Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mentadabburi Kesempurnaan Allah (Oleh M Waliyulloh)

Habib Hizbullah - Ahad, 27 Maret 2022 - 17:47 WIB

Ahad, 27 Maret 2022 - 17:47 WIB

48 Views

Oleh: M. Waliyulloh, Amir Syubban (Pemuda) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Lampung

Wahyu Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam untuk makhluk seluruh alam. Di dalamnya terdapat penjelasan holistik tentang alam semesta yang menjadi penopang kehidupan manusia, Al-Qur’an juga menjelaskan tentang awal dan akhir, pun segala sesuatu yang terjangkau dan tidak terjangkau akal manusia. Untuk mencoba memahami dan mentadabburi hal itu perlu kilas balik penciptaan Nabi Adam ‘Alaihis Salam dengan kelebihannya.

Rangkaian ayat tentang keputusan Allah menjadikan Adam ‘Alaihis Salam sebagai khalifah di muka bumi adalah momentum awal keberadaan manusia dengan anugerah akal pikiran. Allah juga menegaskan di hadapan para malaikat bahwa Bani Adam bukanlah kaum perusak sebagaimana apa yang mereka ketahui sebelumnya, tetapi bani Adam ini telah dibekali kapasitas akal dan potensi pengetahuan. Hal ini telah tersirat dalam firman Allah, “Wa ‘Allama Aadamal Asma’a Kullaha” (Allah mengajarkan kepada Adam ‘Alaihis Salam seluruh nama). Al-Asma’ Kullaha adalah nama segala sesuatu sebagai entitas pengetahuan (the name of everything).

Bekal pengetahuan yang tertangkap akal pikiran lahir dari proses sejak dalam kandungan sampai akhir hayat. Gerbang pengetahuan adalah bahasa yang mengidentifikasi sesuatu meski dengan ucapan berbeda. John Locke, dalam konteks pemerolehan bahasa oleh manusia dilalui dengan apa yang disebutnya sebagai tabula rasa. Menurut Locke, setiap manusia seperti kertas kosong, kenyataan dan pengalaman hidup kemudian yang membantu mereka menuliskan ungkapan di atas kertas kosong tersebut. Dengan demikian, kembali pada konteks ayat tersebut, Adam telah dibekali oleh Allah Subhanahu Wata’ala dengan potensi pengetahuan yang sangat besar (Kullaha) semuanya.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Pengetahuan manusia hakikatnya sebagai penyeimbang proses alam. Meskipun secara fisik manusia bisa kalah kuat dengan mahluk lain. Namun, keputusan Allah menjadikan manusia sebagai Khalifah memposisikannya berada di puncak tertinggi tatanan makhluk di muka bumi. Sayangnya bekal pengetahuan itu terdegradasi oleh nafsu dan arogansi, manusia mengakali ke-Maha Besar-an Allah, enggan memperibadati-Nya, menyelisihi-Nya bahkan mempersekutukan dan tidak mengakui kesempurnaan-Nya.

Muncullah golongan orang-orang yang meragukan Allah dan peran-Nya terhadap penciptaan alam semesta. Ateisme menjadi pendirian sesat, mereka tidak hanya terdiri dari kalangan biasa, bahkan di kalangan ilmuwan dan orang orang yang punya kuasa. Kaum cerdik pandai ini menguasai ilmu dan pengetahuan, sesuatu yang telah Allah sematkan. Sayangnya, kelebihan itu bisa sebagai jalan untuk mengimani atau malah mengingkari Allah Subhanahu Wata’ala.

Penegasian Allah di alam semesta didalihkan bahwa pengetahuan harus berdasarkan rasionalitas dan logika, membuat manusia over confident, merasa sempurna, jumawa dapat menciptakan kesempurnaan serta menilai kesempurnaan alam ini tercipta tanpa peran Tuhan. Benar bahwa manusia berhasil menciptakan begitu banyak hal yang luar biasa di berbagai bidang tetapi belum sedebupun mendekati kesempurnaan hakiki sang Maha Kuasa.

Ateisme yang dianut para ilmuwan secara perlahan justru menyudutkan mereka pada perkembangan dan pembuktian tentang hakikat Tuhan. Awalnya mereka meragukan kesempurnaan Allah dalam penciptaan. Tetapi ilmu pengetahuan menuntun mereka menemukan kesempurnaan dari ketidaksempurnaan dan mendeviasi bahwa ciptaan dan pencipta korelatif dengan kesempurnaan dari fragmen ketidaksempurnaan

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Manusia sebagai mahluk terkadang mengharapkan kesempurnaan. Padahal di kehidupan dunia ini tidak ada kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah. Hukum alam sendiri tersusun dari fragmen yang tidak sempurna tetapi saling melengkapi. Jika hukum alam ada dalam bentuk yang terlalu sempurna (simetris) maka justru tidak ada yang namanya kehidupan. Misalnya satu sayap kupu-kupu sempurna diciptakan Allah tetapi tidak simetris kecuali ada sayap yang yang lain. Maka kita melihat kesempurnaan kupu-kupu ketika melihat kedua sayapnya. Kesempurnaan bukan milik alam semesta tetapi milik Sang Pencipta Semesta.

Ilmu pengetahuan atau sains membuktikan hal tersebut. Profesor Michio Kaku, seorang fisikawan dari Universitas Harvard Amerika, menyatakan bahwa alam ini adalah potongan kesempurnaan dari kesempurnaan yang sesungguhnya di mana dalam matematika disebut simetri. Pada akhirnya para ilmuwan yang meneliti tentang alam semesta melalui hukum alam harus tunduk dan mengakui bahwa semua yang terjadi di alam ini diatur oleh satu simetri yang sama yaitu Sang Maha Sempurna. Peter Higgs, fisikawan dan Profesor Universitas Edinburg menyatakan; the laws of nature are dictated by recquiring simmetry.

Bukti keberadaan Tuhan ditelusuri para ilmuwan dari perspektif permulaan alam semesta. Stephen Hawking, dalam buku The Brief History of Time mengaku telah membuktikan bahwa alam semesta ini memiliki awal. Jika ada awal mula maka berarti ada yang menciptakan. Pengetahuan ini kemudian menelisik elemen utama dari awal itu sendiri yaitu ruang dan waktu sebagai satu kesatuan yang sama yang diatur oleh sesuatu hal lain yang tidak terjangkau dan tidak terdefinisi. Dalam hal ini, ia sempat mengakui keberadaan Tuhan sebagai aktor yang mengawali alam semesta, meskipun di kemudian hari ia menyangkal. Faktanya pencapaian teori tersebut masih menyisakan pertanyaan karena ilmuwan tidak dapat mendeskripsikan secara jelas sesuatu yang tidak terdefinisi atau disebut singularity.

Konsep matematika dan fisika memaknai singularity sebagai sesuatu yang tidak terdefinisi (undifine) tetapi bukan berarti yang tidak terdefinisi itu tidak ada, ia eksis tetapi tidak terjangkau oleh nalar manusia. Singularity kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah keganjilan padahal ia dari akar kata single (tunggal) yang berarti tidak terbagi. Sesuatu yang tidak terbagi adalah tak terhingga karena nilainya yang tidak bisa terkalkulasi, seperti halnya dalam matematika, angka 0 adalah angka tak terhingga. Ketidakterhinggaan ini dikenal dengan sebutan infinity (tidak terhingga). Dengan kata lain setiap sesuatu yang tidak terdefinisi (singularity) sudah pasti bersifat tidak terhingga (Infinity).

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Jika dalam matematika angka 0 tidak terhingga, maka dalam fisika partikel adalah ciptaan yang tidak terukur, padahal ia adalah dimensi dasar alam semesta. Ilmu fisika memunculkan dua teori besar yang mendeskripsikan alam semesta; yaitu teori kuantum dan teori relativitas umum. Teori kuantum adalah teori tentang dunia yang bersifat mikroskopik sementara relativitas umum bicara sebaliknya. Sayangnya Stephen Hawking berubah seiring proses pengembangan teori-teorinya, Ingin menggabungkan dua teori ini menjadi satu teori mutakhir yang disebut dengan Theory of Everything dan dengan arogan ia berambisi teori tersebut dapat menjawab secara saintifik semua pertanyaan tentang alam semesta dan menisbikan Tuhan.

Hikmah yang bisa dipetik adalah, bahwa manusia bisa saja memiliki kekuasaan dan kecerdasan yang luar biasa tetapi jangan sampai anugerah itu menjadi kutukan. Kecerdasan akal melahirkan pengetahuan untuk menopang kewajiban makhluk kepada Khaliq, mengimani bukan alat untuk mengingkari Allah Subhanahu Wata’ala. Ingatlah bahwa kecerdasan akal ada batasnya. Bahkan alam telah menunjukkan ketidaksempurnaannya dan menunjukkan bahwa mereka hanya tunduk pada kesempurnaan yang lebih besar

Orang-orang ateis sepenuhnya memahami bahwa akal adalah anugerah (gift) sekaligus kutukan (cursed). Kecerdasan akal justru bisa menjadi bencana untuk kehidupan di alam semesta. Maka dalam dunia marvel, Thanos dengan sinis mengatakan kepada ras manusia “Your’e not the only one cursed with knowledge.” Itu adalah ucapan satir karena akal dan pengetahuan manusia tidak membawa kepada kesempurnaan hidup, keseimbangan dan kebahagiaan, tetapi justru menciptakan bencana dan nestapa.

Manusia dibekali akal bukan ditujukan untuk mengetahui segalanya, tetapi akan ditujukan untuk mengetahui Yang Memiliki Segalanya. Dia Sempurna, Dia Esa, Dia Tidak Terhingga, Simmetry Singularity Infinity sebagaimana kita mengimani Qur’an Surah Al-Ikhlash ayat 4, “Walam Yakun Lahu Kufuwan Ahad.” (AK/R12/P1)

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah
Kolom
MINA Millenia
MINA Preneur
MINA Health