Banda Aceh, MINA – Ustad Masrul Aidi, Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keu’eung, Kuta Baro, Aceh Besar mengatakan, Islam bukan hanya dilihat dari sholat dan puasa saja, namun tekanan besar dalam Islam ialah dari sisi akhlak. Jadi keramah-tamahan, bertegur sapa, mengucap salam, serta menghargai hak-hak orang lain.
“Jka itu sudah dijalankan dengan baik oleh masyarakat Aceh maka akan kembali nilai keacehan dan keislamannya sekaligus,” katanya.
Hal itu disampaikan Ustad Masrul dalam acara diskusi publik berjudul “Identitas Aceh, Masih Adakah?”, Selasa (30/4).
“Secara pribadi saya melihat yang paling penting bagaimana sisi keacehan yang dulunya indentik dengan nilai-nilai keislaman itu bisa dihidupkan kembali, dengan menghidupkan itu sudah lebih dari cukup, untuk mempertahankan ciri khas keacehannya,” kata Masrul.
Baca Juga: AWG Beri Edukasi Tentang Palestina di Ponpes Al-Firdaus Bandar Lampung
Ia menjelaskan salah satu metode praktis untuk menghidupkan kembali tradisi tersebut melalui peraturan dan Undang-undang kekhususan Aceh.
Pemerintah juga seharusnya memiliki perencanaan bagaimana menghidupkan kembali nilai keacehan melalui keseharian.
“Jadi ambillah dalam sepekan itu kalau sekarang hari Jumat pakai pakaian islami, kenapa tidak pakaian Islami itu dengan pakaian adat, bukankah pakaian adat kita sudah Islami. Jadi jangan berfikir pakaian Islami itu dengan baju koko saja, sebab itu bukan dari tradisi kita,” katanya.
Padahal, katanya, pakaian teluk belanga Aceh juga bisa digunakan oleh laki-laki untuk beraktivitas di pemerintahan sehari. Begitu juga dengan kaum perempuan menyesuaikan dengan identitas budaya Aceh.
Baca Juga: Indonesia Berharap Rakyat Suriah Dapat Memulai Kehidupan Baru
“Dan ini juga sudah dinilai Islami. Itu salah satu cara praktis untuk menghidupkan kembali tradisi keacehan,” ujarnya.
Sementara itu, Budayawan Aceh, Tarmizi A Hamid atau akrab disapa Cek Midi mengatakan, berbicara identitas Aceh maka secara otomatis berkaitan dengan Islam. Identitas merupakan tradisi yang diwariskan oleh leluhur kita pada masa lalu.
Lantas, apa penyebab identitas Aceh sudah semakin tergurus sekarang ini, kata Cek Midi, tentu hal utama ialah kurangnya pendidikan masyarakat Aceh tentang konsep identitas keacehan itu sendiri.
Terutama peran orang tua juga menjadi penting sebagai penyebab hilangnya nilai keacehan pada anak-anak generasi penerus Aceh.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Selasa Ini Mendung, Berpotensi Hujan Ringan
Maka katanya, untuk membangun kembali identitas Aceh itu harus melalui akademik. Caranya melalui sebuah rekomendasi pemerintah ke kampus-kampus untuk membangkitkan identitas Aceh yang betul-betul berkarakter.
“Kita mulai ini dari identitas kita sendiri melalui akademik, melalui rekomendasi pemerintah bisa bangkit kembali konsep keacehan ini,” katanya.
Ia juga menyebutkan ada banyak warisan para leluhur yang wajib untuk dilestarikan. Mulai dari pakaian, adat istiadat, bahasa, dan sebagainya. Hebatnya Aceh saat ini karena identitas keacehannya pada orang Aceh yang sangat melekat.
“Apa yang kita buat sekarang adalah warisan. Bahasa tersebar di seluruh Aceh, mohon dipertahankan. Itu identitas yang luar biasa. Begitu hebat Aceh ini karena identitas yang sangat melekat,” kata pengoleksi manuskrip kuno itu.
Baca Juga: Indonesia Siap Jadi Tuan Rumah MTQ Tunanetra Internasional
Akademisi Universitas Syah Kuala (Unsyiah), TA Bakti juga menyampaikan terkait hilangnya identitas Aceh dari huruf “Arab Jawi” yang dulunya digunakan orang Aceh untuk berkomunikasi.
Maka hal ini menurutnya patut untuk dilestarkan kembali di kalangan masyarakat sebagai indentitas Aceh.
“Cara mengembalikan untuk bisa paham bahasa Arab Melayu melalui sekolah, kalau pemerintah setuju. Kita masukkan melalui kurikulum inti agar ini terus diulang-ulang,” pungkasnya. (L/AP/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sejumlah Wilayah di Banyumas, Jateng Terendam Banjir