Konflik Iran- Saudi, Gagalkan Warga Iran Berhaji Tahun Ini

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ketika jutaan calon jemaah haji dari seluruh penjuru dunia melakukan wukuf di Arafah – puncak ibadah haji – pada 9 Dzulhijah 1437 H, puluhan ribu hanya bisa merasakan kekecewaan, karena tahun ini mereka menunaikan rukun Islam yang kelima itu.

Perseteruan politik dan militer antara Iran dan Arab Saudi yang berkepanjangan, ditambah dengan musibah yang menimpa para calon jemaah haji tahun 2015 di Mina, membuat puluhan ribu warga Iran tidak bisa tahun ini.

Hubungan kedua negara kian memanas setelah ratusan warga Iran meninggal dunia dalam kecelakaan haji tahun 2015 itu dan paska Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran menyusul eksekusi ulama Syiah Saudi oleh Riyadh pada Januari silam.

Perselisihan ini menjadi persaingan antara kerajaan Saudi yang berorientasi Sunni dengan Iran yang berorientasi Syiah yang keduanya membela pihak berbeda dalam konflik di Suriah dan wilayah lain di Timur Tengah.

Organisasi Haji dan Umroh Haji Iran memang sebelumnya menyatakan, jemaah haji negeri itu tidak akan mengikuti ibadah haji tahun ini seraya menuding Arab Saudi melakukan sabotase dan gagal menjamin keselamatan jemaah.

“Masalah penjaminan keselamatan jemaah adalah sangat penting bagi kami, mengingat tindakan-tindakan pemerintah Arab Saudi di masa lalu dan bagi para syuhada dari Iran serta berbagai negara lainnya,” kata Menteri Kebudayaan Iran Ali Jannati.

Pada musim haji tahun 2015 sedikitnya 310 jemaah haji tewas dan 450 orang luka-luka karena desak-desakan kerumunan manusia di Mina, tempat di mana jemaah harus tinggal berlindung memakai tenda selama beberapa hari pada momen puncak haji. Lokasi kecelakaan ini tepatnya terjadi di Jalan 204 (Street 204), yang bersimpangan dengan Jalan 223 (Street 223).

Akibat insiden itu, Saudi dan Iran saling tuduh. Saudi menilai insiden itu terjadi lantaran adanya warga Iran yang mengganggu arus jalan jamaah haji hingga berdesak-desakan. Sedangkan Iran menilai insiden itu terjadi akibat adanya rombongan keluarga kerajaan Saudi yang memaksa lewat.

Terkait dengan musim haji 2016, Ali Jannati seperti dilansir BBC juga menyayangkan sikap Arab Saudi yang dinilainya mempersulit izin bagi jatah kuota haji warga Iran. “Setelah dua kali negosiasi tanpa hasil karena kesulitan yang dibuat-buat oleh Saudi, maka jamaah haji Iran tak  bisa berangkat ke Tanah Suci tahun ini.”

“Pejabat-pejabat Saudi mengatakan bahwa jemaah kami harus pergi ke negara lain untuk membuat aplikasi visa mereka,” kata pejabat tinggi Iran itu.

Sementara pemerintah Iran bersikeras agar Saudi mengeluarkan visa lewat kedutaan Swiss di Teheran, Iran. Kedutaan Swiss telah menangani kepentingan Saudi sejak pemerintah Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada Januari lalu, menyusul penyerbuan para demonstran Iran ke misi-misi diplomatiknya.

Setelah pemutusan hubungan diplomatik tersebut, para pejabat Iran berkunjung ke Saudi dan melakukan negosiasi beberapa kali soal visa secara umum serta pengiriman logistik untuk ibadah haji. Kepala Organisasi Haji Iran Saeed Ohadi juga dua kali melakukan negosiasi khusus masalah haji, tapi tanpa hasil.

Organisasi haji Iran itu menilai Saudi telah membatasi hak umat Islam untuk beribadah. “Arab Saudi melawan hak mutlak warga Iran untuk berhaji dan mereka juga memblokir jalan menuju Allah.”

Sementara itu Arab Saudi mengakui tak bisa menerima kedatangan warga Iran, sehingga kedua negara itu gagal menemui titik temu dalam menyikapi kuota jamaah haji.

“Kami melihat kurangnya keseriusan di pihak Iran soal masalah tersebut. Itu adalah usaha lain yang mereka lakukan untuk memolitisasi ibadah haji,” kata Wakil Menteri Informasi Saudi Abdulmohsen Alyas sambil menambahkan, awalnya, pemerintah Saudi menginginkan visa untuk warga Iran dikeluarkan di negara ketiga yang disepakati oleh kedua negara.

Iran pernah  memboikot ibadah haji selama tiga tahun setelah 402 anggota jemaah haji yang kebanyakan orang Iran, meninggal dunia akibat bentrok dengan pasukan Saudi dalam demonstrasi anti AS dan Israel di Mekah pada 1987.

Tujuh hal dalam konflik Iran-Saudi

Menurut pengamatan ada tujuh hal yang menyebabkan Arab Saudi bermusuhan dengan Iran. Pertama, agama. Faktor ini paling signifikan di balik persaingan mereka karena masing-masing negara menganggap dirinya sebagai pemangku agama Islam dalam versi yang berbeda.

Muslim terpisah dalam dua kelompok utama, Sunni dan Syiah. Perpecahan berasal dari pertikaian yang terjadi tidak lama setelah meninggalnya Nabi Muhammad tentang siapa yang seharusnya memimpin umat Muslim.

Saudi adalah negara di mana terdapat dua tempat paling suci Islam, Mekkah dan Madinah, sehingga menyatakan diri sebagai ‘pemimpin Sunni dunia’. Sementara Iran memiliki penduduk Syiah terbesar di dunia dan sejak revolusi Iran pada tahun 1979, sehingga merasa menjadi ‘pemimpin dunia Syiah’.

Kedua, geopolitik. Kedua negara itu bersaing untuk mempengaruhi negara-negara tetangganya dan juga terdapat kecurigaan tentang pengaruh Iran terhadap kelompok minoritas Syiah di Arab Saudi, di samping masyarakat Syiah di Bahrain, Irak, Suriah dan Lebanon.

Program nuklir Iran dan kemungkinan bahwa negara itu pada suatu hari akan memiliki senjata nuklir juga membuat khawatir tetangganya, terutama Arab Saudi.

Ketiga, ideologi politik. Arab Saudi dikuasai seorang raja dan bentuk pemerintahannya adalah Islam konservatif. Iran memiliki bentuk Islam yang lebih revolusioner dan pemimpin revolusi tahun 1979 – Ayatollah Khomeini – memandang monarki tidak sesuai dengan Islam

Agenda berhaluan Islam Syiah radikal yang diluncurkan pada revolusi 1979 dipandang sebagai suatu penentangan terhadap rezim konservatif Sunni, terutama di kawasan Teluk, dan terdapat kecurigaan mendalam di dunia Arab terkait usaha Iran untuk mengekspor revolusinya ke negara-negara tetangga.

Iran sangat mendukung usaha Palestina menentang Israel dan menuduh negara-negara seperti Arab Saudi tidak memperhatikan nasib warga Palestina dan mewakili kepentingan pihak Barat.Secara historis, Arab Saudi memiliki hubungan dekat dengan Barat yang memasok miliaran dolar persenjataan.

Sejak tahun 1979, hubungan Iran dengan Barat sangat menegang dan Barat menerapkan sanksi ekonomi selama bertahun-tahun terhadap Iran terkait apa yang dipandang sebagai usaha Teheran untuk memiliki senjata nuklir.

Keempat, Suriah. Iran sama seperti Rusia adalah pendukung setia Presiden Suriah Bashar al-Assad. Dukungan militer dari negara itu dan sekutunya di Lebanon, Hisbullah, dipandang penting untuk mempertahankan kekuasaannya.

Arab Saudi adalah pendukung penting dan penyandang dana kelompok pemberontak Sunni yang menentang pemerintah. Riyadh juga menjadi tuan rumah konferensi yang bertujuan untuk menyatukan berbagai kelompok pemberontak menentang pemerintahan Presiden Assad.

Kelima, Irak. Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya mendukung Saddam Hussein saat perang Iran-Irak tahun 1980-1988 dan mengalami serangan Iran terhadap kapal-kapalnya. Hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi dibekukan selama tiga tahun setelah perang.

Sejak jatuhnya Saddam, kelompok mayoritas Syiah di Irak memimpin pemerintah dan memelihara hubungan dekat dengan Teheran. Hal ini membuat pengaruh Iran mencapai perbatasan Arab Saudi dan menciptakan persekutuan Syiah Iran, Irak, Suriah dan Lebanon. Baghdad menuduh Arab Saudi mendukung kelompok Sunni radikal dan kekerasan sektarian di Irak.

Keanam,Yaman. Arab Saudi berbagi Semenanjung Arab dengan Yaman yang memiliki kelompok minoritas Syiah signifikan, Houthi. Houthi memberontak dan mengambil alih sejumlah wilayah Yaman, termasuk ibu kota Sanaa, memaksa pemerintah yang didukung Saudi mengasingkan diri pada permulaan tahun 2015.

Negara-negara Arab di Teluk menuduh Iran mendukung Houthi secara keuangan dan militer, meskipun Iran menyangkal hal ini. Keterlibatan Iran di halaman belakang Saudi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam di Riyadh dan koalisi pimpinan Saudi terus memerangi para pemberontak.

Ketujuh, Minyak. Minyak penting bagi Iran dan Saudi – Arab adalah produsen dan eksportir terbesar dunia – dan mereka kemungkinan memiliki kepentingan yang berbeda tentang seberapa banyak minyak yang dihasilkan dan berapa harganya.

Arab Saudi relatif kaya dan memiliki penduduk yang lebih sedikit dibandingkan Iran. Negara ini diberitakan dapat mengatasi rendahnya harga minyak saat ini untuk jangka pendek. Iran lebih memerlukan pemasukan dan lebih menginginkan harga per barel yang lebih tinggi.

Setelah beberapa tahun tidak dilibatkan dalam pasar minyak dunia karena pemberlakuan sanksi, hal ini akan sangat membantu ekonomi Iran yang bermasalah. Tetapi para pengamat memperkirakan para penghasil minyak memompa 0,5 juta sampai dua juta barel minyak per hari melebihi permintaaan.

Jadi Iran memerlukan negara penghasil minyak lainnya untuk memotong produksi agar terjadi peningkatan harga. Arab Saudi tidak ingin melakukan hal ini.

Kepentingan-kepentingan dan permasalahan-permasalahan inilah yang tampaknya kemudian mengakibatkan puluhan ribu warga Iran tidak bisa berhaji tahun ini.
(R01/  P2 )

Mi’raj Islamic News Agency (MINA).