Nikah Siri Dinilai Rugikan Perempuan dan Anak

Banda Aceh, MINA – Kepala Wilayah Kantor Kementerian Agama Provinsi Aceh Daud Pakeh mengajak masyarakat untuk menolak atau tidak tercatat di , karena dianggap dapat merugikan perempuan dan anak.

Daud Pakeh menyarankan agar masyarakat untuk mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

“Pastikan nikah anda tercatat di KUA, jangan mau diajak nikah siri karena ini dapat merugikan kaum perempuan khususnya, maka dengan dalih apapun tolak nikah siri itu, ini demi kemaslahatan suami, istri dan juga anak,” ujarnya, Rabu (10/7).

Ia juga mengingatkan tentang pentingnya pencatatan pernikahan di KUA yaitu demi kepastian hukum dan kemaslahatan bagi suami, istri dan juga anak-anak.

“Dengan adanya pengukuhan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan, artinya negara ikut mengakui adanya pernikahan. Ini merupakan cara terbaik untuk mencegah fitnah serta memberikan posisi yang pasti bagi suami dan istri di hadapan hukum,” kata Daud Pakeh.

“Kemudian Pernikahan yang dilakukan secara resmi dapat Memudahkan pasangan suami istri saat berurusan birokrasi, seperti administrasi kependudukan, kemudian juga paling penting untuk Memastikan istri dan anak mendapat hak mereka,” lanjutnya.

Ia menambahkan saat ini tidak ada lagi alasan tidak melakukan pencatatan pernikahan ke KUA, apalagi sekarang pencatatan pernikahan di KUA nol rupiah atau gratis.

“Kalau persyaratannya sudah lengkap dan sesuai prosedur datang dan catat nikahnya di KUA, apalagi sudah gratis, Kalau nikah di luar KUA bayar Rp600 ribu disetor langsung ke bank, hal ini sesuai dengan PP No 19 Tahun 2015,” tambah Daud Pakeh.

Untuk mencegah pernikahan siri tersebut, dirinya mengajak semua pihak, baik Kemenag, Pemerintah Aceh, DPRA, LSM dan semua unsur untuk mengkampanyekan pentingnya pencatatan nikah di KUA.

“Mari sama sama kita sosialisasikan ini,” ujar Hamdan.

Terkait rancangan Qanun keluarga yang sedang disusun DPRA mendukung lahirnya qanun tersebut, apalagi didalamnya memuat beberapa hal seperti kursus pranikah, perkawinan, syarat administratif, meminang perempuan, soal mahar, perceraian, wajib belajar Al-Quran dan harta warisan.

Kalau mengenai poin dalam qanun tersbut tentang upaya pelegalan poligami, tentu penggunaan kata kata ini perlu ditinjau kembali, karena poligami itu sudah legal dalam undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan dan juga dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI), asal memenuhi syarat, bisa dilihat lagi UU tentang itu, disana  sudah dibahas tuntas.

“Kami menyarankan DPR Aceh bersama tim fokus pada pembahasan lain, seperti pendidikan pra nikah bagi catin dan poin poin lainnya yang termaktub dalam rancangan qanun,” kata Hamdan.

Jadi, kemenag Aceh tetap berpegang pada aturan perundang undangan yang berlaku, apalagi dpra baru sebatas menyusun draf belum disahkan dan di setujui oleh pemerintah RI menjadi qanun.

Kanwil kementerian agama sebagai lembaga vertikal yang berada di daerah  juga tidak memiliki kewenangan, kecuali sebatas memberikan masukan dan pertimbangan yang tetap mengacu kepada peraturan dan per-undang-undangan yang berlaku. (L/AP/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.