PKPU: Krisis Rohingya Berbeda dari Krisis di Wilayah Lain

Pengungsi Rohingya. (Foto: Syed Zakir Hossain/Dhaka Tribune)

Depok, MINA – Koordinator Program Lembaga Kemanusiaan (Pos Keadilan Peduli Umat) untuk Myanmar, Deni Kurniawan mengatakan, yang terjadi di Rakhine State, Myanmar adalah sesuatu yang berbeda dari krisis-krisis yang terjadi di negara lain.

Hal itu disampaikan Deni saat diskusi publik bertemakan “Rohingya: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?” yang diselenggarakan oleh LDKN SALAM Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan PMII UI, dan Pemuda Masyarakat Pancasila di Gedung Engineering Center 303 Fakultas Teknik UI, Depok, Senin (2/10).

“Krisis Rohingya ini berbeda dari beberapa krisis yang terjadi di negara lain. Orang-orang Rohingya tidak ingin mendirikan sebuah negara baru tidak seperti krisis di tempat lain yang menginginkan sebuah negara. Munculnya ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) bukan lahir dari rahim Rohingya. Jadi jangan samakan antara ARSA dengan Rohingya,” ujar Deni.

Menurutnya, ada beberapa langkah untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Myanmar itu. Salah satunya, kata Deni, pemerintah Myanmar harus mengakui identitas sebagai bagian dari warga negara.

“Selama ini persoalannya adalah kewarganegaraan. Mereka (orang-orang Rohingya) dibatasi kegiatannya, tidak boleh pergi ke Malaysia, tidak boleh pergi ke Indonesia, dan tidak boleh pergi ke daerah-daerah lain. Di sisi lain identitas mereka tidak diakui, mereka diusir dari rumah-rumah mereka. Ini harus segera diselesaikan agar tidak terus berkelanjutan,” katanya.

Deni mengungkapkan, pemerintah dan masyarakat Myanmar sendiri tidak mau mengakui etnis Rohingya. Masyarakat di sana lebih senang memanggil etnis Rohingya sebagai etnis Bengali.

“Saya punya kenalan orang LSM di Myanmar. Ketika saya berbicara tentang Rohingya, mereka tidak mau mendengarkan. Bahkan mereka seakan-akan tidak mengenal nama etnis itu. Mereka hanya mau memanggil mereka sebagai etnis Bengali. Lihatlah, aktifis kemanusiaan saja yang seharusnya netral, malah ikut terbawa kondisi,” katanya.

Menurutnya, hal itu terjadi lantaran setiap media massa baik berupa cetak maupun elektronik di Myanmar, tidak ada satu pun yang menggunakan istilah etnis Rohingya. “Dulu pernah ada salah satu radio di sana yang menggunakan istilah etnis Rohingya, bahkan ada pula yang menggunakan dialek bahasa Rohingya. Tetapi saat ini tidak ditemukan,” katanya.

Sebetulnya, kata Deni, bukan hanya komunitas muslim saja yang terkena dampak dari krisis kemanusiaan ini, termasuk juga komunitas Hindu dan Budha pun ikut terkena dampaknya. Hal ini terlihat dari beberapa kamp-kamp pengungsi milik komunitas Hindu dan Budha. Hanya saja, lanjutnya, kamp-kamp pengungsi Hindu dan Budha lebih diperhatikan oleh pemerintah Myanmar.

“Kalau dibilang konflik ini hanya terjadi terhadap umat Islam tidak juga. Karena di sana juga banyak orang-orang Hindu dan Budha yang pergi mengungsi. Hanya saja memang pengungsi dari kalangan Hindu dan Budha lebih diperhatikan oleh pemerintah Myanmar,” katanya.

Untuk itu, ia kembali menegaskan, pemerintah Myanmar harus segera mengakui etnis Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar. (L/R06/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.