Nasehat Singkat Sarat Makna

 

Oleh: Zaenal Muttaqin

Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan agung, bagi para sahabatnya beliau sangat dihormati dan diharapkan -nasehatnya. Sehingga tidak sedikit para sahabat yang mendatangi beliau hanya untuk meminta nasehatnya.

Seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah bahwa Abu Ayyub Al Anshori Radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: ”Nasihatilah aku tapi yang singkat..!” dalam riwayat lain disebutkan: “Ajarilah aku dan persingkatlah!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, maka shalatlah seperti shalat orang yang berpamitan dan janganlah mengatakan sesuatu yang akan membuatmu beralasan darinya dan berputus asa-lah terhadap apa yang ada di tangan manusia.”

Nasehat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut benar-benar singkat, tetapi memiliki maknanya mendalam karena sangat terkait dengan kehidupan manusia. Ada tiga pokok nasehat tersebut dan ketiganya merupakan hal penting bagi kehidupan manusia.

Pertama, nasehat untuk menegakkan shalat dengan selalu menyempurnakannya. Kedua, nasehat agar senantiasa menjaga lisan. Ketiga, nasehat agar menjauhi sifat iri pada apa yang dimiliki orang lain.

Nasehat pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar dalam mengerjakan ibadah shalat dikerjakan sebaik-baiknya. Diibaratkan seakan shalatnya sebagai shalat perpisahan atau terakhir, sehingga hendaknya dikerjakan dengan sekhusyu’ dan sesempurna mungkin.

Hal itu penting, karena tidak sedikit di antara kita yang masih merasakan ibadah shalat tak ubahnya sebagai beban. Dalam pelaksnaannya seringkali sekedar untuk menggugurkan kewajiban semata, sehingga sering dikerjakan sesempatnya, atau bahkan mengulur-ngulur waktunya hingga menjelang batas akhir.

Tidak sedikit pula yang mengerjakan shalat secara terburu-buru dan tidak berusaha menyempurnakan gerakannya. Sehingga yang namanya tuma’ninah tak ada lagi, tak ubahnya seperti gerakan senam atau seperti ayam mematuk makanan.

Nasehat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  agar shalatnya seperti orang yang berpamitan, artinya bila seorang mengerjakan shalat hendaknya dengan mengingat sholatnya tersebut sebagai shalat terakhir dan merasa tidak akan pernah shalat lagi. Maka dengan begitu akan bersungguh-sunguh mengerjakannya, memperbagus pelaksanaannya dan melakukan ruku’, sujud atau kewajiban dan sunnah-sunnah shalat lainnya dengan seksama.

Nasehat tersebut harus selalu diingat, mengingat shalat orang yang berpamitan dan merasakan didalamnya inilah shalat yang terakhir, tidak ada lagi shalat setelahnya. Apabila merasakan hal itu, maka perasaan tersebut akan membawa perbaikan dalam pelaksanaan dan kesempurnaannya.

Shalat juga menjadi tolok ukur baik-baik buruknya seseorang, karenanya nanti shalat menjadi ukuran pula saat hisab di akherat, jika baik shalatnya maka baik pula amal yang lainnya, dan jika buruk shalatnya maka buruk pula amalan yang lainnya.

Siapa yang memperbagus shalatnya maka shalatnya  tersebut mengantarkannya kepada kebaikan dan menjauhkannya dari semua keburukan dan kehinaan. Hatinya akan dipenuhi keimanan, dan akan merasakan manisnya iman. Shalatnya akan menjadi penyejuk matanya, tempat istirahat, hiburan dan kebahagiannya.

Nasehat yang kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar menjaga lisan, berhati-hati dalam berbicara. Jauhi dan hindari perkataan yang dapat berakibat penyesalan di kemudian hari.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا

“Janganlah mengatakan suatu perkataan yang membuatmu meminta maaf darinya”.

Artinya, berhati-hatilah dan bersungguh-sungguhlah menjaga lisan dari setiap perkataan yang terucap. Agar tidak berakibat penyesalan atau bahkan harus meminta maaf kepada orang banyak atas apa yang telah diucapkannya. Ingatlah, bahwa perkataan itu sebelum dikeluarkan oleh mulut kita, maka itu adalah milik kita, tetapi jika telah kita ucapkan maka perkataan itu yang akan memiliki atau menguasai kita.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu:

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا نَبِيَّ الله! فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ الله! وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Maukah engkau aku beritahukan sesuatu (yang jika engkau laksanakan) dapat menguasai semua itu ? Saya berkata : Mau ya Rasulullah. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini. Saya berkata: Ya Nabi Allâh, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ? Beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkal di atas wajahnya atau di atas hidungnya di neraka selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka”. (Hadist riwayat Ahmad, no. 22016; At-Tirmidzi, no. 2616).

Dalam hadits lainnya juga disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فِينَا، فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ؛ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan mengingkari lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng”. (Hadist riwayat Ahmad, no. 11908; at-Tirmizi, no. 2407 dari hadist Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu).

Nasehat ini juga mengingatkan agar kita selalu mengintropeksi diri dari semua yang diucapkan dengan selalu mempertimbangkan apa yang akan diucapkan. Jika yakin ada kebaikan makan ucapkanlah, tetapi jika ada keburukannya maka sebaiknya menahannya. Atau jika ada keraguan apakah akan berdampak kebaikan atau keburukan, hendaknya dia menahan lisannya sebagai bentuk kehati-hatian dari perkara yang meragukan sampai menjadi jelas.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman pada Allâh dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam”. (Hadist riwayat al-Bukhari, no. 6018 dan Muslim, no. 47 dari hadis Abu Hurairah Radhiyallahu anhu).

Sayangnya, banyak diantara manusia yang tidak sadar telah menjerumuskan diri sendiri pada perkara yang besar, hanya disebabkan sebuah perkataannya yang dianggap remeh. Kemudian ucapannya itu mengakibatkan dampak buruk pada kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Orang yang berakal tentunya akan menimbang dan menjaga semua perkataannya dan tidak berkata kecuali sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan perkataan yang tidak berakibat untuk membuat alasan atau konfirmasi darinya.

Perlu diketahui, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam «بكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا» mengandung dua makna. Pertama, meminta maaf kepada Allah Azza wa Jalla, atau yang kedua, meminta maaf pada manusia langsung ketika mereka menuntut akibat dampak dari perkataan dan ucapan.

Hati-hati dalam menjaga lisan ini juga berarti pula hati-hati dalam membuat tulisan, mengingat saat ini menulis sebagai bentuk ungkapan pikiran maupun sebagai media untuk menyampaikan pada orang lain terus berkembang, baik melaui media sosial maupun media massa.

Nasehat ketiga, merupakan ajakan untuk memiliki sifat qona’ah, yakni menggantungkan hati dan harapan hanya pada Allah semata, dan tidak secuil pun berharap pada apa yang dimiliki oleh orang lain.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس

“… dan berputus asa lah terhadap apa yang ada di tangan manusia.”

Maksudnya, agar selalu meneguhkan hati, berazam dan bertekad untuk tidak berharap dari semua milik orang lain. Sehingga tidak berharap sesuatu dengan bersandar kepada mereka, tetapi berharaplah hanya pada Allah Azza wa Jalla semata.

Jika dengan perkataanmu, tidak meminta kecuali hanya pada Allâh Azza wa Jalla , begitu juga hendaknya dengan perbuatanmu tidak berharap kecuali hanya pada Allâh Azza wa Jalla saja.

Ketahuilah, orang yang tidak berharap sama sekali dari yang dimiliki orang lain, maka dia hidup tentram dan mulia. Sebaliknya, orang yang bergantung kepada milik orang lain, maka dia akan hidup gelisah dan terhina.

Barang siapa hatinya bergantung pada Allah Azza wa Jalla dengan tidak berharap, memenuhi kebutuhannya dan bertawakkal hanya kepada Allâh Azza wa Jalla, maka Allah Azza wa Jalla akan mencukupinya di dunia dan di akhirat.

Firman Allah Azza wa Jalla:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukan kah Allâh yang mencukupi hambanya”. (Az-Zumar/39 : 36).

 وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertawakal pada Allâh maka Dia akan mencukupinya”. (Ath-Thalâq/65:3).

Wallahu a’lam bis showaab. (B05/RI-1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Zaenal Muttaqin

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.