Mendidik Anak Hafal Al-Quran Belajar dari Hafidz Cilik Musa

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

La Ode Abu Hanafi (lahir tahun 2008, usia 7 tahun 10 bulan) ditetapkan sebagai Juara III Musabaqah Hifzil Quran (MHQ) Internasional di Sharm El-Sheikh Mesir pada 10-14 April 2016.

Jumlah peserta MHQ Internasional itu 80 orang dari 60 negara, antara lain : Mesir, Sudan, Arab Saudi, Kuwait, Maroko, Chad, Aljazair, Mauritania, Yaman, Bahrain, Nigeria, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Australia, Ukraina, dan Indonesia, serta negara-negara lainnya.

Musa, begitu ia disapa, merupakan utusan Indonesia satu-satunya yang berpartisipasi pada perlombaan tersebut, dan ikut dalm cabang Hifz Al-Quran 30 juz golongan anak-anak. Musa juga merupakan peserta paling kecil dan paling muda di antara seluruh peserta lomba, karena peserta lainnya berusia di atas sepuluh tahun.

Seperti peserta lomba cabang Hifzil Quran golongan anak-anak lainnya, Musa diminta untuk menuntaskan enam soal, yang berhasil dilalui Musa dengan tenang, tanpa ada salah maupun lupa. Hal itu berbeda dengan para peserta lomba lainnya yang rata-rata mengalami lupa, bahkan diingatkan dan dibetulkan oleh dewan juri.

Lancarnya bacaan dan ketenangan Musa dalam membawakan ayat-ayat Al-Quran yang ditanyakan membuat Ketua Dewan Juri Sheikh Helmy Gamal, Wakil Ketua Persatuan Quraa Mesir dan sejumlah hadirin terharu hingga meneteskan air mata.

Setelah tampil, Musa langsung diserbu oleh oleh para hadirin untuk berfoto dan mencium kepalanya sebagai bentuk takzim sesuai budaya masyarakat Arab. Tak mau ketinggalan, Dewan Juri dan panitia dari Kementerian Wakaf Mesir ikut pula meminta Musa untuk berfoto dengan mereka.

Hal itu tidak mereka lakukan terhadap peserta MTQ lainnya. Meskipun karena usianya yang masih kecil dan lidahnya yang masih cadel dan belum bisa mengucapkan hurup “r”. Musa dinilai telah menjadi juara di hati dewan juri dan para hadirin, meskipun secara tertulis dia hanya memperoleh juara tiga.

Hal itu karena menurut Syeikh Helmy Gamal bacaan Al-Quran diatur dengan kaedah dan hukum yang jelas dan tidak bisa dikesampingkan, antara lain terkait makharijul huruf.

Pada acara penutupan, Menteri Wakaf Mesir Prof. Dr. Mohamed Mochtar Gomaa memanggil Musa dan Abu Hanafi secara khusus. Pada kesempatan tersebut Menteri Gomaa atas nama Pemerintah Mesir mengundang Musa dan Hanafi pada peringatan malam Lailatul Qadar yang diadakan pada bulan suci Ramadhan mendatang. Disebutkan bahwa Presiden Mesir akan memberikan penghargaan secara langsung kepada Musa.

Pemerintah Mesir akan menanggung biaya tiket dan akomodasi selama mereka berada di Mesir. Menteri Gomaa menyampaikan takjubnya kepada Musa yang berusia paling kecil dan tidak bisa berbahasa Arab, tapi menghapal Al-Quran dengan sempurna.

Tentu tidak serta merta Musa langsung hafal Al-Quran 30 juz, atau 6.666 ayat itu. Ada proses, waktu, cara dan upaya maksimal yang dilakukannya, dan tentu kesabaran dan ketekunan kedua orangtuanya. Adalah ayahnya seorang petani bernama La Ode Abu Hanafi dan isterinya Yulianti, tinggal di daerah di Bangka Barat, Bangka Belitung, keduanya memang bukan hafidz Al-Quran.

Ayahnya, La Ode adalah seorang petani kebun karet yang juga guru ngaji. Sedangkan ibunya Yulianti, alumni Pondok Pesantren Al-Fatah Muhajirun, Negararatu, Natar, Lampung Selatan, lulus tahun 2004, adalah ibu rumah tangga. Asal asli Yulianti adalah dari Kota Agung, Tanggamus, Lampung.

Sejak Usia Dua Tahun

Bakat Musa menghafal Al-Quran memang sudah tampak sejak kecil. Semenjak usia dua tahun, sang ayah muda, Hanafi (33 tahun)  sudah memperkenalkan huruf-huruf Hijaiyah pada Musa. Huruf-huruf itu ditempel di dinding agar selalu diulang-ulang oleh Musa dan sampai dia hafal seluruh huruf.

Lalu, mulailah sang ayah yang juga guru ngaji, membacakan dan mengajarkan ayat-ayat dalam Al-Quran kepada Musa. Musa pun tinggal menirukannya.

Ayahnya pun memulai bimbingan Al-Quran untuk anaknya itu. Karena Musa belum bisa membaca Al-Quran, Hanafi membimbingnya dengan metode talqin atau membacakan hafalan. Musa diminta menirukan saja pelafalan sang ayah. Mengingat usia sang anak, Hanafi mengajarinya dengan perlahan. Satu sesi belajar berlangsung lima sampai sepuluh menit.

Tentu, bukan hal mudah mengajarkan Al-Quran kepada bocah yang ketika itu baru berusia dua tahun. Proses Musa untuk menjadi hafiz, tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Bagian pertama yang diajarkan kepada Musa adalah surat terakhir Al-Quran, yakni An-Naas.

”Saya ajarkan qul saja, butuh dua sampai tiga hari dia ikuti,” kenangnya. Kemudian, menyambungkan kata qul dengan a’udzu juga perlu waktu ekstra.

Durasi Musa untuk menghafal Qul a’udzu birobbinnaas perlu setidaknya satu pekan.

Kemudian, saat berhasil menghafal ayat kedua, Musa masih lupa bagaimana bunyi ayat pertamanya. Sehingga hafalannya pun harus diulang dari awal lagi.

”Jadi, surat An-Naas itu mungkin bisa ratusan kali diulang sama saya untuk ditirukan Musa,” ungkapnya.

Orang tuanya juga memperdengarkan kaset murottal (pembacaan) Al-Quran anak. Musa tampak senang dan sangat antusias menirukan murottal itu.

Melihat reaksi tersebut, oang tuanya pun makin sering memperdengarkan kaset murottal kepada Musa.

Menurut ayahnya, daya tangkap dan daya ingat Musa lama kelamaan terlihat mengagumkan. Musa sampai mampu menghafal setengah lembar Al-Quran hanya dalam waktu 30 menit.

Kedua orang tua Musa, memang semenjak mengandung Musa, tergolong sangat rajin mengaji, agar kelak anak yang lahir mampu membaca dan mencintai Al-Quran.

Kemampuan membaca Al-Quran dan menghafalnya pun mulai terasah. Bacaanya tajwidnya sudah mulai pas.

Semenjak kecil itu pula, memang orangtua Musa sudah mengenalkan pengamalan Islam pada Musa. Meskipun memang Musa pernah merasa bosan belajar Al-Quran saat berusia 3,5 tahun. Namun kedua orang tuanya tidak pernah menyerah. Kendati Musa sempat merengek menangis. Orang tuanya tetap yakin bahwa Al-Quran akan menjadi landasan kuat untuk kehidupan Musa nantinya.

Untuk memperkuat hafalannya, maka orang tua Musa pun meminta bantuan seorang yang memang hafidz Al-Quran, ustadz Sabilar Rosyad.

musa 2Tekad Kuat Orang Tua

Musa, kata orang tuanya, memang merupakan bocah yang luar biasa. Dia mampu menghafal ayat demi ayat Al-Quran secara cepat dan tepat.

Dan itu, memang menjadi keinginan kuat ayah Musa, yang merasa banyak berdosa, maka akan merugi kalau anaknya tidak mampu membaca dan menghafal Al-Quran.

“Awalnya, mengapa saya bertekad kuat kalau punya anak, harus hafal Al-Quran,” kata Hanafi, ayah Musa suatu ketika.

Dengan mengajari Musa membaca dan menghafal Al-Quran, ia berharap bisa mendapat pahala. Sebab, kata dia, orang yang mengajari seseorang membaca Al-Quran akan mendapat pahala yang sama dengan orang yang diajari.

“Itu pula yang nendorong saya mendidiknya menghafal Al-Quran,” tuturnya.

Menurutnya juga, orangtua harus selalu mendekatkan diri pada Allah, jika ingin mendidik anaknya sebagai penghafal Al-Quran. Dan untuk mencetak anak menjadi hafiz, orangtua tak harus menjadi penghafal Al-Quran terlebih dahulu. “Tapi kalau bisa demikian, itu lebih baik.”

Program yang dijalanni Musa, tak mudah begitu saja berjalan. “Mulanya susah. Saya tempel satu-satu huruf itu. Sampai Musa hafal,” ujarnya lagi.

Program harian itu, harus dilakukan dengan disiplin. Maka, memanfaatkan waktu semaksimal mungkin menjadi salah satu kunci sukses Musa menghafal Al-Quran. Jangan sampai waktu terbuang sia-sia. “Belajar mulai setengah tiga dini hari sampai pagi, perlu kedisiplinan” ujar Hanafi.

Program Harian Musa

Menurut paman Musa, Abu Unais, setiap harinya Musa mulai bangun pagi pukul 02.30 untuk mulai menghafal Al-Quran, tuturnya kepada Dream.co.id.

  • Jam 02.30 pagi sudah bangun kemudian wudhu dan langsung muroja’ah di depan ayahnya sampai jam 04.00 pagi.
  • Kemudian menambah hafalan barunya dan menyetorkannya sampai adzan Subuh berkumandang. Kemudian berhenti untuk shalat Shubuh berjamaah.
  • Selesai shalat Shubuh langsung menambah hafalan dan stop pada jam 07.30 pagi. Kemudian istirahat, untuk sarapan, minum dan bermain sampai jam 8.30.
  • Kemudian muroja’ah, mengulang hafalan, sampai jam 10.00 atau 10.30.
  • Setelah itu program wajib tidur sejenak siang hari sampai adzan Dzuhur berkumandang, kemudian shalat Dzhur berjamaah di masjid.
  • Setelah shalat Dzuhur, menambah hafalan baru dan selesai sampai jam 13.30 siang. Kemudian istirahat dan makan siang sampai jam 14.00 siang. Kemudian muraja’ah kembali sampai waktu shalat
  • Setelah shalat Ashar, tambah hafalan baru dan muraja’ah sampai jam 17.00 sore.
  • Kemudian main sebentar dan menyiapkan diri untuk pergi ke masjid sholat Maghrib berjama’ah.
  • Setelah shalat Maghrib muraja’ah sampai Isya dan makan malamnya setelah shalat Isya. Terkadang muraja’ah sampai mendekati waktu Isya dan langsung makan malam, baru sholat Isya.
  • Tidak lama setelah shalat Isya dan sudah makan malam, persiapan untuk tidur. Tidak ada kegiatan lain, boro-boro nonton televisi.
  • Tiap 4 atau 5 hari sekali, Musa Pada hari libur tersebut, Musa full bermain dengan teman-teman sebayanya.

Prestasi Musa

Menurut catatan laman Wikipedia, Musa lebih dikenal dengan Musa Hafizh di samping seorang penghafal Al-Quran, ia juga menghafalkan beberapa hadits penting Al-Arba’in An-Nawawi.

Awalnya Musa pernah juara pertama pada program Hafiz Indonesia 2014 di RCTI. Ia waktu itu menjadi pusat perhatian karena meski kala itu berusia sangat muda yakni 5,5 tahun namun telah mampu menghafalkan 29 juz Al-Quran.

Ia pun dikirim untuk mengikuti perlombaan hafalan Al-Quran tingkat Internasional di Jeddah, Arab Saudi. Musa menjadi yang termuda dalam ajang tersebut, menduduki peringkat ke-12 dari 25 peserta yang ikut bertanding. Musa mendapatkan nilai Mumtaz yakni 90,83 poin dari 100 nilai sempurna.

Setelah perlombaan itu, Musa pun berhasil menuntaskan hafalannya menjadi keseluruhan 30 juz Al-Quran. Pada bulan Agustus 2014, Musa memperoleh piagam penghargaan tingkat nasional dari Museum Rekor Indonesia (MURI)  sebagai Hafiz Al-Quran 30 Juz termuda di Indonesia.

Peran Sang Ibu

Menurut Hanafi ayah Musa, yang tidak kalah penting dari keberhasilan anaknya menghafal Al-Quran adalah sosok seorang ibu Musa yang kuat, teguh dan sabar. Ibu Musa yang selalu menjaga dan mengontrol hafalan Musa hingga tak ada kesempatan untuk tidur siang, dan sedikit tidur malam.

Yulianti namanya, adalah seorang Muslimah asal Kota Agung, Tanggamus, Lampung. Ia adalah alumni Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah Madrasah Al-Fatah Muhajirun, Negararatu, Natar, Lampung Selatan.

Sebuah pesantren binaan H.Muhyiddin Hamidy Allahu yarham, yang mencanangkan program Tahfidz Al-Quran bagi santri-santrinya. Baik yang kelas khusus tahfidz Al-Quran maupun kelas reguler.

Pendidikan Al-Quran selama di Al-Fatah Lampung, shalat fardhu berjamaah di masjid setiap waktu, pelajaran bahasa Arab dan kitab kuning, serta pengajaran akhlak selama mondok, tentu menjadi bekal utama ibunda Yulianti.

Menurut pengakuan Hanafi ayah Musa, sejauh ini peran isteri, ibu Musa, yang sehari-hari di rumah ikut mengajar Musa, sangatlah penting.

“Musa belajar dari isteri saya, terutama hafalan hadits,” kata ayah Musa.

Menurut Hanafi, setiap hari sang isteri tak pernah melewatkan waktu untuk mengajar Musa. Di samping mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Yulianti isterinya, ibu Musa, saat ini sedang menuggu anak keempat. Namun, tetap saja memperhatikan Musa, juga pekerjaan rumah menyetrika baju, hingga pergi ke majelis taklim tidak pernah luput.

Hanafi mengakui betapa peran isterinya sangatlah besar dalam membentuk Musa sebagai penghafal Al-Quran. Tak hanya saat ini saja, sang istri sudah mengajar Musa dengan ilmu agama Islam, semenjak anak pertamanya itu masih berada di dalam kandungan.

“Istri saya mengajar Musa tidak pernah luput. Bahkan lahirnya Musa itu sepulang dari majelis taklim. Itu saking semangatnya isteri saya mengajar Musa,” ujar Hanafi.

Tentu kita semua ikut berbahagia, bersyukur dan ‘iri’ pada pencapaian hasil Musa Indonesia, yang tidk bisa berbahasa Arab, yang orang tuanya bukan hafidz Al-Quran, yang anak kampung, petani sederhana. Mampu menghasilkan anak sekecil itu sudah Hafidz Al-Quan.

Perasaan ‘iri’ lainnya adalah, yaitu janji Allah untuk memberikan ‘Mahkota Kehormatan’ di syurga, yang akan Allah berikan kepada para orang tua yang anaknya hafal Al-Quran.

Ini seperti dijanjikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam hadits, yang artinya, “Pada hari kiamat nanti, Al-Quran akan menemui penghafalnya ketika penghafal itu keluar dari kuburnya. Al-Quran akan berwujud seseorang dan ia bertanya kepada penghafalnya: “Apakah Anda mengenalku?”. Penghafal tadi menjawab, “Saya tidak mengenal kamu.” Al-Quran berkata, “Saya adalah kawanmu, Al-Quran yang membuatmu kehausan di tengah hari yang panas dan membuatmu tidak tidur pada malam hari. Sesungguhnya setiap pedagang akan mendapat keuntungan di belakang dagangannya dan kamu pada hari ini di belakang semua dagangan. Maka penghafal Al Qur’an tadi diberi kekuasaan di tangan kanannya dan diberi kekekalan di tangan kirinya, serta di atas kepalanya dipasang mahkota perkasa. Sedang kedua orang tuanya diberi dua pakaian baru lagi bagus yang harganya tidak dapat di bayar oleh penghuni dunia keseluruhannya. Kedua orang tua itu lalu bertanya, “Mengapa kami diberi dengan pakaian (bagus) begini?”. Kemudian dijawab, “Karena anakmu hafal Al-Quran.” (H.R. Ahmd dan Ad-Darimi).

Semoga kita dapat mencontoh keluarga Musa hafidz cilik, hingga akan dapat terlahir juga hafidz-hafidz lainnya dari anak-anak kita. Aamiin. (P4/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.