnya.

Oleh karena itu, Imad Muna, anak tertua dari Muna bersaudara yang bertanggung jawab untuk memutuskan meningkatkan koleksi buku pilihan berbahasa Inggris di toko.

Muna masih ingat riak yang diciptakan Said ketika mempublikasikan buku Peace and its Discontent yang diterbitkan pada tahun 1996.

“Ini adalah buku pertama yang mengkritik Otoritas Palestina (PA), memperlihatkan proses perdamaian dan Oslo. Kami menjual ratusan eksemplar dalam bahasa Inggris dan Arab kepada warga Palestina dan asing. PA melarang, tapi kami bisa menjualnya sejak berada di Yerusalem, karena kami tidak berada di bawah PA.”

Said memperluas koleksi toko bukunya dengan menampung buku karya sejarawan Israel seperti Ilan Pappe dan Avi Shlaim.

Toko buku Educational Bookshop di Al-Quds (Yerusalem) dipadati pengungjung. (Foto: Educational Bookshop/Al Jazeera)
Toko buku Educational Bookshop di Al-Quds (Yerusalem) dipadati pengungjung. (Foto: Educational Bookshop/Al Jazeera)

Menyadari bahwa ada pasar yang besar untuk buku-buku berbahasa Inggris, pada 2007-08, toko buku baru didirikan khusus menjual buku-buku bahasa Inggris, bersama dengan sebuah kafe dan ruang sastra budaya yang disebut Jerusalem Literary Salon.

“Kami juga menyaksikan kebangkitan pembaca Arab selama periode ini, dimana toko buku Arab dipenuhi,” kata Muna.

Muna tergerak untuk menyajikan cerita Palestina dalam buku bahasa Inggris.

“Tidak ada toko buku bahasa Inggris yang tepat di Yerusalem, dan satu-satunya buku bahasa Inggris berada di toko-toko buku Israel yang menggambarkan sudut pandang Israel. Penulis Inggris dan Amerika dengan perspektif orientalis menulis tentang Israel dan sangat sedikit pada sudut pandang Palestina. Namun ini, berubah di tahun 90-an,” ujar Muna.

Educational Bookshop adalah yang pertama dari jenisnya di Palestina. “Ini adalah toko buku pertama yang menjual buku-buku dalam bahasa Inggris oleh orang Palestina dan dari sudut pandang Palestina,” katanya.

Muna mengungkapkan, lokasi mereka di Al-Quds (Yerusalem) membuat mereka ingin memperkuat gagasan Yerusalem sebagai ibukota Palestina. Muna mengakui bahwa lokasi di Yerusalem menjadikan buku itu sulit didapat oleh banyak orang Palestina yang menghadapi pembatasan memasuki Al-Quds (Yerusalem).

Educational Bookshop juga menjadi tuan rumah acara budaya dan sastra, seperti pembacaan, pemutaran, pameran dan pembicaraan.

Peran Toko Buku

Menurut Muna, toko buku memainkan peran dalam spektrum yang lebih besar dari resistensi budaya dan sedang dilihat sebagai unsur yang memperkuat budaya dan identitas Palestina.

“Orang-orang Palestina telah dilucuti hak-hak, representasi politik dan kebebasan mereka. Hal terakhir yang kita miliki adalah budaya kita. Dinding terakhir perlawanan, yang Israel akan sangat sulit untuk memecahkannya. Misi toko buku ini adalah untuk memperkuat budaya dan identitas Palestina,” kata Muna.

Educational Bookshop memiliki sekitar 1.500 judul buku yang meliputi buku sejarah, fiksi, politik, puisi dan bahkan memasak.

“Ini buku serius, tidak propaganda. Kami menjual buku-buku tentang Palestina yang ditulis di berbagai belahan dunia,” katanya.

Educational Bookshop memiliki buku dari seluruh Timur Tengah.

“Ini bukan konflik Palestina-Israel, ini konflik Arab-Israel,” tandasnya.

Operasi toko buku ini bukannya tanpa rintangan. Pengiriman dan izin buku sering tertunda.

“Buku-buku kami yang datang dari Amerika Serikat, Inggris, India, Perancis, Jerman, Yordania, Mesir dan Spanyol melewati keamanan Israel,” katanya.

Otoritas Israel memilih-milih judul buku yang boleh masuk. Mereka tidak suka buku seperti Ethnic Cleansing of Palestine (Pembersihan Etnis Palestina) oleh Ilan Pappe atau buku Jeff Halper tentang pembuatan dan penjualan Israel. Mereka juga tidak suka buku-buku tentang Hamas, atau buku yang berjudul provokatif. Pengiriman buku akan tertunda dua atau tiga minggu.

“Tapi karena tidak ada hukum sensor terhadap buku bahasa Inggris, tidak ada buku yang disita. ”

Buku dari Suriah, Lebanon dan Iran tidak bisa datang langsung. Buku-buku itu dialihkan melalui Yordania.

Muna ingat, ketika Mordechai Vanunu, orang yang mengungkapkan rahasia nuklir Israel, diculik dua kali dari toko.

“Ketika tentara Israel datang, mereka menciptakan sebuah adegan. Setelah seorang pria ditembak di luar, dan kamera CCTV kami merekamnya,” kata Muna.

Menurut Muna, pasukan Israel menutup tokonya selama berjam-jam dan ingin mengambil kamera. Namun pengacara berusaha meyakinkan tentara agar hanya mengambil rekaman. Tentara mengambil ponsel para pelanggan dan menghapus gambar.

“Kadang-kadang, mereka menyemprot gas skunk kimia di lingkungan kami, dan bau busuk memasuki toko kami, juga. Kami tidak tahu apakah kami sedang ditargetkan,” kenangnya.

Namun, di sisi positifnya, Muna menunjukkan bahwa telah terjadi pembaruan pembaca Arab Palestina. Dia menjelaskan, pembaca saat ini lebih memilih buku fiksi, terutama perempuan, dan di rata-rata usianya dikisaran 17-22 tahun.

“Generasi tua sebagian besar mengkonsumsi buku sejarah dan politik. Pembaca baru lebih cenderung kepada buku-buku tentang cinta dan seksualitas. Saya ingin mereka bisa membaca lebih serius tentang tema klasik. Buku-buku tentang sejarah Palestina, nasionalisme Arab, komunisme Arab, dan sastra besar dari dunia Arab,” ujarnya.

Terkadang pembaca muda menggunakan media sosial untuk bertanya kepada Educational Bookshop tentang buku yang tidak ada.

“Sebagai penjual buku, ini menjadi membingungkan, tapi itu membuat saya bahagia,” tambah Muna. (P001/P4)

Sumber: tulisan Urvashi Sarkar di Al Jazeera.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.