Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Pada 17 Agustus 2022 nanti, Indonesia memasuki usia kemerdekaan ke-77. Jadi, sudah 77 tahun kita merdeka! Tahun 2045, yakni 23 tahun lagi, kita akan memasuki usia kemerdekaan ke-100. Tapi, kita sadar, kondisi Indonesia masih seperti saat ini! Silakan disimak dan dirasakan sendiri!
Banyak prestasi dan kemajuan dalam dakwah dan pendidikan telah dicapai di negeri kita. Tapi, masalah dan tantangannya juga bukan bertambah ringan. Jadi, sepatutnya kita memandang kondisi kita saat ini dengansemangat dan optimis. Banyak prestasi telah diraih, tapi banyak pula kekurangannya.
Yang jelas, kita tidak ingin diri dan negeri kita menjadi seperti sekarang. Kita ingin maju! Umat Islam Indonesia – sebagai bagian terbesar negara Indonesia – pun tentu mencitakan kondisi yang lebih baik; menjadi umat terbaik, yang tidak diremehkan; menjadi umat hebat, yang kehadirannya diperhitungkan. Dan yang lebih penting: menjadi umat yang bermanfaat bagi sesama warga bangsa dan umat manusia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Hari ini, Sabtu, 30 Juli 2022, adalah 1 Muharram 1444 Hijriah. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Madinah ditetapkan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu sebagai awal tahun Islam. Dalam perspektif pendidikan, Hijrah Nabi yang diikuti oleh ribuan kaum Muslimin merupakan PERISTIWA PENDIDIKAN yang sangat dahsyat.
Dengan hijrah, kaum muslimin menjalani proses pendidikan jiwa dan raga. Demi mempertahankan keimanan, kaum muslimin rela mempertaruhkan jiwa, raga, harta, dan keluarga. Tidak sedikit yang harus berpisah dengan keluarganya. Bahkan, akhirnya, banyak pula yang harus berperang dengan keluarganya sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berperang dengan pamannya sendiri. Semua itu dilakukan demi keimanan; demi tegaknya kebenaran. Sebab, iman adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan. Tetapi, pada akhirnya, Hijrah berujung pada kemuliaan dan kejayaan Islam.
Selama 13 tahun perjuangan dakwah di Makkah, kaum muslimin telah menjalani berbagai proses pendidikan yang hebat. Mereka langsung dididik oleh guru terbaik, yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka menjalani kurikulum (lintasan) dalam bimbingan wahyu – bukan kurikulum yang menolak wahyu (sekular). Sepanjang waktu mereka menjalani proses pendidikan dibimbing oleh ayat-ayat al-Quran yang meneguhkan keimanan, menambah keilmuan, dan meningkatkan akhlak mereka.
Orang-orang yang hijrah ke Madinah telah menjalani ujian-ujian berat dalam mempertahankan keimanan mereka. Ammar bin Yasir disiksa habis-habisan, dipaksa untuk murtad. Lebih sadis lagi, ia dipaksa menyaksikan kedua orang tuanya disiksa, dan dibunuh di depan matanya. Bilal bin Rabah disiksa berulangkali dengan cara dijemur di padang pasir di tengah terik matahari.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Untuk menyelamatkan diri dari berbagai kekejaman kaum kuffar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habsyah. Di sana, para Muhajirin ini dikejar oleh kaum kafir Quraisy. Raja Najasyi dan para pemuka agama Kristen diminta untuk mengusir mereka. Di situlah kita melihat kehebatan diplomasi Ja’far bin Abi Thalib, sehingga Sang Raja memberikan perlindungan kepada kaum Muhajirin. Jadi, sejak awal, kaum muslimin telah menjalani sebuah proses pendidikan bertaraf internasional, secara fisik dan diplomasi politik.
Bukan hanya ujian fisik yang harus dijalani kaum muslimin ketika itu. Tetapi, ujian pemikiran pun harus mereka jalani. Puncaknya adalah ujian keimanan saat harus menerima berita Isra’ Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka harus mengimani, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan perjalanan dari Makkah ke Sidratul Muntaha hanya dalam semalam.
Peristiwa itu tidak bisa dijangkau oleh akal sekular. Tapi, karena yang menceritakan adalah Rasulullah saw, maka logika orang muslim menyatakan, peristiwa itu pasti benar! Abu Jahal memanfaatkan peristiwa Isra’ Mi’raj untuk memprovokasi kaum muslimin agar mereka murtad dari Islam. Tapi, usaha Abu Jahal itu gagal. Iman kaum muslimin semakin kokoh, setelah menjalani ujian demi ujian.
Itulah model pendidikan terbaik yang dijalani umat Islam di masa Nabi. Model pendidikan yang disebutkan Umar bin Khathab: “Beradablah kemudian berilmulah!”Itulah pendidikan jiwa raga yang dijalani oleh kaum muslimin sejak di Mekkah, sampai akhirnya harus berhijrah ke Madinah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Ujian mereka bukan hanya berupa ujian menjawab soal-soal ujian. Tapi, mereka menjalani ujian kehidupan, dalam satu universitas terbaik, bernama UNIVERSITAS KEHIDUPAN. Iman memang selalu diuji. Dengan ujian iman, maka tampaklah siapa yang imannya benar dan siapa yang dusta. (QS Al-Ankabuut: 2-3).
Karena itu, bisa dikatakan, kaum muslimin yang hijrah (muhajirin) adalah manusia-manusia pilihan yang telah lulus ujian pendidikan kehidupan. Bahkan, setelah di Madinah pun, ujian itu tidak berhenti. Ujian pertama datang saat Perang Badar, dilanjutkan dengan Perang Uhud, Perang Khandaq, dan seterusnya.
Manusia-manusia pilihan ini telah memahami dan menghayati hakikat kehidupan. Mereka tahu tujuan hidupnya. Mereka tahu hakikat dunia yang hina dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama kehidupannya. Hilanglah penyakit “al-wahnu” (cinta dunia dan takut mati) dalam diri mereka. Bahkan, mereka bercita-cita menjadi syuhada, gugur di medan perang. Mereka bergairah ketika diajak berjihad fi sabilillah. Anak-anak umur belasan tahun berlomba-lomba mendaftar perang.
Bukan hanya itu. Manusia-manusia pilihan ini dididik menjadi orang-orang yang haus ilmu. Mereka berlomba-lomba menghafal dan menulis al-Quran dan hadits Nabi. Mereka dididik langsung untuk mencintai ilmu dan membudayakan sikap tolong menolong. Jiwa cinta pengorbanan tertanam kuat dalam diri mereka.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Manusia-manusia mulia dalam jumlah yang besar hidup di satu waktu dan satu tempat. Inilah ciri keunggulan utama generasi sahabat Nabi. Kualitas para sahabat Nabi ini berkali-kali lipat dibandingkan kualitas bangsa Romawi ketika itu. Hanya dalam waktu lima tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, kaum muslimin sudah menaklukkan Romawi dan membuka Kota Jerusalem. Di sini, manusia-manusia terbaik ini membangun satu peradaban tinggi.
Jadi, Hijrah adalah proses pendidikan yang hebat. Hijrah menempa jiwa kaum muslimin menjadi manusia-manusia berkualitas tinggi. Tidak aneh, jika Madinah nantinya menjadi model negara terbaik; negara yang dipimpin oleh pemimpin terbaik dan rakyatnya adalah manusia-manusia terbaik; negara yang menjunjung tinggi nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.
Jadi, buah dari Hijrah adalah kemuliaan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 Muharram 1444 H/30 Juli 2022). (AK/R4/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan