Oleh : Risma Tri Utami, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat
Muhammad Al-Fatih atau yang biasa dikenal dengan Sultan Muhammad II, atau Mehmed II, lahir pada 27 Rajab 835 H (30 Maret 1432 M). Al-Fatih adalah putera dari Sultan Murad II (824 – 863 H) yang merupakan sultan ke-6 Daulah Turki Utsmaniyah.
Sejak kecil Al-Fatih telah dididik oleh dua ulama besar pada zamannya, yaitu Syaikh Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin.
Ia diajarkan ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Matematika, Falak, Sejarah, Ilmu Peperangan, dan Bahasa. Ia diketahui menguasai tujuh bahasa, yaitu : bahasa Arab, Turki, Parsi, Latin, Yunani, Serbia, dan Ibrani.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Sejak kecil Al-Fatih mencermati usaha ayahnya menaklukkan Konstantinopel, yang waktu itu dikuasai Kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium. Sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya untuk meneruskan cita-cita umat Islam.
Penaklukan Konstantinopel
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad).
Hadits Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam tersebut akhirnya terbukti ratusan tahun kemudian. Konstantinopel berhasil ditaklukkan oleh pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh Muhammad Al-Fatih, panglima muda yang memimpin pasukan dalam usia sekitar 23 tahun.
Baca Juga: Para Perempuan Pejuang Palestina yang Inspiratif
Ketika ayahnya wafat (5 Muharram 852/7 Februari 1451 M), saat itu Muhammad Al-Fatih baru berusia 20 tahun. Syeikh Aaq Syamsuddin menyatakan keyakinannya bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih adalah basyirah (kabar gembira) yang dikabarkan Nabi Muhammad bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih-lah yang akan membebaskan Konstantinopel.
Syeikh Aaq Syamsuddin mengatakan kepada Sultan Muhammad II selalu mengatakan kandungan hadits tersebut.
Sejak saat itu, Sultam Muhammad II menjadi begitu berkeinginan untuk menaklukkan Konstantinopel. Dalam rangka itulah, Al-Fatih berusaha memperkuat kekuatan militer Utsmani. Ia pun membekali pasukan dengan kemampuan tempur dan semangat jihad.
Diceritakan bahwa pasukan Sultan Muhammad II atau pasukan Al-Fatih dikenal tidak pernah meninggalkan shalat wajib sejak baligh, dan separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan shalat tahajud sejak baligh. Hanya Al-Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan shalat wajib, shalat tahajud dan shalat rawatib sejak baligh hingga beliau wafat.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Kisah ini terjadi ketika suatu hari timbul persoalan, ketika pasukan Islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di kota itu, Konstantinopel, seteleh dibebaskan.
“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” tak ada jawaban. Tak ada yang berani menawarkan diri. Lalu Muhammad Al-Fatih tegak berdiri. Ia meminta kepada seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri. Kemudian bertanya, “Siapakah di antara kalian yang sejak remaja, sejak akil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!”
Subhanallah……!!! Maha suci Allah! tak seorangpun pasukan Islam yang duduk. Semua tegak berdiri. Apa artinya? Itu berarti, tentara Islam pimpinan Muhammad Al-Fatih sejak masa remaja mereka hingga hari itu, tak seorangpun yang pernah meninggalkan shalat fardhu. Tak sekalipun mereka melalaikan shalat fardhu.
Lalu Muhammad Al-Fatih kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk!!”.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Kali ini, sebagian pasukannya duduk. Artinya, pasukan Islam sejak remaja mereka ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat sunah setelah maghrib, dua roka’at sebelum shubuh dan shalat rawatib lainnya. Namun memang ada beberapa yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter dan keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi dan jujur.
Dengan mengedarkan matanya ke seluruh pasukannya, Muhammad Al-Fatih kembali berseru lalu bertanya, “ Siapa di antara kalian yang sejak masa akil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!!”
Apa yang terjadi? Terlukislah pemandangan yang menakjubkan sejarawan barat dan timur. Semua yang hadir dengan cepat duduk!!” Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri. Siapakah dia??? dialah, Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk benteng Byzantium Konstantinopel. Beliaulah yang pantas menjadi imam shalat Jumat hari itu. Karena hanya Al-Fatih seorang yang sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya dengan bersujud kepada Allah, tidak pernah absen semalampun.
Strategi Pertempuran
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Panglima Al-Fatih memperkuat infrastruktur angkatan bersenjata dan modernisasi peralatan tempur, dengan membangun benteng Romali Hisyar di wilayah selatan Eropa, di selat Bosphorus, pada sebuah titik yang paling strategis yang berhadapan dengan benteng yang pernah dibangun pendahulunya yaitu Sultan Bayazid di daratan Asia.
Sebelum serangan dilancarkan, Sultan Muhammad II telah mengadakan perjanjian dengan kerajaan yang berbatasan langsung dengan konstantinopel diantaranya ialah perjanjian yang dibuat dengan kerajaan Galata yang bersebelahan dengan Byzantine. Ini merupakan strategi yang penting supaya seluruh tenaga dapat difokuskan kepada musuh yang satu tanpa ada ancaman lain yang tidak terduga.
Disebutkan bahwa telah dipersiapkan kapal perang berjumlah 400 unit. Meriam-meriam besar telah digerakkan dari Andrianopel menuju Konstantinopel dalam jangka waktu dua bulan.
Keseriusan Sultan Muhammad II telah mendorong Kaisar Byzantium berusaha meminta bantuan dari negara-negara Eropa.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Kaisar memohon pertolongan dari gereja Katholik Roma, sedangkan ketika itu semua gereja di Kostantinopel beraliran Orthodoks.
Demi mendapatkan bantuan, Constantine XI Paleologus setuju untuk menukar aliran di Kostantinopel demi menyatukan kedua aliran yang saling bermusuh itu. Perwakilan dari Eropa telah tiba di Konstantinopel untuk tujuan tersebut. Constantine XI berpidato di Gereja Aya Sofya menyatakan ketundukan Byzantium kepada Katholik Roma.
Hal ini telah menimbulkan kemarahan penduduk Kostantinopel yang beraliran Orthodoks. Sehingga ada di antara pemimpin Orthodoks berkata, “Sesungguhnya aku lebih rela melihat di bumi Byzantine ini sorban orang Turki (muslim) daripada aku melihat topi Latin!”
Situasi ini telah mencetuskan pemberontakan rakyat terhadap keputusan Constantine XI yang dianggap telah berkhianat.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Akhirnya pasukan yang dipimpin langsung Sultan Muhammad II alias Al-Fatih sampai didekat Konstantinople pada hari Kamis tanggal 26 Rabiul Awwal 857 H (6 April 1453 M). Bersama gurunya, syaikh Aaq Syamsudin, Halil Pasha, dan Zaghanos Pasha (tangan kanannya) mereka merencanakan penyerangan ke Konstantinopel dari berbagai penjuru kota dan pada hari yang sama seluruh kota telah terkepung mulai dari Golden Horn ke Laut Marmara dari tanah.
Dalam pidatonya ia menyebutkan, bahwa dengan dibukanya Konstantinopel berarti akan memuliakan nama Islam dan Kaum Muslimin.
Al-FAtih lalu mengirim surat kepada Paleologus untuk bernegosiasi, menyerahkan penguasaan kota secara damai atau memilih perang. Tetapi Constantine Paleologus tetap bertahan untuk mempertahankan kotanya. Yang dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan, dan Giovanni Giustiniani dari Genoa.
Kota itu memang sulit ditembus, bahkan kapal perang ukuran kecil pun tak bisa melewatinya. Al-Fatih berjanji tidak seorang pun akan terluka bahkan tidak ada gereja dan harta benda penduduk akan musnah.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
“…Serahkan kekaisaranmu, kota Konstantinopel. Aku bersumpah bahwa tentaraku tidak akan mengancam nyawa, harta dan kehormatan mereka. Mereka yang ingin terus tinggal dan hidup dengan amat sejahtera di Konstantinopel, bebas berbuat demikian. Dan siapa yang ingin meninggalkan kota ini dengan aman sejahtera juga dipersilakan”.
Akhirnya, serangan pun mulai diluncurkan pada esok harinya. Tetapi karena rantai besi yang melindungi perairan Tanduk Emas, pasukan Al-Fatih belum berhasil menerobos masuk.
Pada 18 April 1453 M, pasukan berhasil meruntuhkan tembok Konstantinopel, namun dengan cepat tentara Constantine berhasil menumpuk reruntuhan sehingga benteng kembali tertutup.
Pada hari yang sama para pasukan mencoba menembus rantai besi, tetapi berhasil dihalangi oleh armada laut Byzantine dan Eropa. Dua hari setelah serangan itu, terjadi sekali lagi perang laut antara kedua belah pihak. Namun, gabungan armada Eropa dan Konstantinopel berhasil mematahkan serangan pasukan Al-Fatih. Walaupun mereka bersungguh-sungguh melancarkan serangan demi serangan. Atas kegagalan itu sultan merasa khawatir.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Namun apa yang terjadi? Pada subuh pagi tanggal 22 April, penduduk kota Konstantinopel yang terlelap tidur itu terbangun, demi mendengar pekik suara takbir tentara Islam, “Allahu akbar….! Allahu Akbar…!! Allahu Akbar…!!!”. menggema di perairan Tanduk Emas.
Pasukan Konstantinopel gempar. Tak seorang pun di antara mereka yang percaya atas apa yang telah terjadi. Tidak ada yang dapat membayangkan bagaimana semua itu bisa terjadi hanya dalam semalam. Pasukan Al-Fatih telah dapat masuk ke kawasan Konstantinopel, padahal perairan sudah diblokir dengan rantasi besi.
Bagaiman tidak! Karena tidak dapat melewati rantai-rantai besi di sepanjang peraiaran, maka untuk melewatinya, Al-Fatih memerintahkan dalam satu malam itu, agar pasukannya mengangkat kapal-kapal laut yang jumlahnya 70 kapal diturunkan ke darat, lalu naik melintasi perbukitan terjal, ke atas, lalu turun kembali ke seberang rantai-rantai besi. Hingga dapat masuk ke perairan yang berhadapan labgsung dengan benteng Konstantinopel.
Seorang ahli sejarah tentang Byzantium, Yilmaz Oztuna, di dalam bukunya Osman Li Tarihi menyebutkan, “Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al-Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Alexander yang Agung”.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Begitu kapal-kapal pasukan Al-Fatih memasuki perairan Tanduk Emas, serangan demi serangan menghujam ke dalam benteng pun dilancarkan sepanjang siang hingga malam hari tanpa henti.
Sultan Muhammad II yakin bahwa kemenangan semakin tiba, mendorongnya untuk terus berusaha agar Constantine XI Paleologus menyerah kalah tanpa terus membiarkan kota itu musnah akibat gempuran meriam.
Sekali lagi Sultan mengirim utusan Ismail Isfendiyar Beyoglu untuk meminta Constantine XI Paleologus agar menyerahkan Kostantinopel secara aman. Costantine telah berunding dengan para menterinya. Ada yang menyarankan supaya mereka menyerah kalah dan ada pula yang ingin bertahan sampai akhir. Costantine akhirnya setuju dengan pandangan kedua lantas mengirimkan balasan,
“Puji Tuhan karena Sultan memberikan keamanan dan bersedia menerima pembayaran jizyah. Akan tetapi Costantine bersumpah untuk terus bertahan hingga ke akhir hayatnya demi takhta atau mati dan dikuburkan di kota ini!”.
Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad II atau Al-Fatih bersama tentaranya kembali meluruskan niat dan membersihkan diri di hadapan Allah. Mereka memperbanyak shalat, berdoa dan berdzikir, dengan harapan Allah akan memudahkan kemenangan.
Para ulama pula memeriksa barisan tentara sambil memberi semangat kepada para pejuang. Mereka diingatkan tentang kelebihan jihad dan syahid serta kemuliaan para syuhada’ terdahulu khususnya, Abu Ayyub Al-Ansari yang juga telah berjuang menuju wilayah itu.
“Sesungguhnya saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tiba di Madinah ketika hijrah, baginda Nabi telah pergi ke rumah Abu Ayyub Al-Ansari. Sesungguhnya Abu Ayyub pun telah datang ke Kostantinopel dan berada di sini!”, ujar ulama penasihat Al-Fatih. Kata-kata inilah yang membakar semangat tentara Islam hingga ke puncaknya.
Tepat pukul 01.00 dini hari, Selasa, 20 Jumadil Awwal 857 H./ 29 Mei 1453 M, Sultan Al-Fatih memberi pidato kepada tentara Islam :
“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menjadi kenyataan, dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti. Maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits tersebut, yaitu berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”.
Diiringi hujan panah api, meriam, tombak, dan lainnya, tentara Turki Islam itun pun maju dalam tiga lapis pasukan, terdiri dari tentara biasa di lapis pertama, pasukan khusus Anatolian Army di lapis kedua, dan terakhir pasukan khusus Yanissari.
Pasukan Kostantinople telah berada di puncak ketakutan. Sementara pasukan Muslim yang memang menginginkan mati syahid, begitu berani maju menyerbu tentara Konstantinopel.
Tentara Islam akhirnya berhasil menembus kota Kostantinopel melalui Pintu Edirne. Mereka telah berhasil mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyah di puncak kota. Adalah seorang tentara muda bernama Ulubatli Hasan yang pertama menancapkan bendera Daulah Usmaniyah pada tanah Byzantine.
Constantine XI Paleologus yang melihat kejadian itu, melepas baju kerajaannya dan maju bertempur bersama pasukannya, hingga tewas menjadi martir, namun tak pernah ditemukan jasadnya.
Panglima Giustiniani sendiri melarikan diri meninggalkan kota dengan pasukan Genoanya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.
Berita kematian Costantine telah menaikkan lagi semangat tentara Islam untuk terus menyerang. Namun sebaliknya, bagaikan pohon tercabut akar, tentara Kostantinopel menjadi tercerai berai mendengar berita kematian Rajanya.
Konstantinopel Dibebaskan
Tepat pada hari Selasa siang tanggal 20 Jumadil Awal 857 H. Konstantinopel jatuh dan berhasil ditaklukkan oleh pasukan Muslim. Sultan Muhammad Al-Fatih kemudian turun dari kudanya dan memberi penghargaan kepada para pasukan dengan ucapannya “Masya-Allah, kalian telah menjadi orang-orang yang mampu menaklukkan Kostantinopel yang telah Rasulullah kabarkan.”
Kemudian Al-Fatih pun sujud kepada Allah di atas tanah Konstantinopel, sebagai ungkapan syukur dan pujian serta bentuk kerendahan hati dihadapan-Nya.
Selepas itu, Sultan Muhammad II atau Al-Fatih meminta supaya gereja, yang tadinya memang adalah masjid, agar berkenan ditukar kembali menjadi masjid. Agar hari Jum’at pertama nanti bisa melaksanakan shalat Jumat berjama’ah di masjid itu.
Sementara gereja lainnya tetap dibiarkan berdiri seperti biasa. Para pasukan pun menanggalkan salib, patung dan menutupi gambar-gambar yang ada agar tidak mengganggu kekhusyu’an shalat.
Pada hari Jumat itu, Sultan Muhammad II Al-Fatih bersama kaum Muslimin mendirikan shalat Jum’at pertama di Masjid Aya Sofya.
Khutbah yang pertama di Aya Sofya itu disampaikan oleh guru Al-Fatih, Syaikh Aaq Syamsuddin. Nama Kostantinopel pun kemudian diganti oleh Al-Fatuh menjadi Islam Bol atau Islambul (kini Istanbul), yang berarti “Kota Islam”. Kemudian Istanbul dijadikan sebagai ibu kota ketiga Khilafah Utsmaniyyah, setelah Bursa dan Edirne.
Atas jasanya Sultan Muhammad II itulah Sultan kemudian diberi gelar Al-Fatih, artinya Sang Pembebas. Sehingga beliau sering dipanggil dengan Sultan Muhammad Al-Fatih. Pertempuran merebutkan kota Konstantinopel tersebut secara keseluruhan berlangsung dari tanggal 26 Rabiul Awal 857 H. sampai dengan 20 Jumadil Awal 857 H. atau bertepatan dengan 6 April sampai dengan 29 Mei 1453 M. ٍSehingga dikenal juga dengan Al-Fatuh atau Fetih 1453. Allahu Akbar!!!
Begitulah, benar apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sekitar 825 sebelum Al-Fatih mewujudkannya. Dialah Al-Fatih panglima terbaik pembebas Konstantinopel, dan pasukannya pun adalah pasukan terbaik. Ini sesuai dengan janji Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad).
Kaum Muslimin kini dapat menyaksikan perjuangan itu dalam film Fetih 1453, atau langsung ke Museum Istanbul, Turki, untuk menyaksikan film diorama tiga dimensi Al-Fatih. Dari berbagai sumber (T/ima/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)