Oleh: Rendi Setiawan, wartawan MINA
Setiap menjelang bulan suci Ramadhan, salah satu yang sering menjadi perbincangan dan topik pembahasan dalam banyak forum diskusi di kalangan umat Islam adalah metode penentuan awal bulan Ramadan, yakni apa perbedaan antara Rukyatul Hilal dan Hisab?
Rukyatul Hilal merupakan metode yang mengandalkan pengamatan langsung bulan sabit oleh mata manusia. Awal bulan baru dimulai ketika bulan baru terlihat setelah matahari terbenam pada malam tertentu.
Proses ini melibatkan komite lokal yang beranggotakan ulama dan saksi mata yang memantau langit setelah senja. Jika bulan terlihat, maka bulan baru dimulai.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Di sisi lain, Hisab adalah metode perhitungan matematis yang didasarkan pada peredaran bulan dan siklusnya. Hisab menggunakan perhitungan ilmiah untuk memprediksi posisi bulan di langit dan menentukan awal bulan baru. Metode ini melibatkan rumus-rumus matematika yang kompleks yang memperhitungkan siklus peredaran bulan.
Perbedaan utama antara keduanya adalah sumber otoritas yang digunakan. Rukyatul Hilal lebih bergantung pada pengamatan langsung oleh manusia, sementara Hisab menggunakan perhitungan matematis.
Namun, ada perdebatan di antara ulama tentang metode yang lebih akurat. Sebagian percaya bahwa Rukyatul Hilal lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Islam karena menekankan pengamatan langsung dan keterlibatan manusia dalam menentukan awal bulan Hijriah.
Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa Hisab lebih praktis dan bisa memberikan prediksi yang lebih pasti, sehingga lebih cocok untuk keperluan perencanaan dan administrasi.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Dalam catatan Ibnu Rusyd (w. 595 H) dalam buku yang ditulisnya berjudul Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, perbedaan ulama dalam memilih metode rukyat atau hisab telah terjadi sejak era sahabat nabi dan tabiin.
Menurut Ibnu Rusyd, Ibnu Umar merupakan sosok yang memegang teguh metode rukyat dalam menentukan awal bulan. Di sisi lain, terdapat tabiin senior bernama Mutharrif bin Syikhir yang lebih memilih menggunakan metode hisab.
Ibnu Rusyd memaparkan, perbedaan tersebut disebabkan pemahaman terhadap hadis Nabi Muhammad SAW, “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan (mendung), maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Syaban menjadi tiga puluh.” (HR Bukhari)
Sebagian ulama berdasarkan hadis di atas berpendapat bahwa metode penentuan awal bulan harus dengan rukyat, atau harus secara pasti melihat hilal. Bila tidak memungkinkan, cukup menggenapkan bulan baru menjadi 30 hari karena dalam kalender Hijriah tidak ada yang melebihi 30 hari.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Sedangkan sebagian ulama lain yang berpatokan pada metode Hisab memandang, justru karena hilal tidak terlihat oleh mata karena mendung, dan karena berkembangnya ilmu matematika dan astronomi yang menyoal peredaran benda angkasa, kenapa tidak kita hitung saja kapan hilal muncul, jadi tidak perlu repot-repot lagi melihat hilal secara langsung.
Kedua metode di atas sama-sama berasal dari ijtihad ulama. Tidak ada yang salah dari keduanya sebagai bagian dari ijtihad. Sesuai sabda Nabi SAW, ketika seorang mujtahid benar, maka dia mendapat dua pahala, akan tetapi jika keliru, dia tetap mendapatkan satu pahala.
Sementara menyikapi perbedaan terkait dengan munculnya perbedaan hasil penentuan awal bulan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa No. 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah mewajibkan warga negara Indonesia mentaati ketetapan Pemerintah Republik Indonesia ketika terjadi perbedaan pendapat soal awal Ramadan. (A/R2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga