Tiga lampu yang baru dipasang tidak cukup menerangi reruntuhan rumah Jameela Begum (55) yang terbakar.
Dindingnya sangat hitam karena jelaga. Ini adalah tempat yang Jameela sebut rumah selama 18 tahun sebelum kekerasan agama di New Delhi India meletus pada Februari 2020 yang lalu.
Pada 23 Februari, lingkungan Jameela di timur laut Delhi dirusak oleh kekerasan terburuk yang disaksikan Ibu Kota dalam beberapa dekade, yang menewaskan sedikitnya 53 orang.
Kekerasan itu terjadi di tengah protes atas undang-undang kewarganegaraan baru yang kontroversial, yang menurut para kritikus melanggar konstitusi sekuler India dan ditujukan untuk semakin meminggirkan minoritas Muslim.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Lusinan orang, termasuk sejumlah besar Muslim, telah ditangkap karena kekerasan itu.
Mengungsi lagi karena pandemi
Setelah kerusuhan itu, keluarga Jameela yang beranggotakan delapan orang terpaksa pindah ke Edgah, sebuah kamp bantuan yang didirikan di lahan yang biasa dipakai untuk shalat Idul Fitri, bersama dengan 600 orang lainnya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Pada 24 Maret, Perdana Menteri India Narendra Modi mengumumkan penguncian nasional (lockdown) dan mendesak orang untuk tinggal di rumah guna mencegah penyebaran pandemi virus corona.
Tidak lama setelah pengumuman itu diberlakukan pada hari berikutnya, kamp bantuan Eidgah dibersihkan dan penduduknya diusir secara paksa.
“Pihak berwenang mengatakan, kami merasa terlalu nyaman. Dua hari terakhir di kamp, kami diberi tahu bahwa mereka tidak memiliki persediaan makanan penting untuk memberi makan kami karena kuncian,” kata Jameela kepada Al Jazeera.
Keluarga yang dipindahkan diberi Rs 3.000 ($ 60), 20 kg gandum, 10 kg kentang, dan diminta untuk mengosongkan kamp.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sekarang, keluarga Jameela tinggal di rumah petak dekat kamp dengan akses terbatas ke makanan, tidak ada persediaan medis dan tidak ada ruang untuk mempraktikkan jarak fisik, memaksa mereka untuk menghadapi pandemi tanpa dukungan negara.
“Pemindahan semacam ini memperburuk masalah kesehatan – infeksi pernapasan, infeksi diare dan pertumbuhan terhambat pada anak-anak,” kata Dr Sylvia Karpagram, pakar kesehatan masyarakat.
Penulis dan aktivis Farah Naqvi mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ketika orang secara paksa dipindahkan dari rumah mereka, mereka harus dijamin rasa aman.
“Kamp-kamp bantuan didirikan sebagai tanggapan langsung bagi para korban kekerasan massal yang ditargetkan dan sangat penting untuk memberi komunitas rasa perlindungan,” katanya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Negara perlu mengubah imajinasinya untuk menangani para korban kekerasan komunal yang dikombinasikan dengan COVID-19. Mereka harus diberikan akomodasi yang aman yang memungkinkan mereka menjaga jarak fisik, sanitasi, dan kebersihan.”
Kegagalan bertindak tepat waktu
Pada 20 Maret, pengadilan di Delhi memerintahkan pemerintah negara bagian untuk “memprioritaskan kebutuhan kesehatan” orang-orang sehubungan dengan pandemi COVID-19 dan mendirikan tiga kamp tambahan untuk mempraktikkan jarak fisik yang memadai.
Namun, pemerintah Delhi tidak mengikuti perintah pengadilan dan menutup kamp bantuan empat hari kemudian. Mereka mengklaim bahwa penduduk “pergi secara sukarela” dan tidak diminta untuk pergi.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Kami memberikan makanan yang dimasak untuk orang miskin dan kupon elektronik (pendaftaran online untuk mendapat jatah makanan) diberikan kepada keluarga yang telah kehilangan kartu ransum mereka,” kata Haji Yunus, seorang legislator di pemerintah Delhi, kepada Al Jazeera.
Pada tanggal 28 Maret, Pengadilan Tinggi Delhi mengarahkan pemerintah untuk membantu para korban yang terlantar dan merilis daftar lebih dari seribu keluarga yang membutuhkan makanan dan peralatan medis.
Daftar itu termasuk korban kerusuhan yang tinggal di akomodasi sewaan sementara atau tinggal bersama kerabat.
“Pada 3 April, pemerintah Delhi menyarankan untuk menempatkan mereka di rumah-rumah perlindungan yang diperuntukkan bagi para pekerja migran, yang tidak dapat diterima,” kata pengacara Sneha Mukherjee dari Jaringan Hukum Hak Asasi Manusia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Naqvi mengatakan, saran itu menunjukkan kurangnya pemahaman Pemerintah Delhi tentang kebutuhan yang berbeda dari para tunawisma dan korban kekerasan massal yang ditargetkan.
Dia mengatakan, tempat penampungan bagi pekerja migran terpisah berdasarkan gender, sementara korban kerusuhan memiliki persyaratan yang berbeda, kebutuhan psikologis untuk keselamatan dalam keluarga mereka menjadi yang utama di antara mereka.
Naqvi mengatakan, tinggal di dekat rumah mereka dan dapat mengunjunginya membantu para korban menerima tragedi dan membangun kembali kehidupan mereka.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kompensasi untuk korban
Para korban kekerasan juga mengeluhkan keterlambatan pemerintah dalam memberikan kompensasi, yang mereka juga katakan tidak cukup.
Banyak yang mengatakan, Pemerintah Delhi telah membagikan formulir kompensasi tetapi tidak memberikan nomor pemrosesan untuk membantu mereka mendaptkannya.
“Penyebaran kompensasi memakan waktu karena sumber daya pemerintah yang terbatas diprioritaskan untuk COVID-19,” kata Yunus berdalih.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Bagi yang kehilangan nyawa, kerabat orang yang meninggal diberikan satu juta rupee ($ 13.000), jumlah yang mereka keluhkan tidak cukup.
Mohammad Waqil (58) yang kehilangan penglihatannya setelah ia diserang dengn zat asam oleh para perusuh di Delhi, mengatakan, ia menerima bantuan hanya 25.000 rupee ($ 375) dari pemerintah.
Jameela Begum mengatakan dia telah meminta kompensasi 800.000 rupee ($ 10.500) untuk kehilangan harta miliknya, tetapi ia belum mendapat kabar dari pemerintah tentang pengajuannya.
“Sebuah pemerintah yang mengklaim sebagai pendukung tata pemerintahan yang efisien telah membuat kesalahan besar dalam hal penerimaan, menunda penyebaran kompensasi, dan penutupan kamp sebelum (salah satu) pandemi global terburuk di dunia ini terlihat,” kata Naqvi. (AT/RI-1/P1)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sumber: tulisan Sana Ali di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin