Peringkat Indonesia di Kancah Dunia (Oleh dr. Gamal Albinsaid)

Oleh : , M.Biomed.; Motivator Muda Mendunia, CEO Indonesia Medika

Kita patut berbangga, McKinsey Global Institute dalam salah satu laporan yang berjudul “The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential” mengemukakan bahwa pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke tujuh di dunia. Ini memberikan sebuah harapan kemajuan, optimisme ekonomi, dan kepercayaan diri yang mendalam untuk menatap masa depan bangsa kita. Namun, di sisi lain kita dikejutkan oleh kesenjangan sosial kita yang mencapai puncaknya dalam sejarah.

Kita harus optimis, tapi penuh kesadaran akan masalah, dan membangun kemauan untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan. Lalu saya mulai bertanya di manakah posisi Indonesia dalam perkembangan dunia? Seberapa besar kemampuan kita bersaing dengan negara-negara lain dalam berbagai sektor? Bagaimana perkembangan masyarakat kita? Apakah Bangsa kita cukup kompetitif? Apakah Bangsa kita inovatif? dan Apakah masyarakat kita bahagia?

Mari kita bahas satu per satu, sehingga kita sadar dan tahu di mana posisi kita saat ini dan apa yang harus kita lakukan untuk melakukan lompatan besar.

Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report)

Saya akan mulai dari Human Development Report (Laporan Pembangunan Manusia) kita. Tanggal 21 Maret 2017 di Stockholm, Swedia, Badan Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP) kembali mengeluarkan Human Development Report yang meletakkan Indonesia di urutan 113, kita berada 2 tingkat di bawah Mesir dan 1 tingkat di atas Palestina.

Kalau kita sedikit melihat ke belakang, tahun 2014 Human Development Report yang berjudul “Sustaining Human Progress: Reducing Vulnerabilities and Building Resilience” meletakkan Indonesia di peringkat ke 108, hasil ini merupakan kemunduran bagi kita.

Untuk menguatkan lagi optimisme kita semua, mari melihat 25 tahun perkembangan Indonesia terakhir dari sisi Index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI). Pada tahun 1990 HDI kita sebesar 0,528 dan di tahun 2015 HDI kita menjadi 0,689. Dengan demikian dapat kita simpulkan HDI kita naik 30,5% dengan gambaran peningkatan untuk masing-masing penilaian antara lain :

  1. Expected years of schooling atau yang biasa kita kenal dengan harapan lama bersekolah untuk anak-anak meningkat 2,8 tahun.
  2. Mean years of schooling atau rata-rata lama bersekolah yang sudah dijalani oleh orang berusia 25 tahun ke atas meningkat 4,6 tahun.
  3. Life expectancy of birth atau angka harapan hidup di Indonesia meningkat 5,8 tahun.
Gambar 3.1 Perkembangan Human Development Index Indonesia selama 25 tahun.

 

Peringkat daya saing (Global Competitvenes Index)

Kabar lain yang seharusnya membanggakan kita hadir pada laporan Peringkat daya saing   atau Global Competitiveness index yang merupakan penilain tingkat kompetitif negara-negara di dunia yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia atau lebih dikenal dengan nama World Economic Forum (WEF). Pada tahun 2016-2017 Indonesia berada di peringkat 41 dari 148 negara. Posisi ini diperoleh setelah kita meraih nilai 4,52 dari skala 7. Hasil ini agaknya baik secara umum, namun perlu dilakukan evaluasi, di mana kita kembali mengalami penurunan dari tahun 2015 – 2016 yang meletakkan kita di peringkat ke-37.

Peringkat Inovasi Global (Global Innovation Index)

Global Innovation Index dikeluarkan pertama pada tahun 2007 dengan tujuan untuk menghasilkan model inovasi yang komprehensif dalam menggambarkan kompleksitas alami pada negara maju dan berkembang. Secara sederhana Global Innovation Index ini menggambarkan kinerja inovasi dari berbagai negara. Jika kita merujuk pada Global Innovation Index 2017 dengan tema “Innocation Feeding the World”, kita bisa melihat bahwa Indonesia berada di urutan 99 dari 127 negara yang dievaluasi dengan skor 29,1.

Gambar 3.1 Peringkat dan skor Global Innovation Index.

 

Hasil ini masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga kita seperti Singapura yang ada di urutan ke-7, Malaysia di urutan 37, Vietnam di urutan ke-47. Di sisi lain, Swiss, Swedia, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris menduduki lima urutan teratas.

Swedia sendiri sudah berada di urutan pertama selama 7 tahun terakhir. Empat indikator yang dikalkulasi adalah GII secara keseluruhan, Sub-Index Input Inovasi, Sub-Index Output Inovasi, dan rasio efisiensi inovasi.

Sub-index input inovasi yang digunakan sebagai indikator terdiri dari lima pondasi yang menggambarkan elemen dari negara yang memungkinkan aktivitas inovasi, yaitu institusi, sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur, kemutakhiran pasar, dan kemutakhiran bisnis.

Sedangkan untuk sub-index output inovasi menyediakan informasi tentang output yang menghasilan aktivitas inovatif dalam ekonomi yang terdiri dari output pengetahuan dan teknologi, serta output kreatif. Yang terakhir adalah Rasio Efisiensi Inovasi adalah rasio skor Sub-Indeks Output atas nilai Sub-Indeks Input yang menunjukkan berapa banyak keluaran inovasi yang diberikan negara tertentu untuk mendapatkan masukannya.

Hal yang harus segera kita perbaiki adalah regulasi yang mendukung iklim berinovasi. Sebagai gambaran dalam hal paten, kita berada di urutan 103 dari 127 negara. Hal ini menggambarkan betapa minimnya kontribusi inovasi kita pada dunia. Hal lain yang perlu diperbaiki adalah anggaran untuk litabng dan riset kita yang hanya 0,2% dari PDB.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi Indonesia untuk melakukan reformasi berbagai sistem, khususnya di sektor akademis dan regulasi pemerintahan yang seharusnya memudahkan inovasi itu lahir, tumbuh, dan berdampak.

Laporan Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report)

Apakah kita bahagia? Dalam Laporan Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) yang dikeluarkan oleh Sustainable Development Solutions Network (SDSN) pada Maret 2017 yang berasal dari data yang dikumpulkan sejak tahun 2014 hingga 2016, kita berada di urutan ke-81 dari 155 negara yang diukur.

Peringkat ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga kita, yaitu Singapura di peringkat 26 dan Thailand di peringkat 32. Hal-hal yang diukur dalam menentukan kebahagaiaan antara lain PDB per kapita, harapan hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan menentukan pilhan, kemurahan hati, persepsi korupsi, positive affect, dan negative affect. World Happiness Report ini dibuat untuk membantu pemerintah, masyarakat, dan dunia bisnis dalam menemukan cara yang lebih baik dan mencapai kesejahtaraan warganya.

Yang menarik, kita perlu belajar dan melihat bagaimana Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, dan Finlandia menempati urutan teratas negara-negara yang bahagia. Norwegia melompat dari urutan empat ke urutan pertama setelah menggeser Denmark yang tahun sebelumnya berada di puncak. Sebaliknya, Rwanda di peringkat 151, Suriah dengan berbagai problematika hari ini ada di peringkat 152, lalu diikuti Tanzania, Burundi, dan Republik Afrika Tengah.

Seorang ekonom yang ikut menulis laporan ini, John Helliwell, menyatakan bahwa bahagia tidak dapat disamakan dengan kakayaan. Unsur-unsur kemanusiaanlah yang menentukan. Jika kekayaan mempersulit hubungan karena rendahnya rasa percaya antar manusia, apa masih ada artinya? Materi justru dapat menghalangi kemanusiaan.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari Norwegia? Di sana semua orang dapat uang pensiun di usia 67 tahun, termasuk perempuan yang tidak bekerja. Warga Norwegia juga membayar iuran maksimal sebesar US $300 per tahun untuk biaya kesehatan untuk kemudian dapat kartu bebas dan tidak membayar lagi sepanjang tahun. Bahkan temuan yang cukup menarik, iklim yang buruk di sana itu membangun kebersamaan yang kuat antar warga.

Menurut Jeffrey Sachs, Direktur SDSN yang mempublikasikan daftar negara-negara paling bahagia tersebut negara bahagia adalah yang memiliki keseimbangan kemakmuran, kebiasaan yang terukur, modal sosial, tinggat kepercayaan yang tinggi di masyarakat, ketimpangan yang rendah, dan kepercayaan kepada pemerintah. Seberapa bahagiakah kita?

Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)

Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index nomor 3 di ASEAN. Hal ini merupakan sebuah peningkatan jika dibandingkan pada tahun 1999 kita berada di urutan paling bawah se-ASEAN. Namun sekarang kita sudah melewati Filipina dan Thailand. Walaupun pemberitaan penangkapan kasus-kasus korupsi kita senantiasa menjadi headline, namun ternyata kita masih kalah dengan Singapura. Hal ini diperkirakan karena organisasi sejenis KPK di Singapura telah didirikan sejak 1952, sedangkan di Indonesia baru didirikan di tahun 2002.

Peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business – EODB)

Kemudian terkait Indeks Kemudahan Berusaha di tahun 2018 ini kita naik 19 peringkat dari sebelumnya di peringkat 91 pada tahun 2017, menjadi peringkat 72 di tahun 2018. Sedangkan di tahun 2017 kita juga mengalami peningkatan 15 peringkat dari 106 menjadi peringkat 91. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, Indonesia menjadi tempat yang lebih mudah untuk berusaha.

Indikator EODB kita yang mengalami peningkatan signifikan diantaranya adalah Resolving Insolvency (Penyelesaian Kepailitan) dari posisi 74 di 2016 menjadi 38 di tahun 2018. Enforcing Contracts (Penegakana Kontrak) dari posisi 171 di EODB 2016 menjadi 145 di tahun 2018, dan Getting Electricity (Penyambungan Listrik) dari posisi 61 di tahun 2016 menjadi 38 di tahun 2018.

Indeks Pembangunan Teknologi (ICT Development Index)

Yang tidak kalah penting adalah Indeks Pembangunan Teknologi yang dikeluarkan oleh International Telecommunication Union (ITU) yang berada di peringkat 111 dari 176 negara yang mengevaluasi tiga subindeks, yaitu akses dan infrastruktur, penggunaan, dan keahlian. Kesenjangan perkembangan teknologi informasi di antara wilayah barat dan timur Indonesia diprediksi menjadi salah satu penyebab rendahnya posisi kita dan hanya berada di atas Kamboja, Timor Leste, dan Myanmar untuk wilayah ASEAN.

Dengan Human Development Index di peringkat 113, Global Compepetiveness Index di peringkat 41, Global Innovation Index di peringkat 88, dan World Happiness Index kita di peringkat 81, dan peringkat kita dengan berbagai indikator di atas, agaknya kita tidak boleh berpuas diri. Tapi kita harus percaya diri dan optimis.

Kita adalah bangsa yang besar… sumber daya kita melimpah…. Budaya kita tangguh… kita bukan bangsa kecil… Kita harus lebih keras dalam bekerja… kita butuh kerja-kerja cerdas, kerja-kerja keras… kita harus cepat untuk mampu menerbangkan Indonesia menuju puncak dalam persaingan di kancah dunia. Saatnya kita melompat jauh lebih tinggi. Our work is not finished, we still have a big job to do… 

(AK/R01/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

*dr. Gamal Albinsaid adalah dokter muda kelahiran Malang peraih Gelar Kehormatan Kerajaan Inggris, 50 inovator sosial paling berpengaruh dunia, dan pembicara 15 negara-4 benua.

 

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.