Oleh : Ali Farkhan Tsani
Redaktur Mi’raj News Agency (MINA)
Pengantar
SK Kapolri No.Pol: Skep/702/IX/2005 tentang sebutan, penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak memungkinkan polisi wanita (polwan) – terkecuali yang bertugas di Nangroe Aceh Darussalam – untuk mengenakan jilbab.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Padahal, konstitusi menjamin setiap warga negara menjalankan ajaran agama sesuai keyakinan. Dalam Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945, misalnya, disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Jaminan ini kemudian dipertegas melalui Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yang menyebut hak beragama diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan, tidak boleh ada larangan muslimah berjilbab sama sekali di Indonesia. Kebebasan berjilbab yang sedang diperjuangkan untuk polwan seharusnya juga diberlakukan untuk semua profesi muslimah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
“Jangan sampai ada lagi muslimah di Indonesia dilarang dan dipermasalahkan jilbab mereka karena alasan aturan seragam kerja,” kata Menag. Suryadharma mengakui dirinya sudah bertemu khusus dan menyampaikan permintaan langsung kepada Kapolri untuk mengubah aturan diskriminatif bagi Polwan muslimah yang ingin berjilbab.
Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, aturan Kapolri bukanlah ayat dalam kitab suci yang tidak bisa diubah. SK Kapolri bukan ayat suci, bisa disesuaikan dengan budaya dan adat masyarakat Indonesia, ada kebebasan, sepanjang tidak mengganggu tugas. DPR meminta Polri tidak kaku dalam menerapkan aturan mengenai seragam. Terlebih, jika aturan tersebut melanggar prinsip beribadah seseorang.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan, MPR meminta Kapolri mencabut aturan yang tidak memperkenan polwan mengenakan seragam jilbab. Pasalnya aturan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM).
Lukman menyatakan, berjilbab merupakan hak kebebasan warga negara menjalankan agama. Hak itu sendiri telah dijamin konstitusi. Menurutnya, tak ada ruginya bagi Polri membolehkan para polwan berjilbab. Berjilbab tidak akan mempengaruhi kinerja para polwan. Kinerja, kedisiplinan, dan keserasian anggota Polri akan tetap terjaga meski berjilbab.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Dai muda wilayah Aceh, Ustadz Rustam Efendi Hasibuan mengatakan, untuk mendukung terwujudnya peraturan yang memperbolehkan polisi wanita berjilbab, polwan muslimah sendiri harus menyadari kewajibannya berjilbab.
Sementara juru bicara Muslimah Learning Center (MLC) Bandung, Aminah menyatakan bahwa jilbab bukan menjadi suatu halangan bagi wanita untuk berkarir apapun profesinya.
“Justru dengan berjilbab wanita muslimah menjadi aman dan terlindungi sebagaimana Islam menjanjikan pemeluknya, seperti firman Allah di dalam Surat Al-Ahzab ayat 59,” ujarnya.
Seraya menyebutkan arti firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siradj mengusulkan kepada kepolisian Republik Indonesia untuk membuat aturan khusus sehubungan dengan keberadaan polisi wanita (polwan) yang berjilbab. Bukan masalah apa-apa, ini merupakan hak asasi manusia (HAM). Seperti di Inggris saja dibolehkan apalagi kita di Indonesia.
Kewajiban berjilbab bagi kaum muslimah, tertuang di dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Antara lain di dalam surah An-Nuur [24] ayat 31, firman Allah yang artinya, “Katakanlah kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak. Hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka; dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka……”
Juga Firman Allah di dalam surah Al Ahzab [31] ayat 59, yang artinya, “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ibnu Hajar Al-Atsqalani di dalam Kitab Fathul Bari menyebutkan, jilbab adalah kain yang dikenakan kaum wanita muslimah untuk menutup tubuhnya di atas pakaian yang dia kenakan.
Pada sebuah hadits disebutkan, dari Khalid bin Duraik, ’Aisyah (isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) berkata : “Suatu hari, Asma binti Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan menggunakan pakaian tipis. Beliau berpaling darinya dan bersabda: “Wahai Asma, jika perempuan sudah mengalami haid, tidak boleh ada anggota tubuhnya yang terlihat kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan.’’ (HR. Abu Daud).
Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kaum muslimat keluar untuk shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha’, baik yang masih gadis yang sedang menginjak dewasa, wanita-wanita yang sedang haidh maupun wanita-wanita yang dipingit. Adapun wanita-wanita yang sedang haidh mereka tidak ikut mengerjakan shalat, namun mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (seorang wanita) berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak mempunyai jilbab.‘ Beliau menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya”.
Dari hadits ini dapat diketahui bahwa jilbab dituntut untuk dipakai ketika wanita keluar rumah. Jadi seorang wanita tidak boleh keluar rumah kalau tidak memakai jilbab.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Jadi, kapan wanita muslimah yang belum berjilbab akan mengenakan jilbabnya. Kapan pula muslimah polwan sekalipun akan eksis tetap memakai jilbabnya.
Sebuah hadits mengingatkan, “Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu.” (HR Bukhari).
Hadits ini menunjukkan dorongan untuk menjadikan kematian seperti berada di hadapan kita sehingga bayangan tersebut menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan shalih. Salah satu amal sholih itu adalah mengenakan jilbab karena melaksanakan perintah Allah. Bukan perintah manusia. Sebab yang diharapkan adalah pahala, ridha dan ampunan Allah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Yang jelas dan pasti, syariat Allah berguna untuk mengatur kehidupan manusia. Itu semua adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan dunia dan akhirat bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas mengamalkannya. (L/R1/P02)
Wallahu a’lam bish-shawabi.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?