Bogor, MINA – Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Al-Ittihadiyah di Bogor, Jawa Barat pada 26-27 Januari 2018, menghasilkan beberapa pernyataan sikap dan rekomendasi.
Ketua Pimpinan Pusat Al Ittihadiyah, Lukman Hakim, mengatakan, mencermati perkembangan dinamika keagamaan, pendidikan, politik dan kemasyarakatan setelah melakukan pengkajian dan pembahasan dalam Mukernas, menyampaikan beberapa pernyataan sikap dan rekomendasi sebagai berikut:
Peran Agama harus lebih dikedepankan Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pemerintah perlu melakukan kebijakan alternatif dengan segera membuat UU tentang Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan sebagaimana termuat dalam Ketetapan DPR RI Nomor 7/DPR-RI/II/2016 -2017 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2017 nomor urut 43. Regulasi tersebut perlu mengatur peningkatan mutu pesantren dan lembaga pendidikan agama agar dapat berperan lebih aktif dalam menangkal ekstremisme dan radikalisme.
Baca Juga: AWG Gelar Webinar Menulis tentang Baitul Maqdis
Perlunya dilakukan revisi dan revitalisasi UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memungkinkan upaya peningkatan mutu guru tidak dihambat oleh UU Otonomi Daerah.
Pemerintah perlu menindaklanjuti Perpres No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui kebijakan operasional dan anggaran di sekolah dan madrasah tanpa membeda-bedakan sekolah negeri dan swasta.
Pemerintah perlu memperkuat materi pendidikan keahlian/kejuruan (vocational) pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD/Ibtidaiyah, SMP/tsanawiah, SMA/Aliyah dan Universitas/Akademi/Politeknik, sehingga setiap lulusannya memiliki potensi keahlian dan bakat pada setiap anak siswa/mahasiswa sehingga menjadi tenaga siap pakai (tidak lagi sekedar siap tahu) di bidangnya sesuai dengan daya inovasi dan daya kreasinya untuk bisa membangun usaha dan menciptakan lapangan kerja.
Penolakan terhadap Pengajuan Revisi RUU Penodaan dan Penistaan Agama (PNPS)
Baca Juga: 30 WNI dari Suriah Kembali Dievakuasi ke Indonesia
Jika Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia karena merasa kemurnian ajaran agamanya terganggu. Akibat selanjutnya adalah bisa muncul tindakan anarkis sebagai reaksi dari umat beragama yang protes jika agamanya diganggu. Oleh karena itu, DPP Al Ittihadiyah tetap konsisten untuk:
- Menolak dicabutnya UU PNPS tahun 1965 yang akan dilakukan oleh Presiden RI
- Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan YME, Agama merupakan hak dasar manusia. Karena itu harus dilindungi oleh negara, karena itu diperlukan perangkat hukum untuk mengaturnya.
- Pemerintah harus melaksanakan dan konsisten menjalankan UU PNPS 1965 dengan tegas.
- Mengajak umat beragama dan seluruh masyarakat bersatu menolak dicabutnya UU PNPS 1965 karena akan menimbulkan konflik sosial dan agama.
Menolak Aliran Kepercayaan Disejajarkan dengan Agama dan masuk ke dalam kolom identitas dalam KTP
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai aliran kepercayaan agar masuk dalam kolom agama di KTP sebagai identitas adalah hal yang menyalahi kesepakatan. Negara ini diatur melalui kesepakatan, kita sepakat untuk membentuk NKRI, munculnya Pancasila dan UUD 1945 serta berbagai kesepakatan lain seperti solusi-solusi kebangsaan.
Fenomena LGBT harus ditolak karena merupakan penyimpangan kemanusiaan dan bertentangan dengan ajaran Agama Islam yang hak
Baca Juga: Banjir di Makasar Rendam Rumah Dinas Gubernur dan Kapolda
Masyarakat Indonesia menganggap bahwa LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) adalah kaum yang menyimpang dan kaum berdosa yang tidak termaafkan, karena perbuatan ini selain merusak norma kehidupan juga melanggar aturan norma atau nilai-nilai agama, budaya dan UU dan bertentangan dengan falsafah Pancasila yang selama ini masih tidak diperbolehkan di Indonesia
Oleh karena itu, diharapkan dengan terbitnya RUU RKUHAP tahun 2018 terkait LGBT, bisa memberikan kekuatan hukum bagi kegiatan LGBT di Indonesia agar dilarang, tidak berkembang dan tidak lagi ada di Indonesia. Negara atau pemerintah berhak melarang dan menindak secara hukum kegiatan LGBT di Indonesia ini dalam membina para korban untuk dikembalikan lagi kepada fitrahnya sebagai manusia biasa dengan sentuhan kasih sayang dan kemanusiaan.
Perlu Adanya Perbaikan Dalam Proses Rekrutmen dan Kaderisasi Kepemimpinan Nasional
Indonesia sejak menyatakan diri Merdeka 72 tahun yang lalu, dan telah dipimpin oleh 9 ( sembilan ) orang Presiden masih sangat jauh dari cita-cita Founding Fathers yaitu bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera rohani dan jasmani, yang seluruh masyarakatnya hidup dalam tatanan dan aturan keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa yang bebas dari bentuk penjajahan, kebodohan dan kemiskinan , atau dalam bahasa islami “ baldatun thoyibatun wa robbun ghofur”.
Baca Juga: Angkatan Kedua, Sebanyak 30 WNI dari Suriah Kembali ke Tanah Air
Oleh karena itu, disarankan kepada para Pimpinan Partai Politik dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan bekerja secara bersama dan sinergis, untuk merumuskan kembali sistem kepemimpinan nasional yang dapat melahirkan negarawan-negarawan yang handal, yang benar, adil, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri dengan menghalalkan segala cara dalam dalam bekerja untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah SWT, tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, kepentingan keluarga dan kelompok/partai politik sendiri. Dan menyaring dan menampilkan kader-kader pemimpin yang handal dan unggul tidak korupsi, kolusi dan nepotisme dalam bekerja.
Perlu Segera Dilaksanakan Reforma Agraria yaitu kembali kepada UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 dan Tap MPR No. 9 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaaan Pembaruan Agraria Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Dalam rangka pemerataan ekonomi dan menegakkan Keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, Al Ittihadiyah melihat persoalan ketimpangan telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan nasional. Kekayaan dimonopoli segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, dan obligasi pemerintah.
Oleh karena itu, Pemerintah dan semua pihak (Ormas, Organisasi Masyarakat Sipil, Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian) secara bersama perlu mengawal agenda pembaruan agraria, tidak terbatas pada program sertifikasi tanah, tetapi redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani.
Baca Juga: Antisipasi Macet saat Nataru, Truk Barang akan Dibatasi Mulai 21 Desember
Agenda pembaruan agraria selama ini tidak berjalan baik karena Pemerintah tidak punya komitmen kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara. Pemerintah perlu segera melaksanakan program pembaruan agraria meliputi: a. Pembatasan penguasaan tanah/hutan; b. Pembatasan kepemilikan tanah/hutan; c. Pembatasan masa pengelolaan tanah/lahan; d. Redistribusi tanah/hutan dan lahan terlantar; e. Pemanfaatan tanah/hutan dan lahan terlantar untuk kemakmuran rakyat;
Target reforma agraria baik redistribusi aset ataupun pemberian akses terhadap Sumberdaya Alam (Hutan) dan lahan harus benar benar sampai kepada masyarakat lokal atau masyarakat yang benar-benar membutuhkannya. Dan karena masyarakat tidak memiliki modal berupa biaya, maka sebaiknya diberikan bantuan berupa subsidi dalam proses fasilitasi untuk mendapatkan hak-haknya sehingga benar-benar dapat meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Perlu Dilakukan Penguatan Peran Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi dan Penataan Dunia Riset Sebagai Pemandu Dalam Pembuatan Kebijakan Pembangunan Nasional
Dalam memajukan iptek dan dunia riset nasional, perlu dilakukan reformasi kelembagaan riset dan program penelitian IPTEK Nasional yang dapat memmberikan ruang gerak yang luas dan leluasa bagi kerja para ilmuwan dan peneliti Indonesia yang langsung melekat pada lembaga Kepemimpinan Nasional,
Baca Juga: Kota Semarang Raih Juara I Anugerah Bangga Berwisata Tingkat Nasional
Kepemimpinan Propinsi dan Kepemimpinan di Tingkat Kabupaten/Kota yang dapat menjembatani antara kelembagaan negara dengan pengguna hasil riset baik dunia usaha, kelompok profesi, dan kelompok masyarakat. Peneliti harus dikeluarkan dari kurung birokrasi yang kaku dan statis, bahkan birokrasi relatif lambat dalam mengantisipasi perubahan, sementara peneliti adalah aktor dalam perubahan, sehingga kalau peneliti dikurung dibirokrasi, bisa seperti tikus mati di lumbung padi. Demikian pernyataan dan rekomendasi yang ditandatangani oleh Ketua Umum Al Ittihadiyah masa khidmat 2016-2021 Lukmanul Hakim. (L-R03/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Banjir Rob Jakarta Utara Sebabkan 19 Perjalanan KRL Jakarta Kota-Priok Dibatalkan