Wakil Direktur Bidang Auditing dan Sistem Jaminan Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Ir. Muti Arintawati menyatakan di tengah ramainya barang-barang impor, seiring dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, konsumen di Indonesia memang harus lebih kritis terhadap produk yang hendak mereka konsumsi.
Baru-baru ini kita menyaksikan pemandangan yang sangat memprihatinkan: seorang perempuan berkerudung sedang menyantap makanan yang bertuliskan Siomay Cu Nyuk.
Foto yang diunggah dan menyebar di media sosial itu sontak menjadi perbincangan hangat. Bukankah cu nyuk artinya daging babi?
Besar kemungkinan, si pembeli tadi teledor dan tidak menanyakan terlebih dahulu kepada penjualnya. Di sisi lain, si penjual juga tidak berlaku jujur karena tidak memberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang makanan yang mereka jajakan.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Hingga saat ini Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) belum diberlakukan, sehingga belum ada kewajiban bagi para pedagang untuk mencantumkan keterangan halal atas produk yang mereka jual.
Oleh karena itu, LPPOM MUI menghimbau konsumen Muslim lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi produk, terlebih lagi ketika konsumen Muslim tengah berada di komunitas konsumen yang mayoritas bukan beragama Islam.
Muti menjelaskan, banyak istilah yang belum dipahami konsumen, misalnya berbagai nama/sebutan tentang ‘babi’, sehingga sangat disarankan agar konsumen bertanya terlebih dahulu sebelum membeli sesuatu yang kandungan bahannya belum mereka ketahui. “Ini untuk menghindari kejadian seperti ibu-ibu yang membeli Siomay Cu Nyuk, beberapa waktu lalu,” tukasnya.
Sebagai contoh, banyak yang belum memahami bahwa label bertulis This product contain substance from porcine, artinya produk tersebut mengandung bahan dari babi. Begitu juga dengan istilah The source of gelatin capsule is porcine, yang artinya kapsul dari gelatin babi.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Alasan kenapa Allah melarang umat Islam mengkonsumsi daging babi dan atau memanfaatkan seluruh anggota tubuh babi bisa disimak pemaparan pakar produk halal, babi-kenapa-islam-mengharamkannya/" target="_blank">Nanung Danar Dono, Ph.D..
Istilah Lain Babi
Sebagaimana siaran pers LPPOM MUI yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Ahad, berikut adalah istilah yang digunakan dalam produk yang mengandung/menggunakan unsur babi, yang dirangkum LPPOM MUI dari berbagai sumber, antara lain:
PIG: Istilah umum untuk seekor babi atau sebenarnya babi muda, berat kurang dari 50 kg.
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
PORK: Istilah yang digunakan untuk daging babi di dalam masakan.
SWINE: Istilah yang digunakan untuk keseluruhan kumpulan spesies babi.
HOG: Istilah untuk babi dewasa, berat melebihi 50 kg.
BOAR: Babi liar/celeng/babi hutan.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
LARD: Lemak babi yang digunakan untuk membuat minyak masak dan sabun.
BACON: Daging hewan yang disalai, termasuk/terutama babi.
HAM: Daging pada bagian paha babi.
SOW: Istilah untuk babi betina dewasa (jarang digunakan)
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal
SOW MILK: susu babi.
PORCINE: Istilah yang digunakan untuk sesuatu yang berkaitan atau berasal dari babi. Porcine sering digunakan di dalam bidang pengobatan/medis untuk menyatakan sumber yang berasal dari babi.
Masyarakat perlu hati-hati juga dengan istilah-istilah lain yang merujuk pada babi, misalnya: cu nyuk, dalam bahasa Khek/Hakka (nama kelompok masyarakat Tioghoa), cu berarti babi dan nyuk berarti daging. Jadi jika digabung cu nyuk memiliki arti daging babi, sedangkan dalam bahasa Mandarin daging babi disebut cu rou.
Sama halnya dengan istilah ham di Eropa. Untuk masyarakat Eropa ham adalah istilah umum untuk daging babi.
Baca Juga: LPPOM Tegaskan Sertifikasi Halal Bagi Retailer
Di Jepang chāshū atau yakibuta adalah istilah makanan yang merujuk pada nama makanan olahan babi bagian perut. Chāsheeū juga memiliki istilah lain yang disebut nibuta (arti harfiah: babi masak).
Tak jauh berbeda dengan makanan Jepang, makanan Korea yang kini sedang booming di kalangan masyarakat Indonesia juga terdapat istilah-istilah makanan yang memiliki arti khusus sebagai produk makanan olahan babi seperti dwaeji-bulgogi yang berarti babi panggang bumbu, Samgyeopsal (daging perut babi yang dipanggang tanpa/dengan bumbu), dan Makchang gui (jeroan babi panggang).
Tak hanya pada makanan international, pada makanan lokal pun terdapat istilah-istilah khusus untuk pangan olahan babi. Misalnya saksang (olahan daging babi khas daerah Tapanuli), Bak kut teh (makanan Tionghoa paduan dari sayur asin dengan kaldu iga babi khas Kepulauan Riau), Tinorangsak: gulai babi khas Manado.
Jika menemukan istilah-istilah tersebut di atas, konsumen tak perlu ragu untuk meninggalkan produk tersebut dan menggantinya dengan produk sejenis yang telah bersertifikat halal.(R05/R02)
Baca Juga: IHW: Tuak, Beer, dan Wine Dapat Sertifikat Halal Wajib Diaudit Ulang
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)