Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Suap atau Risywah adalah hal yang terlarang dalam Islam. Larangan tentangnya banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Larangan dalam al-Qur’an diambil dari celaan Allâh Azza wa Jalla kepada kaum Yahudi yang biasa mengambil suap. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka (orang-orang Yahudi) itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan suht (yang haram).” [Qs. Al-Maidah/5: 42]
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan mengatakan, “Ibnu Katsir, Abu Ja’far, dan Ulama Bashrah, dan al-Kisa’i, membaca dengan suhut –dengan huruf ha’ yang didhammahkan -, Ulama lainnya membacanya dengan suhut –huruf ha’ dibaca sukun-, artinya haram. (Ayat) ini turun tentang para hakim Yahudi, Ka’b al-Asyraf dan semacamnya, mereka menerima suap dan memutuskan hukum untuk memenangkan orang yang menyuap mereka”. [Tafsir al-Baghawi, 3/58]
Allah Melaknat Pemberi Suap dan Penerimanya
Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Laknat Allah kepada pemberi suap dan penerima suap”. [HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth]
Bukan hanya Allah yang melaknat pemberi suap dan penyuap, tapi Rasulullah pun melaknat mereka pemberi dan penerima suap. Seperti disebutkan dalam sebuah hadisnya,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat pemberi suap dan penerima suap. [HR. Ahmad, no. 6532, 6778, 6830, ; Abu Dawud, no. 3582; Tirmidzi, no. 1337 ; Ibnu Hibban, no. 5077. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh Al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth].
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Dalam hadis yang lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dari Tsaubân, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya. (HR. Ahmad, no. 22452; Ibnu Abi Syaibah, no. 21965. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Shahîh lighairihi tanpa kata ‘dan perantaranya’, ini sanadnya dha’if]
Suap adalah Dosa Besar
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Setiap perkara yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya merupakan dosa. Dosa itu bertingkat-tingkat, ada dosa kecil dan ada dosa besar. Risywah (suap) termasuk satu di antara dosa besar, karena ada ancaman laknat dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Definisi dosa besar yang terbaik adalah: dosa yang ada had (hukuman tertentu dari agama) di dunia, atau ancaman di akhirat, atau peniadaan iman, atau mendapatkan laknat atau kemurkaan (Allah) padanya.” [Taisîr Karîmirrahmân, surat an-Nisa’/4:31]
Ada beberapa penjelasan ulama tentang makna risywah (suap) dengan makna yang mirip antara lain; Al-Fayyumi rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya, agar hakim itu memenangkannya, atau agar hakim itu mengarahkan hukum sesuai dengan yang diinginkan pemberi risywah”. [Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219]
Sementara itu, Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang menghubungkan kepada keperluan dengan bujukan”. [Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219]
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Itu adalah makna secara lughah (bahasa), adapun menurut istilah, makna risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan untuk membatalkan kebenaran atau untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezaliman). [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219]
Bagaimana pun, risywah (suap) tetap haram dan tidak menjadi halal hanya dengan dirubah namanya. Karena sebagian orang melakukan atau meminta risywah (suap) tapi dinamai dengan hadiah, sedekah, hibah, pasal, atau lainnya, maka itu tetap haram. Sebab istilah ini tidak merubah hakekat. Khamr tidak menjadi halal dengan dinamakan vodka misalnya. Zina tidak lantas menjadi halal hanya dengan dinamakan hiburan. Riba tidak menjadi halal dengan dinamakan bunga, dan seterusnya.
Macam-Macam Suap
Pertama, Suap di dalam hukum
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Hukum memberi suap kepada hakim adalah haram, demikian juga menerimanya, walaupun keputusannya benar, karena memutuskan hukum dengan benar itu sudah menjadi kewajiban hakim. (Lihat al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/222). Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 188]
Di dalam sebuah hadis diriwayatkan,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat pemberi suap dan penerima suap di dalam hukum. [HR. Ahmad, no. 9011, 9019; Abu Dawud, no. 3582; Ibnu Hibban, no. 5076. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh al-Albani; dan dinilai hasan oleh syaikh Syu’aib al-Arnauth].
Kedua, Suap untuk meraih jabatan atau kekuasaan
Memberi suap untuk mendapatkan jabatan hakim atau kekuasaan wilayah (kepala desa, bupati, gubernur, presiden, anggota legislatif, atau jabatan lainnya), hukumnya haram bagi pemberi dan penerimanya. [Lihat al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/222]
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Ketiga, Risywah atau pemberian untuk mendapatkan haknya atau menolak kezhaliman
Risywah secara istilah adalah nama yang disematkan pada sebuah pemberian yang bertujuan untuk membatalkan kebenaran atau untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezhaliman). Sehingga ketika seseorang memberikan sesuatu, tidak untuk membatalkan kebenaran, dan tidak untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezhaliman), tetapi untuk mendapatkan haknya, atau untuk menolak kezhaliman dan bahaya dari dirinya, keluarganya, atau hartanya, ini perbolehkan. Orang yang memberi tidak berdosa, tetapi orang yang mengambilnya berdosa, karena mengambil barang yang bukan haknya. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/222]
Macam-macam risywah (suap) banyak sekali, tidak terbatas, di atas hanyalah sekedar contoh sebagiannya saja. Banyak kalangan, bahkan banyak negara, telah mengetahui keburukan suap dan korupsi, oleh karena mereka berusaha melawan dan memeranginya.
Maka fenomena yang banyak terjadi di masyarakat tentang suap ini sangat memprihatinkan, baik berkaitan dengan memutuskan hukum atau mendapatkan jabatan, atau lainnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Selayaknya umat Islam tidak melakukannya. Bahkan seharusnya mereka mengingkarinya sesuai dengan kemampuan, baik dengan tangan/kekuasaan, lisan/perkataan, atau paling tidak dengan hati. Jangan sampai ikut arus dan larut di dalam kemaksiatan. Karena hal itu akan menyebabkan kecelakaan di dunia dan akhirat.
Maka, segeralah bertaubat bagi siapa saja yang menginginkan perjumpaan dengan Allah. Hendaklah orang yang beriman selalu ingat bahwa dunia itu fana, kematian bisa datang kapan saja, dan di akhirat akan ada perhitungan dan pembalasan terhadap perbuatan. Maka orang yang berakal seharusnya lebih mengutamakan kebaikan akhirat yang kekal daripada dunia yang sementara, wallahua’lam. (A/RS3/RS1)
Sumber: Al Kabair
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?