Oleh: Dr. Adian Husaini, Ketua Umum DDII
Usaha untuk menempatkan Islam sebagai musuh bagi peradaban Barat telah dilakukan oleh banyak pihak. Salah satunya adalah ilmuwan ‘neo-orientalis’ Samuel P. Huntington, melalui bukunya: Who Are We? (2004).
Dalam buku ini, Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS.
Menurut Huntington: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Memang, yang disebut oleh Huntington dalam bukunya adalah “Islam militan”. Tetapi, sangatlah tidak mudah untuk memberikan batasan tentang siapa yang patut dimasukkan ke dalam kelompok Islam militan tersebut. Pada akhirnya, siapa saja yang mau menjalankan Islam dengan baik, bisa dikategorikan sebagai pengikut Islam militan.
Dalam upaya memerangi Islam militan, Paul Wolfowits menyatakan: “untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat. Hal ini merupakan debat tentang nilai Islam yang harus dilakukan antar Muslim sendiri. Tapi akan berbeda kalau kita mengenali dan mendukung mereka yang mempertahankan nilai-nilai universal. Ketika kita memberi dorongan moril kepada mereka dalam melawan musuh yang mereka hadapi, kita sesungguhnya telah memperkuat dasar-dasar perdamaian.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, (Jakarta: Kultura, 2008).
Itulah strategi yang dimainkan oleh Paul Wolfowits untuk menghadapi Islam militan. Jadi, yang akan digunakan adalah sebagian kaum muslim sendiri. Itu artinya upaya untuk mengadu antara muslim satu dengan muslim lainnya. Cara-cara seperti ini sudah lama dilakukan oleh penjajah di masa lalu dan terbukti cukup efektif dalam melumpuhkan upaya perlawanan melawan penjajah.
Tentu saja, yang jadi masalah adalah: mengapa umat Islam sendiri mau dan senang diadu antar sesama muslim. Mengapa kebencian sesama muslim bisa terjadi begitu rupa, sehingga melupakan hakikat persaudaraan. Jika ada saudaranya yang salah, kewajiban sesama muslim untuk saling mengingatkan satu dengan lainnya.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Mukmin itu bersaudara. Ibarat satu tubuh, mereka harusnya saling menguatkan satu dengan lainnya. Apalagi sesama saudara seiman dan sebangsa pula. Sepatutnya, mereka lebih mempererat persaudaraan agar bisa bersatu padu dalam membangun bangsa menuju kepada kejayaan umat dan bangsa Indonesia. Jika sesama mukmin terlibat dalam permusuhan dan kebencian, maka akan jatuhlah martabat kaum muslim itu sendiri.
Rasulullah saw mengingatkan: “Jika umatku sudah saling caci maki satu dengan lainnya, maka akan jatuhlah mereka di hadapan Allah SWT”. (HR at-Tirmidzi).
Kaum muslim kini memerlukan satu upaya serius untuk saling memahami satu dengan lainnya, agar mereka bisa menjaga ukhuwah dan meningkatkan kerjasama dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis. Dalam al-Quran disebutkan, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya, dalam barisan yang rapi laksana satu bangunan yang kokoh (QS ash-Shaf: 4).
Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup! Dalam berjuang, kaum muslimin harus membangun kerjasama yang rapi, saling menguatkan satu dengan lainnya. Jangan sampai satu pihak justru lebih suka memusuhi saudaranya sesama muslim. Biasanya hal itu terjadi karena kurang silaturrahim, kurang tabayyun dalam menerima suatu informasi.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Saat ini begitu mudah beredar suatu informasi yang belum dicek kebenarannya, tetapi sudah beredar luas. Misalnya, dalam kasus perkosaan belasan santriwati oleh seorang gurunya di Bandung. Kasus ini sedang diproses di pengadilan. Beredar satu informasi melalui media sosial, bahwa pelaku kejahatan sadis itu adalah pengikut aliran tertentu.
Informasi ini belum dikonfirmasi kebenarannya. Tetapi sudah memicu perdebatan luas bernada saling caci dan kebencian. Jadi, masalahnya sendiri belum jelas, sudah memunculkan konflik yang merugikan persaudaraan sesama muslim dan sesama warga bangsa.
Padahal, kasus itu adalah musibah besar bagi dunia pesantren, dunia pendidikan Islam, dan juga umat Islam, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Siapa pun pelakunya, apapun aliran keagamaannya, pelaku kejahatan sadis dan biadab itu harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Pelakunya sudah tidak patut lagi disebut sebagai manusia.
Dan yang lebih penting, dunia pendidikan kita harus mengambil pelajaran berharga, agar kasus seperti ini tidak terulang lagi. Kasus ini harus mendorong kita semua untuk berbenah, agar pendidikan kita menjadi lebih baik lagi. Wallahu A’lam bish-shawab.
(Depok, 11 Desember 2021). (A/R4/P2)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Mi’raj News Agency (MINA)