Jakarta, MINA – Lembaga kemanusiaan International Networking for Humanitarian (INH) mendukung aksi bela Muslim Uighur dan Kazakhs yang akan berlangsung pada Jumat (21/12) setelah selesai shalat Jumat, di depan Keduataan Besar Republik Rakyat Cina (RRC) di Jakarta.
Penindasan yang dilakukan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur dan Kazakhs di Provinsi Xinjiang menjadi kini perhatian umat Islam seluruh dunia, termasuk di Negara Indonesia.
“Aksi ini merupakan bentuk solidaritas yang bisa dilakukan saat ini sebagai bagian dari penyampaian pesan bahwa umat Islam adalah satu dan bahwa pemerintah tidak bisa semena-mena terhadap Uighur selama umat Muslim di belahan dunia lain masih ada,” kata ketua INH, Lukmanul Hakim di Jakarta, Kamis (20/12) dalam siaran tertulis yang diterima MINA.
Penindasan terhadap kedua komunitas itu sudah terjadi sejak puluhan tahun, namun yang menimpa mereka belum bisa diketahui dunia.
Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri
Terkait tindakan diskriminatif ini, Lembaga Kemanusiaan INH mengecam dan mendesak Pemerintahan RCC untuk menghentikan penindasan tersebut.
Sekitar satu juta Muslim di sana masuk ke kamp-kamp penahanan rahasia beredar dan viral dengan beberapa bukti yang menguatkan, termasuk saksi dari kerabat dekat korban.
“Apa yang dialami Muslim Uighur bukan hanya penindasan secara fisik, tapi juga propaganda-propaganda visual dan larangan tertulis yang berisi stereotif Muslim,” ujarnya.
Menurutnya, aksi yang sudah berlangsung sekian lama ini mestinya sudah menjadi perhatian utama dari dulu, sebelum semakin banyak korban berjatuhan.
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian
“Tapi memang akses kesana terbilang sulit, apalagi kalau berangkat sebagai jurnalis atau lembaga kemanusiaan,” tambahnya.
Selama ini, pemerintah memberlakukan berbagai macam larangan diskriminatif terhadap Muslim Uighur. Salah satunya, mural yang banyak dibuat otoritas di jalan-jalan menggambarkan Muslim sebagai kelompok teror yang membahayakan orang lain.
Selain itu, larangan tidak boleh memiliki nama Muslim atau menyebut kalimat-kalimat dalam bahasa Arab di tempat umum menjadi dalih yang dipakai pemerintah sebagai cara untuk menekan berkembangnya radikalisme atau kelompok teror di Cina. Padahal, bahasa Arab yang dipakai warga merupakan do’a keseharian atau ucapan seperti “Assalamualaikum”. (R/R10/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025