Washington, MINA – Penjara Teluk Guantanamo di Kuba menjadi perwujudan praktik penahanan kejam yang menyebabkan AS dituduh melakukan penyiksaan.
Fasilitas penahanan militer AS itu dibuka oleh Presiden George W. Bush untuk menahan tersangka terorisme yang ditangkap di luar negeri setelah serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Washington. Hingga kini masih beroperasi sebagai sisa dari apa yang disebut perang terhadap teror.
Awal tahun ini, sekitar 160 kelompok hak asasi internasional mengirim surat kepada Presiden Joe Biden mendesaknya untuk menutup penjara tersebut.
Dikutip dari Anadolu, organisasi Oxfam America dan Council on American-Islamic Relations (CAIR) mengatakan, fasilitas tersebut, yang juga dikenal dengan nama “Gitmo”, memicu “fanatisme, stereotip, dan stigma” serta mempromosikan perpecahan sosial, berisiko memungkinkan “pelanggaran HAM tambahan”.
Baca Juga: Presiden Venezuela: Bungkamnya PBB terhadap Gaza adalah Konspirasi dan Pengecut
American Civil Liberties Union (ACLU), sebuah organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk membela kebebasan sipil semua orang Amerika, telah mendesak Biden untuk menutup fasilitas tersebut, menggambarkannya sebagai “simbol global ketidakadilan, pelecehan, dan pengabaian terhadap aturan hukum negara.”
“Yah, saya akan sangat terkejut jika Guantanamo ditutup dalam waktu dekat karena menurut saya tidak ada selera politik di Amerika untuk melakukan itu,” kata Clive Stafford Smith, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka AS yang mewakili 87 tahanan Guantanamo dan memenangkan 85 kasus.
Pada satu titik, ada hampir 800 tahanan di fasilitas tersebut dengan 749 akhirnya dibebaskan, kata Stafford Smith.
Mereka semua adalah pria Muslim yang telah ditahan di sana selama bertahun-tahun tanpa dituntut, tambahnya. (T/RI-1/P1)
Baca Juga: Protes Agresi Israel di Gaza, Mahasiswa Tutup Perpustakaan Universitas New York
Mi’raj News Agency (MINA)