Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Selama ini, Muslimah menjadi obyek utama jika membahas masalah penampakan aurat yang di dalam hukum Islam dianggap sebagai perbuatan berdosa jika itu disengaja, seolah-olah bahwa aurat adalah wanita, dan wanita adalah aurat. Sehingga, Muslimah yang belum mampu menutup aurat secara total sesuai dengan tuntunan Islam, merasa selalu tersudutkan dan timbul rasa apatis.
Namun, kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Sebab, sesuatu yang disebut “aurat” itu bukan semata-mata dimonopoli oleh kaum hawa, aurat juga ada pada diri kaum Adam, alias para lelaki.
Kata “aurat” sendiri memiliki arti “sesuatu yang tidak boleh dilihat orang lain”.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Terlalu sering pembahasan mengenai aurat hanya pada wanita. Sedikit atau jarang sekali kita mendengar pembahasan aurat para lelaki. Sering kita lihat bagaimana sebagian pria menampakkan paha atau membuka aurat lainnya. Lalu manakah batasan aurat pria yang terlarang dilihat oleh orang lain?
Aurat Sesama Lelaki
Aurat sesama lelaki, baik dengan kerabat atau orang lain, adalah mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah merujuk pada sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Artinya, “Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil dengan riwayat bahwa Al Hasan bin Ali radhiyallhu ‘anhuma pernah menampakkan auratnya lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menciumnya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرُّكْبَةُ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Lutut termasuk ‘aurat.” (HR. Ad Daruquthni 1/506. Dalam hadits ini terdapat Abul Janub dan dia termasuk perowi yang dho’if).
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Apa saja yang boleh dilihat oleh sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
ما فوق الرّكبتين من العورة ، وما أسفل السّرّة وفوق الرّكبتين من العورة
“Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.” (HR. Al Baihaqi 2/229 dan Al Jaami’ Ash Shogir 7951. Dalam hadits ini terdapat Sa’id bin Abi Rosyid Al Bashri dan ia termasuk perowi yang dho’if).
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa aurat lelaki sesama lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.
Sebagian ulama memang berpendapat bahwa paha tidak termasuk aurat, artinya boleh ditampakkan. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah (Ibnu Hazm, cs). Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah berikut ini:
Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu berkata,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang putih.” (HR. Bukhari no. 371 dan Muslim no. 1365).
Syaikh Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan hadits di atas, beliau hafizhohullah berkata, “Hadits di atas dimaksudkan bahwa sarung Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersingkap dengan sendirinya, bukan Nabi yang menyingkapnya sendiri dan beliau juga tidak menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam Shahihain yang menyatakan “فانحسر الإزار”, artinya sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya.”
Dalil lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah,
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ …
(‘Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau ….”
Syaikh Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil bahwa paha bukan termasuk aurat berdalil dengan hadits di atas, di mana beliau berkata,
Tidak bisa kita mempertentangkan hadits yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat bagi pria dengan hadits-hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan semakin penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat Muslim suatu pertentangan, di mana perawi mengatakan paha dan betisnya. Di riwayat lain dikatakan dengan lafazh “كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ”, beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah ini, paha adalah aurat. Itulah yang lebih rojih (kuat) berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas.
Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrof-nya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya’.” (QS. An Nuur: 31).
Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu Salamah, ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Aku berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam balik bertanya, “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?” (HR. Abu Daud no. 4112, At Tirmidzi no. 2778, dan Ahmad 6/296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if).
Abu Daud berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum! Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berkata kepada Fatimah binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di sisinya’.”
Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun ‘alaih. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Artinya, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892).
Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu a’lam.
Aurat Lelaki di Hadapan Istri
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dho’if. Hadits tersebut adalah,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.” (HR. Ibnu Majah no. 1921).
Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Mandal dan ia dho’if (Mukhtashor Al Bazzar, 1/579). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Nasehat bagi Penggemar Bola dan Penggemar Renang
Jika kita sudah mengetahui manakah aurat lelaki, ada satu hal yang mesti kami ingatkan tentang tersebarnya kekeliruan di tengah masyarakat mengenai aurat lelaki ini. Yaitu seringkalinya kita melihat para pria buka-bukaan aurat, baik paha yang disingkap –seperti ketika main bola– atau sengaja menyingkap bagian aurat lainnya –mungkin saja ketika renang– dengan hanya memakai –maaf- celana dalam. Ini sungguh kekeliruan.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Artinya, “Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim no. 338).
Artinya, orang yang sengaja buka aurat telah bermaksiat. Aurat sesama pria tentu saja tidak boleh dilihat, lantas bagaimanakah dengan menonton pertandingan bola yang jelas sekarang ini sering menampakkan paha karena celana yang digunakan begitu pendek?!
Nasehat ini sebenarnya untuk semua yang sering menampakkan auratnya di hadapan yang lainnya, bukan hanya untuk penggemar bola dan renang saja.
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
(T/P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)