Jakarta, 19 Syawwal 1438/13 Juli 2017 (MINA) – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 15 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia membuat pernyataan bersama yang menolak Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dikeluarkan pemerintah belum lama ini.
Alasannya, kebebasan berorganisasi (berserikat) merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Sementara Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak sah.
Menurut pernyataan bersama, kedua lembaga berpendapat pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.
“Perppu sebagaimana dimaksud juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas,” tulis pernyataan itu.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah pengganti dari UU No 17 tahun 2013 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli lalu.
Perppu baru tersebut memberi kewenangan kepada Kemenkumham untuk mencabut izin ormas tanpa melalui proses pengadilan. Berbeda denghan UU sebelumnya yang memberi peringatan tertulis secara tiga kali, Perppu baru hanya cukup memberi peringatan satu kali dan memberi waktu dalam jangka waktu tujuh hari sejak peringatan dikeluarkan.
Pernyataan bersama juga menganggap penerbitan Perppu No 2 tahun 2017 secara prosedural tidak memenuhi tiga syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU.
“Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas” tambah pernyataan.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Pernyataan melanjutkan, Perppu Ormas menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah tersebut sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP.
“Perppu ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun” tulisnya.
Terakhir, pernyataan menyebutkan bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu.
“Kami juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain” tutup pernyatan.(T/RE1/RS2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)