Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peduli untuk Ghouta Timur dari Negeri yang Damai

Rudi Hendrik - Senin, 26 Februari 2018 - 12:04 WIB

Senin, 26 Februari 2018 - 12:04 WIB

1318 Views

Seorang pria Suriah di Ghouta Timur menggendong seorang anak perempuan yang terluka oleh serangan bom. (Foto: Twitter)

Seorang pria Suriah di Ghouta Timur menggendong seorang anak perempuan yang terluka oleh serangan bom. (Foto: Twitter)

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

 

Baca Juga: Palestina Pasca “Deklarasi Beijing”

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْ‌ۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬

Artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (Q.S. Al-Hujuraat [49] ayat 13).

Cobalah kita merenung dan membayangkan. Umpamakan kita berada bertahun-tahun di sebuah kota yang nyaris seluruh bangunannya telah hancur, yang nyaris seluruh infrastrukturnya pun hancur. Kita  tidak bisa ke mana-mana selain berjalan mengelilingi kota yang dikepung oleh pasukan bersenjata. Bisa mendapat makanan untuk satu hari sudah menjadi keberuntungan. Jikalau ada penjual bahan makanan, apa daya harga pun tidak terjangkau.

Bayangkan seandainya anak-anak kita hidup dalam trauma yang mendalam. Mereka tidak lagi bersekolah. Di kala terjaga tatapan mereka kosong, di kala tidur mereka mengigau ketakutan hingga mengompol. Tangan mereka gemetar di kala menyuap, dan mereka berubah menjadi sangat pendiam. Mereka baru bisa terdengar ramai ketika mereka menangis ketakutan serta terluka oleh serangan bom dan terkena reruntuhan bangunan.

Bayangkan juga ketika kita mengalami minimnya jumlah fasilitas medis membuat para relawan kesehatan bekerja keras. Tidak hanya menangani para pasien tewas dan luka di rumah sakit, tapi mereka harus turut memburu korban terluka di tempat bom pesawat dijatuhkan. Setiap hari pasien berdatangan, tapi stok obat-obatan sangat minim, bahkan habis. Tak ada jalan untuk membeli obat di luar kota atau sampai kapan harus menunggu ada lembaga bantuan yang bisa mengirim obat masuk ke kota.

Baca Juga: Nobar Film Hayya, Solidaritas dari Ponpes Al-Fatah Lampung untuk Palestina

Anda bisa bayangkan, ketika sesekali bom dijatuhkan dari langit, Anda melihat para relawan berjiwa kemanusiaan bergerak cepat berlomba-lomba mencari korban yang selamat di area pengeboman. Bahkan tidak jarang mereka menjadi korban karena bom kedua jatuh di lokasi yang sama. Semua warga berteriak panik, kaum wanita menangis histeris, terlebih jika keluarga terdekat menjadi korban.

Itulah yang terjadi hampir di setiap harinya bagi sekitar 400.000 warga Suriah di Ghouta Timur. Pertempuran politik demi kekuasaan membuat wilayah yang dikuasai oposisi itu diblokade pasukan Pemerintah Suriah sejak tahun 2013.

Sudah hampir lima tahun lamanya hidup di bawah standar kewajaran. Seandainya kita menjadi salah satu dari 400.000 orang tersebut. Dan kini, kondisi terbaru menunjukkan kengerian yang seolah-olah tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.

Sejak Ahad, 18 Februari 2018, pasukan Pemerintah Suriah yang didukung militer Rusia melancarkan operasi serangan udara dan tembakan artileri di Ghouta Timur. Serangan tanpa henti di sebuah kota yang tidak memiliki jalan keluar bagi warganya untuk menyelamatkan diri. Gedung-gedung permukiman yang sudah rusak semakin hancur, korban tewas berjatuhan seperti daun tua di musim gugur, korban luka mengantri untuk diselamatkan, sementara hampir semua fasilitas medis pun tidak luput dari sasaran bom.

Baca Juga: Selamat atas Rekonsilisasi Antar Faksi Palestina

Selama sepekan serangan tanpa jeda terhadap orang-orang Suriah yang tidak berdaya telah menewaskan lebih 500 jiwa, lebih 2.400 terluka, tanpa memandang apakah itu kombatan atau warga sipil biasa. Padahal, harga satu nyawa manusia saja itu sangat mahal.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Artinya, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah [5] ayat 32).

Tanpa bisa bertanya kenapa mereka harus dibunuh, warga bersama anak-anaknya hanya bisa diam berlindung di ruang bawah tanah seraya memelihara ketakutannya. Setiap suara ledakan yang mengguncang bumi dan jiwa seakan menjadi sinyal bahwa Malaikat Izrail telah datang menjemput. Mereka sangat tahu bahwa setiap saat apa yang ada di atas mereka bisa runtuh mengubur mereka.

Baca Juga: Pengaruh Amal Saleh 

Begitu dahsyatnya kengerian yang terjadi di Ghouta Timur, Suriah, sehingga Sekjen PBB Antonio Guterres menyebutnya “neraka di Bumi”.

Kondisi mengkhawatirkan yang terjadi di Ghouta Timur pada faktanya memang sedang terjadi sekarang. Kondisi yang sangat kontras dengan apa yang dilalui manusia lain setiap hari di negeri-negeri damai.

Kisah jatuhnya korban manusia dan kejamnya peperangan, biasanya hanya kita dapati di tulisan buku-buku sejarah dan kita tonton di hebatnya film-film Hollywood. Harus kita akui bahwa kisah-kisah itu bukan sekedar catatan yang dilebih-lebihkan, karena hari ini pun kondisi serupa terjadi di salah bagian dunia yang lain, yaitu di Ghouta Timur, Suriah. Tak perlu membandingkannya dengan manusia yang hidup di negeri-negeri aman dan nyaman. Karena tanpa membandingkannya, terang terlihat kekontrasan seperti langit dan bumi.

Kita bangun di pagi hari, mandi, sarapan, pergi bekerja, pulang bertemu keluarga bersenda gurau, lalu tidur kembali dengan lelap. Bermain gadget di sela-sela aktivitas terasa begitu menghibur. Akhir pekan acara keluarga dengan berbagai keceriaan. Dengan nyaman bisa pergi ke majelis taklim.

Baca Juga: Deklarasi Beijing Untuk Rekonsiliasi Nasional Palestina

Sementara anak-anak pergi ke sekolah setiap hari untuk menuju cita-citanya. Bisa bermain dengan kesenangan masa kini. Mereka bisa tertawa bersama dan bertengkar bersama. Mereka tidak perlu merasakan perjuangan mencari sesuap nasi di usia kecil.

Belum lagi jika melihat gaya hidup masyarakat kelas menengah ke atas. Perkembangan teknologi membuat mereka menampakkan diri bahwa setiap saat mereka berada di dalam kemewahan. Pergi berbelanja di mal-mal mewah, makan kuliner di berbagai restoran, hingga tamasya ke taman bermain bersama anak istri, semua terabadikan di telepon pintarnya.

Kita hanya dibuat panik jika ada insiden kebakaran atau banjir tahunan datang tiba-tiba. Atau, motor kita dicuri orang. Kita hanya dibuat pusing oleh politikus berburu popularitas dan kursi dengan perang kata-kata. Atau, kita hanya dibuat resah oleh berita hoax di media sosial. Sementara kalangan muda lebih sibuk berburu cinta dan sibuk menipu cinta. Inilah cerita dua kelompok manusia di dunia yang sangat bertolak belakang, seperti bumi dan langit. Lalu, bisakah dua dunia berbeda itu saling bersentuhan?

Memang tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan masyarakan sipil di negeri damai, para pemimpin negeri yang punya pengaruh internasional pun tidak bisa berbuat apa-apa. Di Dewan Keamanan PBB, untuk memberi hari jeda di Ghouta Timur dengan gencatan senjata saja, dibutuhkan perdebatan yang sengit. Terkadang pula gencatan senjata disepakati di atas meja, tapi fakta di lapangan justru sebaliknya.

Baca Juga: Memahami Konsep Hijrah Zaman Now

Ketidakberdayaan kita di negeri-negeri aman hanya bisa menumbuhkan rasa peduli. Namun, ketika rasa peduli terhadap sesama manusia yang kurang beruntung telah tumbuh, maka banyak cara untuk menghubungkan dua dunia itu. Langkah yang paling terakhir tapi paling efektif adalah dengan doa. Dengan langkah nyata seperti itu, maka Ghouta Timur dan negeri-negeri damai akan terhubung oleh benang kepedulian.

Rasulullan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Artinya, “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR. Muslim).

 

Baca Juga: Perlindungan Anak dalam Perspektif Agama Islam

(A/RI-1/RS3)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Islam Mengatur Peperangan, Membangun Perdamaian

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Tausiyah
Indonesia