Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Mi’raj News Agency (MINA)
Di antara kita mungkin sudah ada yang mendengar nama Ryan ‘Popo’ Riyadi, salah seorang seniman jalanan atau street artist yang karya-karya muralnya banyak menghiasi tembok-tembok ibukota Jakarta. Lelaki yang akrab disapa Popo itu sering menggambar karakter ‘Popo’ dalam setiap karyanya dibumbui dengan tulisan-tulisan kritis.
Selama belasan tahun, lelaki peraih penghargaan ‘The Best Mural Artist’ pada Tembok Bomber Award 2010 ini selalu menghadirkan kritikan dalam setiap karyanya, walau tidak semua orang setuju dengan cara dia.
Bahkan, Popo pernah juga diprotes dosen di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, lantaran hobinya corat-coret ini. Tapi siapa sangka, beberapa tahun kemudian Popo malah ikut mengajar sebagai dosen mata kuliah komunikasi visual di almamaternya itu.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Dalam sebuah wawancara khusus dengan Popo di tempat biasanya nongkrong, penulis sempat berbincang soal beberapa hal menarik dengan Duta Campaign RS Indonesia ini, salah satunya soal krisis kemanusiaan di Rakhine State, Myanmar. Popo yang cukup peka terhadap situasi di sekitarnya langsung merespon dengan pernyataan kritisnya.
“Banyak manusia hidup berdampingan, tapi sedikit yang berkemanusiaan. Ini sebenarnya kita tunjukan bagi tempat-tempat yang di mana ada banyak orang tetapi di sana tidak ada nilai kemanusiaan,” kata Popo kepada wartawan Mi’raj News Agency (MINA) Rendy Setiawan di Gudang Sarinah Pancoran, Jakarta, Jum’at (7/10).
Meskipun lahir dan besar di Indonesia, Popo cukup konsisten mengikuti perkembangan terkini yang terjadi di Myanmar maupun di Palestina. Menurut Popo, krisis-krisis yang terjadi di dua wilayah itu tak perlu terjadi apabila keberagaman dijaga sebagaimana mestinya.
“Kita sering mendengar ajakan untuk saling menghargai dalam keberagaman. Tapi di sisi lain kita melihat ada banyak krisis kemanusiaan yang terjadi, contoh di Myanmar dan Palestina. Sebenarnya bukan hanya di dua wilayah itu saja, apabila nilai-nilai kemanusiaan itu dijaga, krisis seperti itu seharunya nggak perlu terjadi,” katanya.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
“Ini pelajaran dari apa yang pernah disampaikan oleh ayah saya. Jadi kalau mau menolong, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” katanya menambahkan.
Apabila diperhatikan lebih teliti, semua karya yang pernah diciptakan Popo, sebagian besar memuat pesan kritik sosial. Hal itu tak terlepas dari peran ayahnya yang selalu memotivasi untuk selalu memperhatikan kondisi sekitar.
“Banyak cara untuk mengekspresikan apa yang ingin kita sampaikan, salah satunya dengan komunikasi non verbal, dan melalui lukisan-lukisan mural ini salah satunya,” katanya.
Popo melanjutkan, untuk membantu orang-orang, tidak harus menunggu isu global seperti kelaparan, perang dan krisis lainnya. Cukup dengan memberikan makan kepada tetangga kita yang lapar, itu sama saja sudah menolong banyak orang.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
“Kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial di sekitar kita. Contoh gampangnya begini, kadang kita kenyang tapi ada di sekitar kita yang kelaparan. Kalau ini terjadi, berarti nilai kemanusiaan kita harus dikritik. Kritikan yang saya lontarkan secara khusus sebenarnya ditunjukkan untuk diri saya sendiri,” paparnya.
Popo berpesan, sebelum memenuhi hasrat keinginan kita, ada baiknya untuk melihat kondisi sosial di sekitar terlebih dahulu. Hal itu dilakukan sebagai cara untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan agar selalu merasa dekat dengan lingkungan di sekitar.
“Sebelum memenuhi keinginan kita, ada baiknya kita lihat dulu sekeliling kita,” pesannya.
Menurut Popo, kritik sosial atau kondisi kemanusiaan yang selalu menjadi temanya adalah sebagai cara untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat Indonesia khususnya. “Saya pikir ini nggak bisa lepas dari kehidupan sosial,” ujarnya.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
“Harus selalu sabar ketika hidup berdampingan dalam usaha menumbuhkan nilai-nilai sosial kepada orang yang kita kenal maupun yang nggak kita kenal. Tetapi yang terpenting untuk diri sendiri,” katanya lagi.
Ketika disinggung soal ‘Popo’ yang menjadi karakter dalam setiap karyanya, Popo mengatakan, itu sudah menjadi identitas dirinya. “Popo menjadi signature, menjadi identitas saya. Jadi di setiap karya saya itu ada saya yaitu Popo,” katanya. (W/R06/B05)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis