Jakarta, MINA – Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau menanggapi Peraturan Presiden yang dikeluarkan pada Senin (17/9) lalu yaitu No. 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Widyastuti Soerojo, Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau mengatakan, salah satu yang menjadi pusat perhatian masyarakat adalah digunakannya dana pajak rokok daerah untuk menambah dana JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
“Keputusan untuk menutup defisit Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah yang tidak bisa dihindari karena bagaimanapun, masyarakat harus mendapat pelayanan kesehatan,” katanya dalam keterangan tertulis pada Senin (24/9).
Ia menjelaskan, defisitnya BPJS Kesehatan adalah hal yang sudah diprediksi sejak awal. Beban pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meningkat setiap tahun, sementara pemasukan dari iuran publik yang dikelola BPJS lebih rendah dari nilai klaim pasian JKN setiap tahunnya.
Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio
Namun, Komnas Pengendalian Tembakau menganggap bahwa menutup defisit BPJS Kesehatan dengan menggunakan dana pajak rokok daerah adalah hal yang tidak bijaksana.
Pertama, pajak rokok daerah adalah hak daerah sesuai mandat UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga Perpres 82/2018 ini telah melangkahi undang-undang yang ada.
Kedua, menutup defisit BPJS Kesehatan dengan dana pajak rokok daerah seharusnya bersifat sementara/temporer karena seharusnya pajak rokok daerah sebesar 75 persen dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan sebagai dana promotif-preventif (pencegahan) dan bukan untuk penyelesaian masalah kesehatan yang bersifat kuratif (pengobatan).
“Bila penutupan defisit dengan dana pajak rokok ini tidak bersifat temporer maka Indonesia harus siap dengan konsekuensi yang dihadapi dalam jangka panjang. Mengingat tingginya penyakit terdampak rokok berkontribusi pada besarnya nilai klaim pasien JKN, di antaranya yang menyerap klaim kesehatan tertinggi adalah penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal, pemerintah seharusnya membuat keputusan berani untuk memotong masalah sejak dari hulu,” ujarnya.
Namun, apa yang tertulis di dalam Perpres 82/2018 menunjukkan bahwa pemerintah membuat keputusan yang akan membuat Indonesia terus menerus dibebani pembiayaan untuk penyelesaian masalah kesehatan di hilir dengan memerintahkan semua daerah menyerahkan dana promotif-preventifnya tanpa batasan waktu sementara.
“Terus terang saya gagal paham. Pemerintah memutuskan mengambil dana pencegahan penyakit katastropik yang bersumber dari pajak rokok daerah untuk menambal defisit pengobatan penyakit katastropik. Dan ini dikukuhkan dengan Perpres, bukan sebagai upaya emergency mengatasi krisis. Akibatnya bisa fatal kalau pajak rokok diharapkan mengikuti kebutuhan untuk menambal defisit. Tanpa keinginan menaikkan harga rokok, ini akan memaksa produsen menaikkan produksi dan masyarakat meningkatkan konsumsi. Di dalam Perpres ini, tidak jelas indikasi meningkatkan premi untuk mengatasi masalah sistemik,” paparnya.
Terkait ini, Komnas Pengendalian Tembakau merekomendasikan agar pemerintah, agar Kementerian Keuangan RI untuk mengeluarkan Putusan Menteri Keuangan (PMK) sebagai aturan pelaksanaan dengan menyebutkan batasan waktu yaitu sampai masalah defisit BPJS Kesehatan terselesaikan.
“Untuk menjamin keberlangsungan JKN, pemerintah harus berani mengambil keputusan logis meskipun tidak populer secara politis untuk menaikkan premi asuransi dari peserta BPJS Kesehatan yang mampu bayar. Hal ini harus dilakukan mengingat rendahnya premi adalah masalah awal defisitnya BPJS Kesehatan,” jelasnya. (R/R10/P2)
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah