Pernikahan Dini Untuk Melestarikan Tradisi

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Masyarakat kembali dikejutkan oleh peristiwa yang terjadi di Desa Gantarang, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Seorang bocah yang baru menginjak usia remaja – laki-laki yang baru berusia 13 tahun menikahi remaja perempuan berumur 14 tahun.

Sontak, pasangan pengantin remaja yang tak disebutkan namanya ini menjadi berita yang menghebohkan setelah seseorang memajang fotonya di salah satu akun media sosial. Dalam foto tersebut, pasangan pengantin remaja tersebut mengenakan busana adat lengkap Bugis-Makassar.

Dalam foto itu tampak pasangan pengantin remaja tersebut tak memperlihatkan kebahagiaan. Ekspresi keduanya datar dan dingin. Berita pernikahan dini ini mulai beredar di Facebook awal Juni 2016 dan bocah laki-laki itu baru saja menyelesaikan sekolahnya di sebuah SD di Janeponto.

Diduga kedua orangtua pasangan pengantin remaja ini menyetujui keputusan anak-anaknya untuk menikah di bawah umur,  karena ingin segera menimang cucu. Padahal menurut Undang-Undang Perkawinan, batas usia minimal laki-laki untuk menikah adalah 21 tahun dan perempuan 16 tahun.

Berdasarkan data, jumlah pernikahan dini di Sulawesi makin meningkat. Di Makassar misalnya,  Pengadilan Agama kota ini menyebutkan sejak Januari hingga Desember 2015 telah terjadi pernikahan anak di bawah umur sebanyak 31 kasus.

Di banyak tempat di Indonesia, perkawinan dini  masih banyak terjadi. Mereka melakukannya biasanya karena kurang adanya kesadaran para orang tua atau kadang juga karena adat-istiadat masa lalu yang terus dilestarikan.

Juga mungkin karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya mengatur tentang, izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2).

Pasal 7 ayat 2 menetapkan, pria maupun wanita yang ingin menikah, harus mendapat izin orang tua apabila belum genap 21 tahun, umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada dalam kekuasaan orang tua/wali (Pasal 50 ayat 1).

Menikah di bawah umur juga kerap memunculkan polemik lantaran dianggap sebagai pemicu tingginya angka perceraian. Sebab, para anak muda yang menikah  biasanya bersifat labil dan belum siap membangun rumah tangga.

Kendati banyak ditentang, kalangan pro perkawinan muda menilai, menikah di usia belia menjadi solusi kaum muda agar terhindar dari kemaksiatan atau supaya hidup mandiri sehingga tidak banyak membebani keluarga.

Terkait perceraian

Menikah di usia dini ternyata berdampak pada tingginya kasus perceraian. Setidaknya itulah yang dihadapi Aparat Pengadilan Agama (PA) Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, yang rata-rata menangani 400 kasus perceraian tiap bulan

“Kasus perceraian mayoritas terhadap wanita dengan umur di bawah 25 tahun yang menggugat,” kata Kepala PA Tigaraksa Uyun Kamiluddin di Tangerang.

Menurut Uyun, PA Tigaraksa memiliki wilayah kerja Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dan melayani warga di 36 kecamatan. Kasus perceraian tertinggi berada di Kota Tangerang Selatan karena hanya melayani sebanyak tujuh kecamatan tapi setiap bulan perkara perceraian yang masuk mencapai 200 kasus.

Bahkan kasus perceraian terbanyak berada di Serpong, Pamulang, Ciputat dan Pondok Aren karena istri menggugat suami. Dalam catatan pihak PA Tigaraksa bahwa sepanjang tahun 2014 sebanyak 4.119 kasus perceraian dan menunggak disidangkan 1.081 perkara.

Penyebab utama perceraian di Kota Tangerang Selatan karena banyak warga yang menikah usia dini. Juga akibat masalah ekonomi karena suami tidak memiliki pekerjaan dalam waktu yang relatif lama. “Selain itu suami dan istri tidak lagi memiliki keharmonisan dalam rumah tangga,” katanya.

Faktor lainnya adalah, saat ini tingkat kesadaran hukum pada perempuan terhadap pentingnya arti perkawinan sudah tinggi, ini menyebabkan tingginya angka perceraian. Uyun menyebutkan, bila hubungan keluarga sudah tidak lagi harmonis, perempuan tentunya akan menentukan status sehingga ada kepastian hukum menyebabkan mereka mengajukan gugatan cerai.

Daerah dengan tradisi kawin muda

Di Indonesia ada beberapa daerah yang dikenal dengan kebiasaan menikah muda. Salah satunya Madura. Menikah di usia belia dianggap lazim di wilayah Madura, Jawa Timur. Tak sedikit ditemukan gadis berusia 15 tahunan bahkan yang lebih muda sudah memiliki anak.

Ada beberapa faktor yang membuat mereka menikah muda, mulai sebagai upaya untuk mengikat keluarga yang jauh, sampai faktor utang budi. Pernikahan muda di sana juga kerap diawali dengan perjodohan sesuai kesepakatan kedua orangtua.

Di Indramayu, juga banyak ditemukan anak muda yang menikah di usia belia. Gadis-gadis yang baru berusia antara 13-15 tahun terlihat sibuk menggendong anak-anaknya. Motif menikah muda di daerah ini cukup beragam, seperti alasan ekonomi, hingga bertujuan mengangkat derajat keluarga jika si menantu berasal dari keluarga berada.

Di  sebuah daerah di Sulawesi SelatanPulau Kodingareng  yang terletak tidak jauh dari Kota Makassar – ada tradisi kawin muda dan aturannya agak ekstrem dari segi usia pernikahan yang ditentukan dengan tanggal pertama seorang anak perempuan mengalami haid. Saat orangtua mengetahui hal ini, mereka segera mencarikan pasangan dan buru-buru menikahkan anaknya.

Para orangtua di pulau ini umumnya beranggapan jika anak gadis itu susah menjaga dirinya dan menikah dijadikan solusi utamanya. Kendati begitu, sebagian orangtua di sana cukup peduli dengan memberikan KB kepada anaknya setelah menikah agar tidak lekas hamil.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan harus ada izin dari orangua bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun. Demikian pula dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat hal kurang lebih sama mengenai umur, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.

Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

Pihak yang dapat mencegah perkawinan dini menurut KHI adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.

Pasal-pasal dalam KHI itu juga diperkuat oleh pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak tahun 2002 yang menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :  mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (R01/P2 )

Wartawan: illa

Editor: illa