Niamey, MINA – Pemerintahan militer Niger sedang melakukan pembicaraan dengan Prancis yang bertujuan memastikan penarikan cepat pasukan Prancis dari negara Afrika Barat tersebut, kata Perdana Menteri Ali Mahaman Lamine Zeine, Senin (4/9).
Pernyataan itu muncul di saat protes warga terhadap kehadiran pasukan Prancis di Niger terus berlanjut.
Ribuan pengunjuk rasa telah berunjuk rasa dalam beberapa hari terakhir di ibu kota Niger, Niamey, untuk memprotes kehadiran pasukan Prancis di negara Afrika Barat tersebut.
Saat berbicara pada konferensi pers di Niamey mengenai berbagai isu, Perdana Menteri menegaskan bahwa pasukan Prancis berada di negara tersebut “secara ilegal” setelah pemerintahan militer “membatalkan perjanjian yang mengizinkan mereka berada di wilayah kami.”
Baca Juga: Mahkamah Agung: TikTok Dilarang di AS Mulai 19 Januari
“Mereka berada dalam posisi ilegal, tapi saya pikir pertukaran yang sedang berlangsung akan memungkinkan pasukan ini mundur dari negara kita dengan sangat cepat,” kata Zeine.
Niger menampung sekitar 1.500 tentara Prancis sebagai bagian dari pasukan anti-pemberontakan regional.
Pada tanggal 3 Agustus, para pemimpin militer Niger mengumumkan pembatalan perjanjian militer dengan Perancis, sebuah keputusan yang ditolak oleh Paris, dengan alasan kurangnya legitimasi.
Zeine juga berbicara tentang Duta Besar Prancis Sylvain Itte, yang diusir dari negara itu pekan lalu, tetapi menolak untuk pergi, bahkan ketika otoritas militer mencabut hak istimewa dan kekebalannya.
Baca Juga: Kebakaran Kembali Landa AS, Kali Ini Akibat Ledakan Pabrik Baterai di California
Perdana Menteri mengatakan, bahwa Itte “tidak berperilaku baik sebagai diplomat.”
“Ini adalah penghinaan yang tidak dapat diterima,” katanya. (T/RI-1/)
Mi’raj News Agency (MINA)