Politik Kim Jong Un Mainkan Amerika dan Cina

(gambar:hongkongfp)

 

Oleh: Rifa Arifin, Redaktur Kantor Berita MINA

Situasi geopolitik dunia saat ini melahirkan fenomena baru terutama tentang kebijakan diplomatik negara-negara berpengaruh di Asia, Eropa dan Amerika Serikat. Di Asia, Korea Selatan maupun Korea Utara turut terpengaruh dengan situasi ini, yang akhirnya keduanya membangun strategi untuk mempertahankan kekuatan “power” dan keseimbangan “balance” untuk mengantisipasi kepentingannya diantara negara adidaya; Amerika Serikat, Cina dan Rusia.

Di saat masyarakat dunia menantikan pertemuan bersejarah antara Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat Serikat Donald Trump pada bulan Mei nanti, tiba-tiba bertemu dengan Presiden Cina dalam kunjungannya ke Beijing. Ini merupakan pertama kalinya sejak Kim Jong un mewarisi kepemimpinan ayahnya, Kim Jong-il pada tahun 2011. Perkembangan situasi terjadi di luar dugaan banyak pengamat.

Meskipun dunia cenderung menilai Kim Jong-un sebagai seorang diktator dengan kelainan mental, tapi sebenarnya dia adalah seorang presiden yang memiliki cara pikir rasional dan taktis, sama seperti Kim Il sung dan ayahnya Kim Jong ill.

Sejak zaman Kim Il-sung, Korea Utara perlahan melakukan kebijakan luar negeri yang terbebas dari pengaruh Cina dan Rusia, meskipun Korea Utara dengan kedua negara adidaya itu memiliki ideologi negara yang sama yaitu komunisme, dan hutang budi atas bantuan Cina dan Rusia selama Perang Korea tahun 1950-1953.

Dalam sejarah Korea, peristiwa hancurnya Kerajaan Joseon di akhir abad ke-19 adalah karena Korea salah dalam memilih partner antara Cina, Rusia dan Jepang. Peristiwa sejarah itu masih segar dalam ingatan sebagian besar intelektual Korea. Jadi saat itu, Kim Il-sung mengamalkan konsep “Juche” yang berarti bergantung pada diri sendiri sebagai satu terapan sikologis dalam kebijakan luar negeri Korea Utara.

Konsep “Juche” itulah yang membawa Kim Il-sung mengembangkan senjata nuklir di tahun 1980 untuk melindungi Korut dari Cina, Rusia dan Amerika Serikat Serikat, yang ketiganya pun tidak lain adalah negara produsen nuklir. Korut percaya dengan nuklir yang dia miliki, ketiga negara adikuasa itu tak akan berani mengusiknya.

Pada tahun 1990, Kim Jong-il menjadikan nuklir sebagai alat untuk mengeksploitasi alias “memeras” negara tetangganya disebabkan Korea Utara mengalami masalah ekonomi yang serius, Kim Jong-il melakukan uji coba nuklir untuk mengancam Korsel, Jepang dan sekutu Amerika Serikat. Ujicoba nuklir tersebut Korut lakukan agar Amerika Serikat, Korsel, Jepang melakukan negosiasi yang berujung pada bantuan ekonomi bagi Korut.

Warisan strategi ini terus dilanjutkan oleh Kim Jong-un. Tapi rupanya Amerika Serikat dan Cina sudah mulai lelah dan bosan dengan sikap Korut yang “temperamental”. Tahun kemarin Trump mengancam untuk menyerang Korut dan Cina mengancam akan melakukan sanksi ekonomi pada Korut.

Strategi Cerdas Kim Jong Un

Terlihat dengan dua kebijakan Amerika Serikat dan Cina pada Korut akan membuat Korut berada dalam bahaya, tapi strategi bertahap Kim Jong Un yang cukup cerdas akhirnya berhasil mengeluarkan Korut dari bahaya tersebut.

Pertama, Kim Kim Jong Un mencoba mengambil hati Korea Selatan dengan mengirim kontingen untuk mengikuti Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korsel.

Hal itu memberi kesan seolah Korut ingin membuka jalan perdamaian. Hal itu berhasil, melalui Korea Selatan, Kim Jong Un dijadwalkan akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu Trump. Tapi hebatnya, di saat semua orang menantikan pertemuan Kim Jong Un dan Trump, tiba-tiba Kim Jong Un bertemu dahulu dengan Presiden Cina. Luar biasa !

Kalau kita jeli melihat bagaimana langkah ‘rekonsiliasi’ yang ditempuh Kim Jong Un, mulai dari Korsel kemudian Amerika Serikat lalu Cina, kenapa Kim Jong Un tidak mengawalinya dari Cina terlebih dahulu?

Jika Korut mengawalinya dengan Cina, itu bisa saja tapi tentu Korut harus tunduk penuh pada Cina alias jadi budak suruhan, jika demikian maka akan ada lagi hutang budi dan itu tentu bertentangan dengan konsep “Juche”.

Jika Kim Jong Un bertemu lebih dahulu dengan Trump dan tidak bertemu dengan Cina maka akan menimbulkan persepsi Korut telah beralih haluan, tentu itu pun tidak baik bagi “Juche”. Karena Cina selama ini menganggap Korut sebagai negara timur yang kuat yang tidak mudah dikendalikan dengan kekuatan politik.

Cina tidak akan biarkan Korut bermesra dengan Trump, takut jika keduanya membuat “perjanjian rahasia” yang merugikan Cina, bahkan jika diperlukan bisa saja Cina menggulingkan Kim Jong Un dan menggantinya dengan seseorang yang pro dengan Cina.

Alhasil apa yang dilakukan Kim Jong Un dengan lebih dulu membuat janji untuk bertemu dengan Trump adalah agar Cina cemburu, cemburu yang menimbulkan ketakutan dan was was. Meskipun ternyata Kim Jong Un menenangkan dengan mengunjungi Cina lebih dulu. Dengan cara itu Kim Jong Un ingin menunjukan kepada Amerika Serikat bahwa Korut masih memiliki Cina sebagai “pilihan” untuk meningkatkan “posisi” dalam perundingan dengan Trump pada Mei nanti.

Cina pun akan memiliki peluang membalas Amerika Serikat atas kebijakannya menikan tarif impor yang tak lain ditujukan untuk menyudutkan Cina.

Amerika Serikat melabeli Korut adalah bagian dari “poros setan” bersama Irak, Libya dan Suriah. Tapi hanya Korut yang masih selamat dari intervensi dan subversi luar,.Alasannya adalah karena tiga generasi pemimpin Korut sangat jeli dan cerdas dalam i permainan politik dan geopolitik dunia. (RA/01/P1)

Referensi lanjutan:

China and North Korea: Strategic and Policy Perspectives from a Changing China (International Relations and Comparisons in Northeast Asia) 2015

The Joseon Dynasty https://en.wikipedia.org/wiki/Joseon

https://en.wikipedia.org/wiki/Axis_of_evil

http://world.kbs.co.kr/special/northkorea/contents/archives/supreme_leader/ideology.htm?lang=i

Mi’raj News Agency (MINA)