Naypyidaw, 15 Rabi’ul Akhir 1436/6 Februari 2015 (MINA) – Myanmar mengecam pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menggunakan istilah Rohingya untuk menyebut masyarakat minoritas teraniaya di negara itu, sebab negara tersebut menggunakan istilah Bengali pada warga yang disebut Rophingya itu, yang berarti mereka adalah imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh.
Sebagian besar dari 1,1 juta Muslim Rohingya adalah etnis Myanmar tanpa kewarganegaraan dan hidup dalam kondisi apartheid seperti di negara bagian Rakhine di barat mayoritas Buddha.
Pemerintah Myanmar melaksanakan proses verifikasi kewarganegaraan yang mengharuskan warga Rohingya mendaftarkan identitas mereka sebagai Bengali, sehingga menimbulkan permasalahan antara kedua fihak, demikian World Bulletin yang diberitakan Mi’raj Islamic News Agency (MINA). Kamis.
Pelapor Khusus PBB tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar, Yang hee Lee, mengatakan, kondisi buruk di kamp pengungsian di mana hampir 140.000 warga Rohingya tetap menjadi mengungsi akibat bentrokan dengan etnis Rakhine Buddha pada 2012.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Persoalan kontroversi istilah Rohingya dan Bengali adalah kontra produktif, Lee mengatakan dalam pernyataan 16 Januari. Dia mendesak untuk “fokus pada mengatasi kebutuhan kemanusiaan dan jaminan Hak Asasi Manusia yang sangat mendesak”.
Kementerian Luar Negeri Myanmar, Rabu mengecam pernyataan Lee dalam siaran pers yang diterbitkan suratkabar Global New Light of Myanmar.
“Penggunaan istilah Rohingya oleh PBB pasti akan menarik kebencian yang besar dari rakyat Myanmar, sehingga membuat upaya pemerintah menangani masalah ini, jadi lebih sulit,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Myanmar. (T/P002/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi