Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menasihati Penguasa, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur

Widi Kusnadi - Rabu, 9 Agustus 2023 - 19:08 WIB

Rabu, 9 Agustus 2023 - 19:08 WIB

10 Views

بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ (طه [٢٠]: ٤٤)

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS Thaha [20]: 44)

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun Alaihimas Salam untuk berdakwah kepada raja Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut, yaitu perkataan yang enak didengar, dengan etika yang baik dalam bertutur kata, tanpa cacian, pamer kekuatan dan kekerasan.

Dengan perkataan yang lembut itu, mudah-mudahan Fir’aun tergugah untuk mengerjakannya, atau takut akan segala sesuatu yang membahayakan dirinya. Sesungguhnya tutur kata yang lembut akan mengundang perubahan, sedangkan omongan yang kasar akan melahirkan antipati dan resistensi.

Sementara itu, Prof. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan, ayat di atas juga merupakan metode dakwah agama yang hendaknya dipraktikkan oleh kaum Muslimin umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam dalam menyeru manusia menuju jalan yang lurus, yakni Islam, termasuk menasihati para penguasa, meskipun mereka belum memeluk Islam.

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan terminologi yang semakna dengan ayat di atas yakni dalam Surah An-Nisa [4] :5 qoulan ma’rufa (perkataan yang mudah dimengerti), An-Nisa [4] :9: Qaulan Sadida (perkataan yang benar dan jujur), An-Nisa [4] :63: qoulan baligha (perkataan yang padat dan ringkas), Al-Isra [17]: 23 qoulan karima (perkataan yang mulia), dan Al-Isra [17]:28 qoulan maisura (perkataan yang ringan).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda tentang urgensi nasihat dalam agama:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ: لِلَّٰهِ، وَلِكِتَابِهِ، ولِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ (رواه البخاري ومسلم)

“Agama adalah nasihat.” Kami (sahabat Nabi) bertanya, Untuk siapa? Beliau menjawab, Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Muslimin dan masyarakat secara umum.”  (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Imam Ibnu Daqiq Al-Idd, dalam kitab Syarah Hadits Arba’in menjelaskan makna nasihat dalam hadits di atas, yakni kata yang komprehensif, meliputi segenap kebaikan yang diarahkan kepada orang yang dinasihati.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Kritik vs Nasihat

Dalam Kamus KBBI, kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik atau buruknya terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan lainnya, dilakukan dengan melibatkan emosional sehingga menyudutkan, merendahkan bahkan menghina orang yang dikritik.

Kritik berfokus pada kekurangan yang ada pada orang yang dikritiknya, karena bersumber dari ketidakpuasan terhadap kinerja atau hasil yang ada.

Walaupun untuk tujuan perbaikan atau kebaikan, kritik biasanya akan memberikan goresan luka secara psikologi. Bahkan tidak jarang, kritikan menimbulkan dendam dari orang yang dikritik kepada orang yang mengkritik, atau sebaliknya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Sebaliknya, nasihat adalah petunjuk, peringatan, teguran yang baik, dilakukan atas dasar perhatian dan kasih sayang, dengan kelembutan dan kesabaran demi perbaikan dan kebaikan orang lain, tanpa mengabaikan harga diri dari yang diberi nasihat atau pemberinya.

Bagi orang-orang yang hatinya bersih, nasihat menimbulkan rasa kasih sayang dari orang yang dinasihati kepada orang yang menasihati, atau sebaliknya sehingga menguatkan ikatan persaudaraan dan menumbuhkan sinergi dan kerja sama menuju keadaan yang lebih baik.

Nasihat menduduki posisi yang penting dalam agama Islam karena hal itu merupakan bagian dari syariat amar makruf nahi munkar. Dalam kesehariannya manusia bukan makhluk yang suci dari dosa seperti halnya malaikat. Manusia adalah makhluk yang sarat dengan salah dan lupa.

Kaum Muslimin akan menjadi umat terbaik jika mereka saling memberi nasihat dalam kebaikan dan takwa. Sebaliknya, sebuah bangsa akan hancur apabila masyarakatnya tidak ada yang mau memberi nasihat satu sama lain, sebagaimana kaum terdahulu, sebelum Nabi Muhammad  Shallallahu alaihi Wasallam yang kisahnya disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an (Al-A’raf [7]: 165).

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Cara Memberi Nasihat

Islam mengajarkan cara memberi nasihat agar bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik. Al-Qur’an dan As-Sunnah memberikan tuntunan antara lain:

Pertama, niat tulus hanya berharap ridha dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Menyampaikan nasihat bukan karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi, riya’ (ingin dipuji orang lain) dan sum’ah (menceritakan kebaikannya kepada orang lain). Hal itu bisa ditemukan dalam Al-Qur’an surah Ghafir [40]: 65.

Kedua, memberi nasihat berdasarkan ilmu, yakni menguasai masalah dan memberi solusi. (Al-Qur’an surah Al-Isra [17]: 36).

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Ketiga, dengan akhlak yang baik, memilih diksi yang santun, cara yang tepat, serta memahami situasi, kondisi dan waktu yang tepat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi Wasallam yang artinya: “Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor dan suka bicara jorok.” (HR. At-Tirmidzi)

Dalam kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, “Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasihat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)

Kisah cucu Rasulullah, Sayyid Hasan dan Husain Radhiallahu anhuma ketika memberi nasihat kepada orang tua Badui tentang tata cara berwudhu, juga bisa menjadi referensi bagaimana sebuah niat yang tulus, dipadukan dengan ilmu yang mumpuni cara yang santun membuat seorang Badui merasa terhormat dan menerima nasihat yang diberikan kepadanya dengan senang hati.

Keempat, hendaknya menjauhi tahrisy (provokasi) dalam memberikan nasihat. Tahrisy termasuk perbuatan namimah (adu domba) yang merupakan perbuatan setan untuk memecah belah kaum Muslimin dengan memunculkan rasa curiga, benci dan permusuhan.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Sikap ketika Diberi Kritik dan Nasihat

Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak sungkan-sungkan meminta nasihat dan masukan kepada para sahabat. Beliau senantiasa senang menerima nasihat, saran dan masukan dari para sahabatnya.

Salah satu kisah yang masyhur, ketika perang Badar, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam mengumpulkan para sahabat untuk menyusun strategi. Sahabat mulia Hubab bin Mundzir Radhiallahu anhu mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin berada di sumur Badar dan menguasainya sebelum dikuasai pasukan musuh. Usulan tersebut beliau terima. Al-hasil, peperangan dimenangkan kaum Muslimin.

Begitu pula pada peristiwa Hudaibiyah, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam menyuruh para sahabatnya untuk menyembelih dam dan melakukan tahallul, tetapi mereka tidak mau melaksanakannya.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Lalu istri beliau, Sayyidah Ummu Salamah Radhiallahu anha menyarankan agar Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam terlebih dahulu menunaikannya. Ketika para sahabat melihat beliau bertahallul, maka para sahabat semuanya langsung mengikutinya.

Baik kritik atau nasihat, keduanya ibarat obat, bisa jadi pahit dan sakit dirasakan. Menerima kritik dan nasihat merupakan tanda kebesaran hati dan jiwa seseorang. Sebaliknya, menolak hal itu dan memusuhi pemberinya merupakan salah satu tanda kesombongan.

Adapun faktor penghalang dalam menerima kritik atau nasihat adalah ketika seseorang merasa dirinya lebih hebat, lebih berilmu dan berpengalaman, serta lebih tinggi pangkat dan kedudukannya sehingga menganggap pemberi kritik dan nasihat sebagai orang yang lebih rendah derajatnya.

Orang yang bersikap lapang dada dalam menerima kritik atau nasihat menunjukkan kebersihan hati dan kerinduan dengan kebaikan dan ridha dari Rabbnya. Selanjutnya ia akan segera memperbaiki diri, melakukan introspeksi dan evaluasi untuk perbaikan sehingga mampu meraih hasil terbaik.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Orang yang mendapat kritik atau nasihat, hakikatnya ia sedang memperoleh kebaikan. Maka hendaknya ia berterima kasih kepada orang yang memberi kritik atau nasihat itu karena telah ditunjukkan kekurangan dan kelemahannya.

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengibaratkan, orang yang diberi kritik atau nasihat ibarat, ia telah diberitahu bahwa ada ular dan kalajengking di balik bajunya. Maka seorang Muslim hendaknya bersyukur, berterima kasih kepada pemberi kritik dan nasihat; dan menganggap hal itu sebagai anugerah yang akan menyelamatkan dirinya dari bahaya dan kecelakaan.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالـصَّـوَابِ

(A/P2/P1)

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Tausiyah
Amerika
Tausiyah
Indonesia