Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Noor Kajol, Bocah Rohingya yang Rindu Ayah

Rudi Hendrik - Sabtu, 16 September 2017 - 22:31 WIB

Sabtu, 16 September 2017 - 22:31 WIB

535 Views

Noor Kajol, anak perempuan Rohingya. (Foto: Katie Arnold/Al Jazeera)

Noor Kajol, anak perempuan Rohingya. (Foto: Katie Arnold/Al-Jazeera)

Anak-anak adalah golongan yang paling menderita dalam konflik bersenjata dalam suatu wilayah. Seperti yang terjadi di Palestina, Suriah dan Yaman, termasuk krisis terbaru yang terjadi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar terhadap warga Muslim Rohingya.

Dari kesaksian para warga Rohingya yang selamat pergi menyeberang ke Bangladesh, militer Myanmar bersama polisi dan warga Buddha ekstremis melakukan penyerangan terhadap desa-desa, menembaki warga Rohingya yang mereka jumpai, membunuh para pria, wanita dan anak-anak pun tak luput dari pembantaian. Rumah-rumah dibakar di lebih 140 desa Rohingya.

Salah seorang anak Muslim Rohingya bernama Noor Kajol berusia 10 tahun yang berasal dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, bercerita saat bertemu dengan Katie Arnold dari Al-Jazeera di kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh.

Berikut kisah Noor Kajol:
Namaku Noor Kajol, dan umurku 10 tahun. Saya sangat senang di desa lama saya karena saya belajar di madrasah. Saya suka belajar tentang Quran Suci dan saya ingin menghafal semuanya. Saya tinggal bersama keluarga saya, jumlah kami tujuh orang. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi saya suka tinggal di sana.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Kami harus meninggalkan rumah karena militer mulai menembak kami. Saya berada di dalam rumah bersama ayah saat mereka menembaknya dari jendela.

Peluru itu menembus kepalanya, jatuh ke lantai, dan banyak darah keluar dari kepalanya.

Saya benar-benar takut, dan saya banyak menangis. Kami kabur, meninggalkan ayahku di rumah. Militer membakar rumah itu, meski ayahku masih di dalam.

Kami harus lari ke hutan dan bersembunyi di pepohonan. Kami kemudian berjalan selama tiga hari untuk sampai ke Bangladesh. Sulit bagi saya karena saya lapar dan saya sering merindukan ayah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Orang lain membantu kami menyeberangi perbatasan secara gratis. Kami bepergian dengan perahu mesin, tapi saya tidak menikmati naik perahu karena saya masih merindukan ayah saya. Dia adalah penebang kayu, dan semua orang menyukainya. Dia pria yang baik hati, dan dia sangat mencintaiku.

Saya sangat tidak bahagia di Bangladesh karena saya sangat merindukan ayah saya. Di sini juga sangat kotor, tidak ada toilet atau kamar mandi.

Saya ingin dunia membantu kami tingga di negara kami sendiri atau menawarkan negara lain yang bisa kami tinggali. (A/RI-1/R01)

 

Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman

Sumber: Tulisan Katie Arnold di AlJazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah

Rekomendasi untuk Anda