Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muhammad Ali, Kebanggaan Muslim Amerika untuk Perdamaian

Ali Farkhan Tsani - Selasa, 7 Juni 2016 - 09:13 WIB

Selasa, 7 Juni 2016 - 09:13 WIB

815 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Tidak ada masyarakat dunia yang kehilangan paling hebat dari seorang Muhammad Ali lebih dari Muslim Amerika. Muhammad Ali yang meninggal pada Jumat, 3 Juni 2016, dalam usia 74 tahun, di kota Phoenix, Arizona, Amerika Serikat karena penyakit pernapasan Parkinson akut, adalah lebih dari seorang tokoh olahraga dunia, petunju legendaris, juara dunia sejati. Namun dia juga adalah sumber kebanggaan bagi banyak Muslim Amerika untuk begitu banyak alasan yang berbeda.

Dalam pandangan penulis dan komedian politik Dean Obeidallah, yang memiliki kesempatan untuk bertemu Muhammad Ali pada acara tahunan Arab American Institute tahun 2004. Bahwa almarhum sosok yang inspiratif dan humoris.

Saat itu, “Si Mulut Besar” yang bisa “melayang seperti kupu-kupu, dan menyengat seperti lebah,” menyebut, pemilik nama asli Cassius Marcellus Clay Jr (lahir di Louisville, Kentucky AS, 17 Januari 1942) setelah memeluk agama Islam, ia merasa seolah-olah umat Islam di seluruh dunia telah menjadi saudara-saudaranya.

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Juara dunia tinju tiga kali itu memulai perjalanan spiritual dengan Islam pada tahun 1964. Sebelumnya, Ali diajak temannya Sam Saxon, pertama kali datang ke lingkungan Nation of Islam (NOI) pada tahun 1959 di Chicago, di sela-sela turnamen tinju Golden. Kunjungan itu pun berlanjut, dan Ali menghadiri pertemuan pertamanya dengan beberapa tokoh Muslim NOI pada tahun 1961.

Tahun berikutnya, Sam Saxon memperkenalkannya dengan Malcolm X. hingga kemudian Ali dan Malcolm X menjadi teman akrab.

Data Wiki menyebutkan, Malcolm X (19 Mei 1925-21 Februari 1965, meninggal dalam usia 39 tahun) lahir dengan nama Malcolm Little. Nama Muslimnya adalah El-Hajj Malik El-Shabazz.

Ia adalah seorang Muslim Afrika-Amerika dan aktivis Hak Asasi Manusia. Ia adalah seorang yang berani memperjuangkan hak-hak kulit hitam. Para penentangnya menuduhnya mengajarkan rasialisme dan kekerasan. Ia dikenang sebagai salah satu orang Afrika-Amerika terhebat dan paling berpengaruh dalam sejarah Amerika.

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Malcolm X juga adalah salah satu penonton utama di ringside ketika Ali mengalahkan Sonny Liston dengan TKO ronde ke-7 dari 15 ronde, pada 25 Februari 1964, yang mengantarkannya menjadi juara dunia kelas berat. Sebelumnya Ali meraih media emas kelas berat ringan dalam Olimpiade 1960 di Roma Italia.

Rupanya ada pengaruh kuat dari NOI dan utamanya Malcolm X terhadap dirinya. Dan ada kekuatan tambahan hingga ia mampu menjadi juara dunia. Sejak menjadi juara dunia tinju kelas berat inilah, ia pun mengganti namanya dengan Muhammad Ali.

Soal pergantian nama ini. Ali awalnya membuang nama terakhirnya, Clay. Sebab Clay adalah nama budaknya, karena sebagian besar orang Afrika-Amerika menerima nama keluarga mereka dari mantan majikan budak mereka.

Ia pun menambahkan namanya dengan Cassius X. terinspirasi dari guru agamanya Malcolm X. Guru agamanya yang lebih senior, Elijah Muhammad (sebelum Muslim namanya Elijah Robert Poole), seorang pemimpin agama Islam Afrika-Amerika, yang juga penggerak Nation of Islam (NOI) memberinya nama Muhammad Ali.

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Elijah Muhammad bukan hanya guru dan penasihat agama Islam bagi Muhammad Ali. Namun juga mentor spiritual utama bagi Malcolm X, Louis Farrakhan (Pemimpin NOI), dan puteranya sendiri Warith Deen Muhammad bin Ellijah Muhammad. Warith Deen adalah pemikir Islam progresif Amerika Serikat.

EMuhammed Ali hajira berikutnya, tahun 1975, Ali meninggalkan NOI dan lebih memilih menjadi bagian dari Islam Sunni. Pada tahun 1989, Ali pergi haji ke tanah suci Mekah Al-Mukarramah, memenuhi salah satu dari lima rukun Islam. Dan pada tahun 2005, menurut puterinya, ayahnya mengikuti Sufi Islam, yang dianggap lebih spiritual dalam iman.

Adapun di ligkungan keluarganya, ayah Ali, Cassius Clay Sr, adalah seorang Methodist, tapi dia membiarkan isterinya, Odessa O’Grady Clay, seorang Kristen yang taat, mengangkat anak-anak mereka Cassius Jr (Muhammad Ali) dan Rudolph “Rudy,” sebagai Baptis (Kristen). Bahkan setelah Ali masuk Islam, hubungan itu masih terjaga, walau sang ibu masih tetap memegang keyakinannya sebagai Kristen.

Ajaran-ajaran kasih sayang ia terima dari ibunya. Katanya, “Ibu saya selalu mengajariku akan kebaikan hingga aku tumbuh dewasa. Dia mengajari saya tentang cara berpikir yang benar, mengasihi orang-orang dan memperlakukan semua orang dengan kebaikan”.

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

Termasuk ketika Muhammad Ali memutuskan untuk berpindah ke agama Islam yang ia yakini. Sang ibu tetap memberinya semangat bertanding dan selalu mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk dan membuang segala kebencian.

Sehingga Ali pun semakin yakin dengan Islam tanpa memandang kebencian umat dari agama lain, termasuk ibunya, motivator utamanya saat merintis kariernya di atas ring.

Kebanggaan Muslim Amerika

Da’i Muslim kelahiran Indonesia dan sekarang aktif di komunitas Muslim berbasis New York City, Imam Shamsi Ali menyatakan duka citanya.

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

Muhammad Ali adalah pahlawan kami dan kebanggaan kami. Ia bukan hanya sosok juara tinju, tetapi juga pahlawan keadilan sosial dan kesetaraan manusia,” ujar Shamsi Ali.

Anggota Kongres AS Andre Carson pun turut berkomentar bahwa “Muhammad Ali menjabat sebagai contoh layanan dan pengorbanan diri bagi generasi Muslim Amerika.”

Lainnya seperti komedian dan aktivis Maysoon Zayid, yang juga mengagumi Muhammad Ali yang meninggal karena menderita Parkinson, mengatakan, “Muhammad Ali adalah panutan pertama saya. Dia adalah seorang juara tinju dunia dan seorang Muslim, yang membuat saya mencintainya lebih lagi.”

Kesaksian Muslim Afrika-Amerika menyebut Ali dalam kariernya menawarkan hubungan yang baik dari segi iman dan ras. Kameelah Rashad, seorang ustadz di Universitas Pennsylvania mengatakan, “Sebagai keturunan Afrika yang diperbudak, orang besar seperti Muhammad Ali mengingatkan kita pada ketahanan abadi, iman dan kegembiraan nenek moyang kita.”

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Lainnya, Margari Aziza, pendiri Muslim Anti-Rasisme Collaborative, belajar tentang iman dan Islam dari Muhammad Ali, sekaligus belajar lebih lanjut tentang identitas kulit hitam.

Aziza menyebut bahwa untuk memiliki sebuah tokoh sentral dalam sejarah olahraga Amerika, orang dulu menjadi malu-malu dengan kulit hitam plus Muslim lagi. Namun, Ali memberi banyak arti bagi semua.

Dia menambahkan, prestasi Muhammad Ali di tingkat dunia membantu orang-orang Amerika untuk lebih terbiasa dengan nama Muhammad. Aziza mencatat bahwa faktanya memang nama Muhammad saat itu tidak begitu dikenal di kalangan anak-anak Amerika.

Muslim Amerika lainnya, Dawud Walid, seorang veteran AS Navy memuji Ali atas keberaniannya pada tahun 1967 untuk menolak wajib militer di Perang Vietnam. Akibatnya, gelar kelas berat dunia Muhammad Ali dicopot dan ia pun dituntut pidana. Hingga dalam kurun tiga tahun ia pun mendekam di sel penjara, sementara mengorbankan karier bertarungnya di atas ring.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Saat itu pula Komisi Tinju Dunia di The New York menangguhkan lisensi Muhammad Ali dan menanggalkan gelar kelas beratnya. Komisi tinju dunia lainnya melakukan hal yang sama, dan Muhammad Ali tidak bertarung lagi lagi sampai tahun 1970.

Namun, justru Walid menyebut langkah ksatria itu disebut sebagai “berdiri untuk prinsip-prinsip agama yang ketika itu sangat tidak populer selama era Perang Vietnam”. Tapi justru secara harfiah Ali telah mengorbankan gelar tinju dan kekayaan untuk menentang “pertumpahan darah yang tidak adil.”

Mengenai penolakannya untuk tidak ikut dalam perang yang disebut dengan Draft Angkatan darat AS untuk ‘Christian Wars’ tahun 1966, Muhammad Ali masuk dalam kategori klasifikasi 1-A, yang membuatnya memenuhi syarat dalam draft.

Pada tanggal 28 April 1967, hari persiapan pemberangkatan personil disiagakan. Namun Muhammad Ali menolak untuk masuk dalam daftar ketika namanya tercantum. Hingga ia pun menerima hukuman lima tahun penjara dan denda 10.000 dolar AS.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Muhammad Ali yang kala itu baru tiga tahun sebagai Muslim mengambil sikap berani “menentang” keputusan pemerintahnya.

Dalam pembelaannya dalam sidang banding kasusnya di Mahkamah Agung AS, yang membuatnya keluar dari penjara dua tahun lebih cepat dari masa tahanan. Ali menjelaskan alasannya yang begitu menggugah sisi kemanusiaan siapapun, baik hakim, jaksa, maupun pemerintah sendiri.

Muhammad Ali mengatakan, “Hati nurani saya tidak akan membiarkan saya pergi menembak saudara saya sendiri sesama manusia. Walau saya berada di belakang bangsa Amerika yang kuat lagi besar. Lalu saya menembak mereka untuk apa? Mereka tidak pernah mengatakan saya sebagai negro, mereka tidak pernah akan menggantung saya, mereka juga tidak mengatakan anjing kepada saya. Mereka tidak merampok saya dan kebangsaan saya. Mereka juga tidak memperkosa atau membunuh ibu saya dan ayah saya. Lalu, menembak mereka untuk apa? Bagaimana saya bisa menembak orang-orang miskin?” ujar pembelaan Muhammad Ali, yang tidak mampu dibantah oleh siapapun.

Komentar sama dikemukakan Salam Al-Marayati, Presiden Dewan Muslim Public Affairs AS yang menyebut bahwa Muhammad Ali adalah “Pahlawan yang tidak hanya ditunjukkan di ring tinju, tapi juga terlihat saat berdiri melawan Perang Vietnam.”

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

“Ia adalah pahlawan Saya dan akan selalu saya ingat. Ia sungguh adalah Muslim Amerika yang menjadi teladan untuk semua orang Amerika.”

allah greatsTokoh yang Menginspirasi

Koresponden Asing NBC News, Ayman Mohyeldin, yang lahir dan dibesarkan di Mesir menjelaskan bahwa sebelum dirinya pindah kerja dari Mesir ke AS, ia selalu terinspirasi oleh petunju legendaris Muhammad Ali.

Baginya, ia bisa menyesuaikan diri dan tumbuh di Amerika banyak terinspirasi oleh pernyataan-pernyataan Muhammad Ali sepanjang hidupnya.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Muhammad Ali telah mengingatkan kita semua akan kekuatan dari keyakinan berjuang, meskipun harus menghadapi kebencian dan begitu banyak kesalahpahaman dan tantangan,” ujarnya.

Termasuk menurutnya, dalam tragedi dan teror 9/11, Ali ikut terlihat dalam memerangi fanatisme anti-Muslim. sebulan kemudian pun, bulan Desember Ali merilis pernyataan menentang larangan yang diusulkan Donald Trump, tentang umat Islam memasuki Amerika Serikat.

Ia menambahkan, Ali telah mampu memberikan pernyataan dan lain-lain seperti itu dengan bakat yang unik dan karisma. Dan itu mempunyai dampak yang besar dalam melawan kesalahpahaman tentang Muslim.

Bahkan, dalam bukunya tahun 2005, “The Soul of a Butterfly,” Ali mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi “Muslim Billy Graham”. Billy Graham adalah penginjil terkemuka di AS. Artinya seruannya ingin diterima juga oleh warga Kristen juga. Namun penyakit Parkinsonnya membuatnya tidak mungkin mewujudkan cita-citanya.

“Namun, Muhammad Ali sudah bisa menggapai asanya dalam hal membangun jembatan antara Muslim Amerika dan seluruh bangsa kita, setelah menggantung sarung tangannya,” ujar Ayman Mohyeldin.

Warga Amerika khususnya dan dunia umumnya menyebut Muhammad Ali memang benar-benar petunju terbesar di atas ring. Namun juga dia besar sebagai Muslim yang mengisnpirasi dunia. Ia bukan sekadar petinju tapi juga adalah saudara kita.

Utusan Perdamaian

Sambil menahan diri dan perawatan sakit Parkinson-nya, usai gantung sarung tinju Muhammad Ali  Pada tahun 1990, ia bertemu dengan Presiden Irak Saddam Hussein untuk membantu menengahi kasus invasi Kuwait. Pada tahun 2011, ia juga diutus ke Iran untuk melepaskan pejalan kaki AS yang ditangkap di negeri para mullah itu.

Pada bulan November 2002, ia pun bertemu dengan Presiden Afghanistan kala itu Hamid Karzai di Kabul pada misi tiga hari sebagai “Utusan Perdamaian” bagi PBB.

Muhammad Ali juga pernah berkunjung ke Indonesia pada 23 Oktober 1996 dan bertemu beberapa pejabat tinggi.

Komentar singkatnya tentang Indonesia, “Sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun,” ujar Ali.

Muhammad Ali pun ikut berbicara menentang ekstremis yang dituduhkan kepada Islam dalam serangan teroris pada 11 September 2001 di negaranya. Pada hari yang sama, dalam sebuah wawancara oleh Howard Bingham, mantan manajer public relations-nya, Ali menyatakan reaksinya.

“Membunuh seperti itu tidak pernah bisa dibenarkan dalam Islam. Saya sendiri tidak akan pernah bisa mendukung menyakiti orang yang tak bersalah, perempuan dan anak-anak. Islam adalah agama damai. Tidak mempromosikan terorisme atau membunuh orang”, ujar Ali dengan tegas kala itu.

Ali melanjutnya statemennya bahwa orang-orang menuduh Muslim yang melakukan serangan itu. “Saya marah karena dunia melihat kelompok tertentu pengikut Islam yang dituduh menyebabkan kerusakan ini. Lalu mereka mendeskreditkan Islam keseluruhan. Tetapi mereka pelaku serangan bukan Muslim yang sebenarnya,” katanya.

Termasuk pernyataanya saat terjadi serangan di San Bernardino, Paris tahun 2015 lalu.

“Saya seorang Muslim dan tidak ada ajaran Islam membunuh orang yang tidak bersalah seperti di San Bernardino, Paris, atau di mana pun di dunia ini. Muslim sejati tahu bahwa kekerasan kejam yang disebut Jihadis Islam sangat bertentangan dengan ajaran mulia agama kita,” urainya.

Menurut Muhammad Ali, sebagai umat Islam harusnya berdiri menentang untuk mereka yang menggunakan Islam atas agenda kepentingan politik tertentu.

Demikian pulan dukungan Muhammad Ali semasa hidupnya terhadap perjuangan kemanusiaan Palestina dalam melawan penjajah Ziois Israel. Ini ia lakukan pada tahun 1985, saat Ali melakukan perjalanan ke Israel dalam upaya untuk menjamin pembebasan tahanan Lebanon dan Palestina di penjara-penjara di tanah yang diduduki Israel.

Saat mengunjungi kamp-kamp pengungsi Palestina di Lebanon Selatan, itulah ia menyatakan, “Atas nama saya dan nama semua Muslim di Amerika, saya menyatakan dukungan bagi perjuangan Palestina untuk membebaskan tanah air mereka dan mengusir penjajah Zionis. ”

aliAkhir Hayat

Muhammad Ali, juara tinju kelas berat tiga kali (1964, 1974, 1978, dengan prestasi 61 main, 56 menang, 37 di antaranya menang KO, dan 5 kalah), telah menghabiskan 15 tahun sebagai seorang Muslim kulit hitam. Ia telah memberi warna dan arti akan persaudaraan dan kesamaan kemanusiaan tanpa memandang warna kulit, bangsa, ras dan agama.

Menurut puterinya, Hana Yasmeen Ali, ayahnya di akhir-akhir hayatnya memang sering mengikuti sufi Islam dan berguru pada pengikut Hazrat Inayat Khan (meninggal 1927). Hazrat Khan, sebelumnya musisi terkemuka India, yang banyak melakukan perjalanan ke dunia Barat semasa hidupnya. Ajaran utamanya adalah memngembangkan pesan kebersamaan dan kasih sayang. Kini berkembang termasuk di Amerika dengan nama “International of The Sufi Movement”.

Selain itu, ayahnya juga aktif dalam kegiatan amal sosial kemanusiaan. “Namun memang faktor kesehatan ayah telah banyak berubah, sehingga tidak memungkinkan aktivitas lebih banyak lagi. Ayah hanya ingin membuat orang lain bahagia, dan ingin melakukan kegatan yang dapat mendukung orang bahagia,” kenang Hana, puterinya.

Memang sejak 2014, ayahnya secara rutin dirawat di rumah sakit karena parkonsin yang sudah lama diseritanya, serta ada pneumonia (radang paru-paru) ringan. Berikutnya, tahun 2015 ayahnya kembali dirawat karena ada tambahan penyakit infeksi saluran kemih.

Sehari sebelum meninggal, pada Kamis 2 Juni 2016, Muhammad Ali sempat dibawa ke rumah sakit karena masalah pernapasan. Saat itu kondisi kesehatannya masih dinyatakan stabil. Namun hari berikutnya, kondisinya memburuk. Kondisinya tidak kunjung membaik, hingga akhirnya pada Jumat 3 Juni 2016 Muhammad Ali menhembuskan nafas terakhirnya. “Innaalillaahi wainnaa ilaihi rooji’uun”. (Sesungguhnya kita semua milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya).

Rasa kehilangan bukan hanya bagi keluarganya, tapi orang lain di seberang benua sana, termasuk bagi Khaled Almaeena, Editor Terkemuka Arab Saudi. Khaled mengatakan bahwa petinju legendari dunia Muhammad Ali merupakan sosok dai Muslim untuk misi kemanusiaan global.

“Ia bukan sekedar juara dunia sejati, tapi telah menjadi dai Muslim, ikon global kemanusiaan dan jembatan internasional antara budaya dan kelas,” ujar Khaled pada Al-Arabiyyah, Ahad (5/6/2016), dua hari setelah mendengar berita wafatnya Muhammad Ali.

Khaled menambahkan, Ali memang memiliki kelas sendiri sebagai tokoh panutan dunia bagi generasi muda.  “Dia milik semua orang yang bermimpi memperbaiki kehidupan mereka dengan kemerdekaan,” ujarnya

Bahkan seorang Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Muhammad Ali, langsung melalui saluran telepon pada Sabtu (4/6/2016).

Presiden Erdogan menyampaikan kesedihannya yang terdalam dan mengharapkan berkah Allah atas almarhum Muhammad Ali.

Muhammad Ali memiliki tempat yang luar biasa di antara bangsa Turki dan Muslim,” ujar Erdogan dalam pembicaraannya.

Keluarga almarhum Muhammad Ali pun mengucapkan terima kasih kepada Presiden Turki atas teleponnya.

Semasa hidupya Muhammad  Ali pernah menikah dengan Sonji Roi tahun 1964. Tapi pernikahannya hanya berlangsung dua tahun, sebab keputusan Ali untuk memeluk agama Islam ternyata tidak disetujui sang isteri. Keduanya terpaksa berpisah tahun 1966.

 

Ali kemudian menikah dengan wanita bernama Belinda Boyd (Khalilah Ali) tahun 1967. Dari pernikahan ini memiliki empat anak, yaitu: Maryum, si kembar Jamilah dan Rasheda serta Muhammad Ali Jr.  Namun pernikahannya juga berujung pada perpisahan tahun 1977.

Ia tahun itu pula kemudian menikah dengan Veronica Porche Anderson (Veronica Ali). Dari pasangan ini terlahir dua puteri: Hanna Ali dan Laila Ali. Laila Ali mewarisi bakat ayahnya, menjadi petinju, dan meraih gelar juara dunia tinju wanita. Dengan Veronica pun berujung pada perceraian tahun 1986.

Tidak lama setelah perpisahan itu, tahun 1986 pula Ali menikahi wanita Yolanda Williams (Lonnie Ali), yang mendampinginya hingga akhir hayatnya. Lonnie merupakan teman baik Ali semasa kecil saat di Louisville, kampungnya. Dari pernikahan itu, Ali dikaruniai seorang putera bernama Asaad Amin, dan mengadopsi seorang anak ketika Amin berusia lima bulan.

Begitu mendengar kematian Muhammad Ali, mantan isterinya Veronica mengaku sangat bersedih atas kepergian cinta sejatinya itu. “Sedih sekali. Saya bersamanya selama sepuluh tahun lebih. Dialah cinta sejati saya,” katanya.

Ia mengaku, terus mengikuti perkembangan kesehatan mantan suaminya tersebut. Bahkan ia sampai jarang tidur di hari-hari menjelang wafatnya Ali. Walaupun dirinya tak pernah berbicara lagi dengan Ali sejak sakitnya, karena memang Ali tak bisa berkomunikasi dan bicara karena penyakit yang menyerang sarafnya itu.

Selamat jalan saudaraku Muhammad Ali yang semasa hidupnya telah berjuang untuk kemanusiaan. Semoga Allah berkenan mengampuni kesalahan-kesalahanmu, menerima segala amal baikmu dan menempatkanmu di tempat terhormat di sisi-Nya. Aamiin. (P4/R03)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Amerika
Eropa
Feature
Amerika