Oleh : Angga Mustofa, Divisi Media Komunikasi & Informasi Pesantren Shuffah Al-Jamaah Tasikmalaya, Koresponden MINA Tasikmalaya
Manusia pada dasarnya merasakan kesenangan tersendiri dalam tantangan dan persaingan. Karena hidup sebuah kompetisi yang senantiasa berjalan di antara kehidupan dan kematian. Di antara dua itu, maka berlaku sebuah fungsi waktu, untuk menguji optimalisasi potensi, siapa yang terbaik dalam hasil akhir.
Allah menyebutkan di dalam ayat :
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Artinya : “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al Mulk : 2).
Hidup ini memang tentang kompetisi, senantiasa berjalan di penjuru bumi yang pada akhirnya lagi-lagi siapa di antara kita akan terbaik pada hasil akhir.
Kita bisa melihat bagaimana Umar bin Khattab, merupakan orang yang sangat ambisi untuk mengungguli Abu Bakar dalam amalan dan pengorbanan. Seorang wanita tua pernah menolak jaminan kebutuhan darinya dengan mengatakan “Sudah ada yang menjamin kebutuhanku…” Dalam pantauan Umar esok harinya, ia melihat sosok Abu Bakar memikul karung berisi hajat hidup si nenek.
Dalam Perang Tabuk, Umar dengan segera menyambut seruan jihad harta. Namun ketika Rasulullah bertanya berapa yang ia tinggalkan untuk keluarga, Umar mengatakan dengan bangga, “Sebanyak yang aku serahkan pada Allah dan RasulNya”.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Tapi betapa ia tercenung saat pertanyaan yang sama ditujukan kepada Abu Bakar. Dengan senangnya ia menjawab “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya yang aku tinggalkan untuk keluargaku!”.
Menjadikan Abu Bakar sebagai kompetitor Amal memang harus membuat Umat bergumam, “Mulai hari ini aku sadar, tampaknya aku tak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar!”. Dan kita harus tersenyum, karena mereka telah menjadi contoh urgensi sebuah kompetisi dalam kebaikan dan pengorbanan, bahkan tentang perlunya sebuah iri hati.
Di dalam hadits disebutkan, yang artinya : “Tidak ada iri hati kecuali dalam dua perkara. (Yaitu) orang yang diberi harta oleh Allah lalu dia belanjaka pada sasaran benar. Dan orang yang dikaruniai ilmu dan kebijaksanaan lalu dia mengamalkan dan mengajarkan”. (HR Al Bukhari).
Saat ini kita hidup, tak hanya akan menjalin kompetisi dantara kita sendiri. Kita punya banyak kompetitor yang telah mendahului. Hikmah dan teladan dari kisah pengorbanan pendahulu ini menjadi tantangan dan penyemangat bagi seorang mukmin saat ini yang tengah bekompetisi dalam kebaikan dan pentingnya pengorbanan.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Adakalanya generasi pendahulu bisa memenangkan kompetisi dalam hal kebaikan yang mereka peroleh. Dan generasi awal menjadi penabung pahala yang tiada henti karena keteladanan yang telah mereka bingkai. Keteladanan itu menjadi berharga dan perlu dicontoh bagi penerusnya di perkembangan zaman hingga saat ini
Sehebat-hebatnya kompetisi yang pernah ada di bumi tak akan pernah menyaingi kompetisi dalam amal kebaikan dan pengorbanan. Sebab ganjaran yang diberikan tak sebanding dengan nilai yang ada dimuka bumi.
Kompetisi itu hal yang begitu menarik. Tapi mengapa masih ada saja yang belum mendaftar ? Bayangkanlah suatu ketika kita menjadi panitia suatu lomba lari. Peserta telah terdaftar dan masing-masing telah bernomor punggung dan bertanda dada. Start! Dan semua berlari. Lalu disana ada seorang berpakaian rapi. Ia ikut berlari dari start hingga finish. Namun tanpa mengikuti proses pendaftaran dan tanpa nomor punggung. Tak ada tanda peserta. Dan dia menang. Lalu meminta hadiah. Bisakah kita memberi hadiah ?
Ya, terserah panitia. Tetapi mereka yang mengikuti proses sejak awal menjadi sulit menerima keputusan. Dan tetapi itu kembali terserah panitia. Namun apa yang akan kau dapatkan setidaknya sesuai dengan apa yang Allah firmankan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَٰلُهُمْ كَسَرَابٍۭ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥ ۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Artinya: “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Q.S. An-Nuur : 39).
Hidup memanglah sebuah kompetisi. Dan syahadatlah yang telah menegaskan karunia hidayah bagi manusia, yang menjadi tanda keikutsertaan yang diberikan Sang Pencipta.
Ada manusia yang tidak tahu arah yang harus kita tunjukkan jalan. Karena mereka semangat berlomba tanpa mendaftar, tanpa tanda syahadat di dadanya. Dan kitapun kadang menjadi manusia bodoh yang harus ditegur, karena meski sudah mendaftar, kadang kala lebih suka duduk-duduk di garis start. Merasa cukup dengan status keislaman kita. Islam, adalah iman dan amal shalih. Islam adalah mendaftar dan berlari dengan penuh kekuatan.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Jika kita telah telah mendaftar dengan ikrar syahadat kita, marilah berlari menuju Allah, Saudaraku. Hingga seperti Musa dalam larinya, kita akan terengah-engah.
Allah mengingatkan di dalam ayat-Nya :
قَالَ هُمْ أُو۟لَآءِ عَلَىٰٓ أَثَرِى وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَىٰ
Artinya: Berkata, Musa: “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)”.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Semoga kompetisi yang sedang kita lakukan bukan sekedar gengsi, tetapi upaya meningkatkan ketakwaan diri. Aamiin. (A/ang/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Malu Kepada Allah